Minggu, 09 Juli 2017

KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA UNTUK MENANGKAL IDEOLOGI TRANSNASIONAL KEAGAMAAN DI INDONESIA

KEBIJAKAN PENDIDIKAN AGAMA UNTUK MENANGKAL IDEOLOGI TRANSNASIONAL KEAGAMAAN DI INDONESIA

Pendahuluan
Dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan bangkitnya era reformasi, menjadi jalan lapang bagi paham transnasional berupa gerakan radikal dan fundamentalis Islam di Indonesia. Situasi ini berlangsung sejak tahun-tahun pertama reformasi ketika demokrasi yang digemakan untuk keluar dari kegelapan Orde Baru ternyata tidak bisa mewujudkan janji-janjinya dalam membentuk masyarakat Indonesia yang lebih baik, maka tawaran ilusif dari kelompok-kelompok Islam dengan basis romatisisme kejayaan Islam masa lalu menjadi usaha besar untuk mencari alternatif ideologis dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Situasi inilah yang membuat kelompok-kelompok Islam radikal dan fundamental berpaham transnasional yang selama ini termarjinalisasikan oleh Rezim Orde Baru mendapat kesempatan untuk menyuarakan ideologinya dengan dalih tugas keagamaan untuk menyelamatkan masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Sehingga banyak bermunculan aksi-aksi teror yang tidak sesuai dengan hukum di Indonesia demi untuk melegalkan ideologi mereka.
Banyaknya aksi teror yang mengatasnamakan Islam membawa dampak yang buruk  terhadap umat Islam. Islam dituduh sebagai agama yang haus darah, anti HAM, anti toleransi dan agama yang mengajarkan dan menganjurkan kekerasan terhadap umatnya. Pada dasarnya kekerasan atau teror yang mengatasnamakan agama tersebut muncul bukan karena kesalahan ajaran agama Islam, akan tetapi lebih pada kesalahan memahami dan menafsirkan teks-teks agama. Kesalahan tersebut berimpilkasi pada kesalahan mengkontekskan dan mengamalkan ajaran tersebut, sehingga yang terjadi adalah melegitimasi aksi teror dengan legitimasi teks agama. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah Indonesia untuk membendung berbagai upaya teror diantaranya dengan pendekatan hukum dan militer. Pendekatan ini  pada dasarnya  hanya memotong rantai dari tengah, belum menelisik jauh kedasarnya. Untuk lebih mengoptimalkan langkah-langkah pencegahan maka perlu menggunakan pendekatan lain, seperti pendekatan ekonomi, politik, pendidikan dan pendekatan agama.

Akar Sejarah Ideologi Transnasional Keagamaan di Indonesia
Secara bahasa transnasional berkenaan dengan perluasan atau keluar dari batas-batas negara.[1] Transnasionalisme merupakan interaksi maupun gabungan aktor non pemerintah yang beragam seperti perusahaan multinasional, bank, kelompok keagamaan, ataupun kelompok teroris yang melintasi batas negara.[2] Jaringan transnasionalisme lebih berpusat pada bidang keagamaa, intelektual, dan sosio kultural.[3] Dalam bidang keagamaan, transnasional lebih dominan diisi oleh paham fundamentalis dan radikalis keagamaan.
Fundamentalisme sebenarnya berasal dari tradisi kristen sebagai akibat pertentangan antara agama dan ilmu pengetahuan. Gerakan fundamentalis merupakan gerakan kembali kepada dasar-dasar agama secara penuh dan literal, bebas dari kompromi, penjinakan, dan reinterpretasi. Gerakan fundamentalis kebanyakan berkonotasi negatif karena kebanyakan bertentangan dengan tradisi-tradisi keagamaan yang umum.[4] Radikalisme dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap realita sosial/ideologi yang dianutnya. Sedangkan radikalisme agama ialah paham atau aliran keras dalam suatu ajaran agama tertentu, menurut aliran ini setiap permasalahan / persoalan harus disikapi dengan tegas dan keras tidak setengah-tengah apalagi ragu-ragu dalam bertindak demi tegaknya ajaran agama tersebut. Radikalisme agama memiliki empat karakter yaitu intoleransi, fanatik, eksklusif, dan sikap revolusioner.[5] Organisasi gerakan radikal membangun jaringan internasional yang bersifat transnasional  karena kelompok-kelompok tersebut memiliki kepemimpinan bersifat global, bekerja secara jaringan lintas negara dan benua, serta mengusung cita-cita yang sama untuk menegakkan kembali kepemimpinan Islam yang ideal dalam bentuk khilafah atau negara Islam (Khilafah  Islamiyah).
Dalam konteks Islam di Indonesia, istilah Islam transnasional ditentang oleh banyak kalangan lantaran efek disintegratif yang ditimbulkan terhadap persatuan ummat Islam, istilah ini semakin menemukan momentumnya seiring dengan semakin gencarnya kampanye anti demokrasi oleh sebagian kalangan Islamis. Dalam penggunaan istilah transnasional tidak  jelas siapa yang pertama kali menggunakan dan memopulerkannya. Ahmad Syafii Ma’arif menyebut secara spesifik kepada HTI sebagai manifestasi Islam transnasional. Menurut sumber lain, ide Islam transnasional pertama kali dilontarkan oleh KH. Hasyim Muzadi, Istilah ini ditegaskan sebagai penegasian NU dari kelompok Islamis yang membawa misi transformasi sosial-keagamaan secara radikal yang bersifat melintasi batas-batas nasionalisme keindonesiaan.[6]
Gerakan Islam Transnasional merupakan gerakan yang aktifitasnya melampaui sekat-sekat teritorial negara-bangsa (nation state). Gerakan Islam tersebut memiliki visi dan misi perjuangan berbeda mulai dari yang konsen dengan aktivitas dakwah sampai yang konsen  dengan perjuangan politik. Kemunculannya dimulai dari kebangkitan dan semangat juang para tokohnya atas penderitaan umat Islam di berbagai penjuru dunia oleh kolonialisme barat. Seperti Pan Islamisme dan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir di Libanon, Jama’ah Tabligh di India. Sementara itu di dalam negeri, benih-benih gerakan Islam global yang tumbuh di Indonesia ditandai dengan gerakan bawah tanah sejak tahun 1970-an dan 1980-an diakibatkan oleh sikap represif rezim Orde Baru dan pengaruh kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia seperti Revolusi Islam Iran yang digelorakan oleh Imam Khomeini tahun 1979. Sikap represif pemerintah RI kala itu cukup menekan berbagai gerakan, namun meninggalkan efek domino perlawanan yang makin keras hingga rezim orde baru tumbang pada 21 Mei 1998 dan dimulainya era reformasi.[7]
Maraknya gerakan Islam radikal berkarakter transnasional di berbagai daerah Dianggap sebagai arus balik reformasi karena gerakan ini bertendensi membentuk komunalisme agama bercorak teokratik di atas realitas masyarakat yang majemuk, sesuatu yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi spirit awal gerakan reformasi. Salah satu penyebab munculnya paham transnasional ialah munculnya Politik identitas Islam pasca Orde Baru yang dapat dibaca dalam tiga fase utama, yaitu: 
1.   Konflik antarumat beragama di Maluku dan Poso, merupakan konflik horizontal ber nuansa agama yang  terjadi tahun 1997 hingga 2002. Konflik ini telah mengubah cara pandang keagamaan dan ketegangan masyarakat di seluruh Indonesia, sehingga  melegitimasi muncul sejumlah organisasi Islam beraliran radikal. Diawali oleh FPI tahun 1998 di Jakarta, Gerakan Islam Reformis (GARIS) di Cianjur tahun 1998, Tholiban di Tasikmalaya tahun 1999, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta tahun 2000, dan Forum Umat Islam (FUI) di Jakarta tahun 2005. Kemudian lahir juga organisasi Islam yang bersifat transnasiona seperti Forum Komunikasi Ahlussunah Waljamaah (FKASWJ) yang kemudian melahirkan Laskar Jihad (1999), Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir.
2.  Islamisasi ruang publik bangsa dalam bentuk penegakan Syari’at Islam, yang dimulai  dari polemik nasional di Sidang Tahunan MPR tahun 1999 dan terus menggelinding pada  Sidang Tahunan berikutnya tentang desakan dicantumkan kembali tujuh kata yang pernah dicoret dari Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam bagi pemeluknya”, ke dalam UUD 1945. Setelah mengalami kegagalan di tingkat nasional, muncul skenario baru yakni perjuangan di tingkat daerah melalui pencantuman ke dalam Peraturan Daerah di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena itu sejak tahun 2000-2009, muncul berbagai Perda Syariah yang mengatur kesusilaan, seperti busana muslim / muslimah, pandai membaca al-Qur’an, khulwat, miras, pelacuran dan perjudian.
3.  Penyerangan terhadap aliran sesat, anti kristenisasi, dan anti maksiat. Sasaran utama yang dituju adalah Jemaat Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya (Lia Eden dan Mushaddiq),  tempat ibadah umat Kristen, dan tempat serta  praktik  yang  dianggap  maksiat. Dinamika  yang begitu terasa dari fenomena ini adalah munculnya mainstreaming penegakkan syariat Islam secara radikal. Kelompok yang masuk dalam kategori ini antara lain Jundullah (tentara Allah), Laskar Jihad, Hizbullah (partai Allah), HTI, dan ISIS. Gerakan baru ini sudah merambah kelompok Islam tradisionalis, terutama ulama dan santri pesantren. Basis massa yang dulunya direkrut dari para pemuda dari berbagai latar belakang (pengangguran,  preman, pemuda fanatik), kini bercampur dengan anak-anak muda pesantren yang digerakkan oleh para ulama.[8]
Di Indonesia gerakan radikalisme sudah banyak memasuki wilayah pendidikan pesantren sebagai sarana menanamkan ideologi mereka seperti di pesantren Al-Mukmin Ngruki, dan pesantren Al-Islam Lamongan.[9] Bahkan paham radikal sudah memasuki lembaga pendidikan formal lainnya seperti di tingkat SLTA hingga Perguruan tinggi. Beberapa hasil penelitian menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU. Siswa-siswi yang masih sangat awam soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri menjadi lahan yang diincar oleh pendukung ideologi radikalisme. Targetnya bahkan menguasai Organisasi-Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), paling tidak bagian Rohani Islam (Rohis).[10]
Para pendukung faham radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebarluaskan faham mereka, baik dalam rangka pengkaderan internal anggota maupun untuk kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut ini sarana yang ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme:
1.   Melalui pengkaderan organisasi. Pertama pengkaderan internal, biasanya dilakukan dalam bentuk training calon anggota baru dan pembinaan anggota lama baik secara individual maupun kelompok. Kedua, mentoring agama Islam di beberapa kampus Perguruan Tinggi Umum dan di beberapa sekolah menengah (SMA/SMP). Ketiga, Pembinaan Rohis SMA/SMP.
2.    Melalui masjid-masjid yang berhasil dikuasai
3.    Melalui majalah, buletin, dan booklet
4.    Melalui penerbitan buku-buku baik terjemahan dari bahasa Arab, yang umumnya ditulis oleh para penulis Timur Tengah, maupun tulisan mereka sendiri.
5.    Melalui internet.[11]

Menangkal Ideologi Transnasional Keagamaan yang Radikal dan Fundamental di Indonesia
Dalam upaya menangkal bahaya paham transnasional Islam yang tercermin dalam sikap fundamental dan radikal gerakan-gerakan Islam di Indonesia, terdapat beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Berpegang teguh kepada PBNU, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Menurut KH. Maemun Zubair dan KH. Asad Said Ali, bahwasanya NKRI dan warganya haruslah berpegang teguh kepada PBNU, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945 sebagai kesepakatan agung para pendiri RI. Artinya siapa pun yang menyelisihi kesepakatan agung para pendiri RI tidak boleh dan tidak berhak mengaku sebagai warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya tersebut. Baiat warga negara Indonesia harus diberikan kepada NKRI. KH. Maemun Zubair mengajak kepada masyarakat luas untuk meniru warga NU yang berkeyakinan bahwa perbedaan adalah rahmat. Oleh karenanya perbedaan-perbedaan di antara sesama manusia, sesama warga negara, sesama warga muslim dipahami oleh kaum Nahdliyyin sebagai berkah. Perbedaan pandangan politik, suku bangsa, madzhab dan agama adalah hal yang kaprah di dalam kehidupan di dunia. Perbedaan ini seharusnya menyemangati satu sama lain untuk saling mengenal dan memahami.[12]
2.  Menanamkan nilai-nilai Pancasila dalam jiwa dan pikiran bangsa Indonesia. Ahmad Basarah Ketua Badan Sosialisasi MPR RI mengatakan, saat ini Indonesia dalam ancaman serius dua ideologi transnasional yang tengah beroperasi di Indonesia secara terstruktur, sistematis dan masif, yaitu ideologi neoliberalisme dan fundamentalisme agama. ideologi fundamentalisme agama, masuk dengan doktrin keagamaan yang sempit yang ingin menciptakan negara Islam Indonesia dengan sistem khilafah dunia. Kelompok ini masuk dengan mengeksploitasi kemiskinan di Indonesia dengan mengajak orang-orang yang labil iman keagamaan dan rasa nasionalismenya untuk masuk dalam gerakan radikalisme mereka. Untuk menghadapi ancaman tersebut, salah satu cara adalah dengan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam pikiran dan jiwa masyarakat Indonesia agar menjadi praksis kehidupan bangsa Indonesia sehari-hari tidak hanya dengan sosialisasi Empat Pilar, tapi harus diikuti dengan gerakan pembudayaan Pancasila. Oleh karena itu diperlukan gotong-royong antara MPR dengan lembaga eksekutif di semua tingkatan serta lembaga-lembaga negara lainnya untuk gerakan pembudayaan Pancasila tersebut.[13]
3. Revisi UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas. Menurut Cahyo Kumolo, Kemendagri akan mengajukan revisi UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, pengajuan tersebut berawal dari mudahnya masyarakat mendaftar dan membuat Ormas secara online dan dikhawatirkan tidak sesuai dengan ketentuan, kemudian untuk memperkuat UU agar dapat digunakan membatalkan Ormas yang melawan lambang negara dan diduga beraliran sesat. Saat ini jumlah ormas di Indonesia ada sekitar 200 ribu. Ormas tersebut bisa didaftarkan baik melalui kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum dan HAM secara mudah, bahkan ormas dari luar negeri bisa mudah terdaftar di Indonesia.[14] Kemudian pada tanggal 6 Desember 2016 pemerintah Mengeluarkan PP RI No. 59. Tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh warga negara asing. Dalam PP ini berisi peraturan tentang pembatasan dan pengketatan ormas-ormas asing di Indonesia.
4.   Mengadakan Program P3KMI di PTKAI, program ini untuk membendung gerakan Islam radikal. Sebagaimana IAIN Surakarta sebagai salah satu PTAI Sejak 2006/2007 hingga sekarang, mengadakan Program P3KMI (Program Pendampingan Pengembangan Kepribadian Muslim Integral) yang materi kurikulumnya dituangkan dalam sebuah buku panduan. Materi kurikulum P3KMI didesain ke arah paham keagamaan Islam moderat, supaya menjadi counter radical bagi kalangan mahasiswa. Muatan-muatan kurikulum seperti Islam rahmah bagi semua, toleransi, dialog, inklusif, teks dan konteks, ijtihad, humanisme, pluralisme, multikulturalisme, dan lain-lain, perlu dijadikan catatan khusus dalam mendesain ulang materi kurikulum ini ke depan, sehingga tidak bernuansa ideologis-politis.[15]
5. Membendung gerakan radikal di Sekolah, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Munip dengan beberapa langkah sebagai berikut: Memberikan penjelasan tentang Islam secara memadai (penjelasan tentang jihad, toleransi, hubungan ajaran Islam dengan kearifan lokal), mengedepankan dialog dalam pembelajaran agama Islam, pemantauan terhadap kegiatan dan materi mentoring keagamaan, pengenalan dan penerapan pendidikan multikultural.[16]
6.   Melalui penguatan organisasi keagamaan yang berhaluan  moderat seperti Nahdatul Ulama (NU) dan  Muhammadiyah. Di tingkat lokal maupun nasional, NU dan Muhammadiyah telah memainkan peran menentukan dalam proses pembangunan peradaban keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan. Kehadiran dua organisasi yang mewakili sayap umat Islam Indonesia dengan corak keberagamaannya yang ramah dan toleran (moderat), lahir sebagai respon terhadap problem keumatan, kebangsaan, kemanusiaan. Pendekatan kultur harus dikedepankan NU dan Muhammadiyah dalam mempengaruhi kebijakan negara. Bagi negara sendiri usaha untuk membangun tatanan kehidupan bangsa yang plural dan multikultural, diharapkan pula dilakukan melalui kebijakan politik yang lebih berorientasi penguatan ideologi ormas tersebut.[17]
7.   Mengembangkan model pendidikan Moderat, Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia yang karenanya sering dianggap sebagai mainstream Islam Indonesia. Kedua ormas Islam ini, meskipun memiliki ideologi keislaman yang berbeda, tapi keduanya memiliki watak dan karakter yang sama, yaitu berjuang untuk mewujudkan Islam moderat di Indonesia melalui jalur pendidikan, sehingga perjuangan keduanya untuk mengukuhkan Islam moderat, lebih ditekankan pada tataran teologis-kultural dari pada politis. Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga pendidikan dengan ciri khas utamanya adalah adanya mata pelajaran al-Islam dan Ke-Muhammadiyah-an. Dengan konsep “identitas objektif pendidikan Muhammadiyah”, mata pelajaran ini dirancang untuk menjadi instrumen bagi Muhammadiyah dalam rangka menyemaikan karakter Islam moderat bagi peserta didiknya. Sementara NU mempunyai Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU dengan ciri khas adanya mata pelajaran Aswaja dan Ke-NU-an. Melalui konsep “SNP-Plus”, Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU merupakan wahana NU untuk menyemaikan karakter Islam moderat bagi para peserta didiknya.[18]
8.  Mengembangkan pendidikan ramah kebangsaan, baik sebagai materi pelajaran maupun sebagai sub materi pelajaran. Pendidikan ramah kebangsaan berangkat dari pemberian materi ajar dengan penuh keramahan, dan ruh kebangsaannya terletak pada kedalaman memaknai Bhineka Tunggal Ika. Pola yang dilakukan dengan tiga hal yaitu profesionalitas guru dalam memberikan bahan pelajaran kebangsaan, kecerdasan siswa dalam menfilter ajaran radikalisme, dan pembauran lingkungan sebagai media bersosialisasi dalam bermasyarakat baik berupa organisasi kepemudaan hingga organisasi keagamaan yang prokebangsaan.[19]
9. Mengembangkan pendidikan boarding schools / asrama / model pesantren diberbagai sekolah Islam. Seperti yang diungkapkan Eliana Sari dari hasil penelitiannya sebagai berikut “Prevention of radicalism students in Islamic boarding schools can be done more effectively and comprehensively through the optimization of environmental management education Islamic boarding schools in Indonesia. Results of linear regression calculations show that the organization's environmental management education in Islamic boarding schools have a significant positive effecton the prevention of radicalism students at  Islamic boarding schools in Indonesia”.[20]
10. Pengembangan Nasionalisme keagamaan, melalui Tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan identifikasi potensi radikalisme gerakan transnasional adalah dengan menggabungkan antara pendekatan agama dengan pendekatan kebangsaan melalui kerjasama lintas sektoral. Hubungan kerjasama mesti didukung dengan pemanfaatan kekuatan struktural, dan otoritas keislaman. Sinergi kerjasama yang dilakukan antara Kemenkumham dengan BNPT serta Kementerain Agama.[21]
11.Merevitalisasi peran pesantren. Sebagian besar pesantren di Indonesia mengambil prinsip sebagaimana prinsip pesantren yang dijalankan NU, maka toleransi antarumat beragama akan bisa terbangun dengan baik dan tidak ada lagi kekerasan yang dilatabelakangi agama. Prinsip yang dapat diambil oleh pesantren adalah ukhuwah, tasamuh, tawassuth, dan tawazun dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat-nya.[22]

Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa perkembangan ideologi transnasional keagamaan di Indonesia yang bersifat radikal dan fundamental terhadap pola keberagaman dan keberagamaan di Indonesia serta tidak sesuai dengan ideologi negara akan menimbulkan efek disintegrasi bangsa dan merongrong kewibawaan bangsa serta menimbulkan berbagai konflik dan teror dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga perlu dilakukan langkah-langkah prefentif dalam mencegah dan meminimalisir perkembangan ideologi transnasional tersebut. Adapun saran kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah melalui Pendidikan Islam dalam rangka menangkal dan mencegah perkembangan ideologi transnasional keagamaan sebagai berikut:
1.    Dalam perencanaan / formulasi kebijakan
a.  Pemerintah hendaknya segera melakukan revisi UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas agar dalam revisi tersebut lebih memberikan arahan dan ketentuan yang jelas tentang ormas yang boleh hidup di Indonesia harus sesuai dengan ideologi, karakter kebangsaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta memperkuat UU tersebut dengan memberikan wewenang dalam membubarkan ormas maupun lembaga-lembaga bentukannya yang dapat merongrong kewibawaan bangsa Indonesia. Dengan begitu akan mempersempit ruang gerak dan memutus rantai penyebaran paham / aliran transnasional yang sesat, dan radikal yang disebarkan oleh para penganut/partisipannya kedalam lembaga-lembaga pendidikan maupun masyarakat luas pada umumnya.
b. Pemerintah segera menyusun peraturan / undang-undang yang tegas dan tepat dalam mengantisipasi masuk dan berkembangannya paham transnasional yang radikal, fundamental, dan penebar teror, serta paham / aliran-aliran yang tidak sesuai dengan ideologi dan karakter bangsa sehingga dapat meresahkan dan mengganggu harmonisasi masyarakat Indonesia.
c. Pemerintah segera menyusun kurikulum kebangsaan baik berupa mapel tersendiri maupun mengintegrasikannya dalam mapel yang sudah ada berdasarkan hasil kajian bersama antara kementerian pendidikan, kementerian agama, kemenkumham, kemendagri, ormas-ormas keagamaan dan nasionalis serta pihak-pihak terkait lainnya agar dalam penyusunan kurikulum tersebut dapat lebih realistis sesuai keadaan bangsa dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
d. Pemerintah segera membuat peraturan tentang syarat pendirian lembaga pendidikan yang moderat dan berkebangsaan serta lebih memperhatikan dan memperkuat keberadaan lembaga pendidikan lokal yang sudah ada.
2.    Dalam implementasi dan monitoring kebijakan.
a. Menambah tugas BNPT tidak hanya menanggulangi teroris tetapi juga mencegah dan menanggulangi paham / aliran keagamaan yang radikal dan fundamental serta memiliki wewenang melakukan kerjasama pengawasan dan sosialisasi ke lembaga-lembaga pendidikan Islam.
b.    Melakukan sosialisasi dan melatih guru agar memiliki nilai humanis dan nasionalis yang tinggi serta memiliki skill dalam mengajar yang terintegrasi dengan nilai-nilai tersebut.
c. Lebih memperhatikan dan memperkuat keberadaan ormas-ormas Islam lokal dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lokal yang moderat dengan memberikan fasilitas memadai sesuai dengan kebutuhannya agar mampu mengembangkan lembaganya dalam menghadapi persaingan.
d. Menambah indikator nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan dalam perekrutan pendidik dan tenaga kependidikan.
e.    Memberikan sosialisasi, bimbingan dan pengarahan kepada guru dan siswa akan bahaya paham transnasional yang radikal, fundamental dengan memberikan pengetahuan tentang modus operasionalnya serta cara pencegahannya.
f. Melakukan monitoring terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan siswa dan ekstrakulikuler disekolah agar tidak disusupi oleh paham-paham radikal.
g.  Memperkuat peran madrasah, dan pesantren dalam meminimalisir pengaruh masuknya lembaga pendidikan asing yang tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
h.  Memperbaiki dan meluruskan tafsir Al-Qur’an maupun Hadits serta ajaran-ajaran Islam yang disalah gunakan oleh kelompok-kelompok radikal dengan melibatkan peran ulama dan cendekiawan muslim dengan mengubah paradigma umat dari pemahaman ajaran keagamaan yang tekstual menuju kontekstual.
i.   Mengajarkan nilai-nilai keagamaan berkebangsaann yang humanis di setiap lembaga pendidikan Islam seluruh Indonesia dengan bobot sesuai jenjangnya masing-masing.

DAFTAR PUSTAKA

Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434.
Ach. Syaikhu, Pergulatan Organisasi Islam dalam Membendung Gerakan Ideologi Islam Transnasional”, Falasifa. Vol.3, No. 1 Maret 2012.
Ani W. Soetjipto (ed), HAM dan Politik Internasional; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pustaka Obor, 2015), https://books.google.co.id.
Azyumardi Azra, Dari Harvard Hingga Makkah, (Jakarta: Republika, 2005), https://books.google.co.id,.
Eliana Sari, “The Role Of Environmental Management Education In Islamic Boarding Schools (Pesantren) In Preventing The Radicalism Of  Students In Indonesia”,  International Journal of Education and Research, Vol. 4, No. 7 July 2016.
Endang Turmudi, Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), https://books.google.co.id.
http://nasional.news.viva.co.id, Ridho Permana (red), “Indonesia dalam Ancaman Serius Dua Ideologi Transnasional”, publikasi Selasa, 16 Februari 2016.
http://www.kemendagri.go.id, “Kemendagri Akan Revisi RUU Ormas”, Kamis, 01 Desember 2016.
http://www.nu.or.id, Abdullah Alawi (red), “Ideologi Transnasional Ancam Persatuan Indonesia”, publikasi Rabu, 20 Agustus 2014.
http://www.uinjkt.ac.id, “Radikalisme Islam Menyusup ke SMU”, publikasi 23/10/2009.
Irfan Noor, “Islam Transnasional dan Masa Depan NKRI; Suatu Perspektif Filsafat Politik”, Ilmu Ushuluddin, Januari 2011, Vol. 10, No. 1.
M. Rikza Chamami, “Pendidikan Ramah Kebangsaan”, Suara Merdeka, Jumat, 18 November 2016.
Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam HTI”, Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Muh. Khamdan, “Pengembangan Nasionalisme Keagamaan Sebagai Strategi Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional”, Addin, Vol. 10, No. 1, Februari 2016.
Mujib Ridlwan, Revitalisasi Peran Profetik Pesantren Dalam Membendung Radikalisme Agama, Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 1, Maret 2013.
Nasaruddin Umar, Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional diIndonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta 2011, Ahmad Syafi’i Mufid (ed).
Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia; Dari Radikalisme menuju Kebangsaan, (Yogyakarta; Kanisius, 2013), https://books.google.co.id.
Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan Universitas Pattimura Ambon, Prosiding Kongres Pancasila VI: Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Kelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, Endro Muhaimin, Hastangka, dkk (ed), Ambon 31 Mei-01 Juni 2014, ( Jogjakarta: Pusat Studi Pancasila (PSP) Press UGM, 2014), https://books.google.co.id.
Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU Sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Volume 9, Nomor 1, September 2014.
Toto Suharto, Ja’far Assagaf, “Membendung Arus Paham Keagamaan Radikal di Kalangan Mahasiswa PTKAIN”, Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014.






[1] http://kbbi.kemdikbud.go.id, diakses 5 Januari 2017.
[2] Ani W. Soetjipto (ed), HAM dan Politik Internasional; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pustaka Obor, 2015), hlm.  Xvii, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[3] Azyumardi Azra, Dari Harvard Hingga Makkah, (Jakarta: Republika, 2005), hlm.49, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[4] Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia; Dari Radikalisme menuju Kebangsaan, (Yogyakarta; Kanisius, 2013), hlm. 220, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[5] Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan Universitas Pattimura Ambon, Prosiding Kongres Pancasila VI: Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Kelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, Endro Muhaimin, Hastangka, dkk (ed), Ambon 31 Mei-01 Juni 2014, ( Jogjakarta: Pusat Studi Pancasila (PSP) Press UGM, 2014), Hlm. 251. https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[6] Masdar Hilmy, “Akar-Akar Transnasionalisme Islam HTI”, Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011, hlm. 1-3.
[7] Nasaruddin Umar, Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional diIndonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta 2011, Ahmad Syafi’i Mufid (ed), hlm. xi-xii.
[8] Irfan Noor, “Islam Transnasional dan Masa Depan NKRI; Suatu Perspektif Filsafat Politik”, Ilmu Ushuluddin, Januari 2011, Vol. 10, No. 1, hlm. 1-5.
[9] Endang Turmudi, Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), hlm. 105, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[10] http://www.uinjkt.ac.id, “Radikalisme Islam Menyusup ke SMU”, publikasi 23/10/2009, diakses 5 Januari 2016.
[11] Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434, hlm. 165-174.
[12] http://www.nu.or.id, Abdullah Alawi (red), “Ideologi Transnasional Ancam Persatuan Indonesia”, publikasi Rabu, 20 Agustus 2014, diakses 5 Januari 2017.
[13] http://nasional.news.viva.co.id, Ridho Permana (red), “Indonesia dalam Ancaman Serius Dua Ideologi Transnasional”, publikasi Selasa, 16 Februari 2016, diakses 5 Januari 2016.
[14] http://www.kemendagri.go.id, “Kemendagri Akan Revisi RUU Ormas”, Kamis, 01 Desember 2016, diakses 5 Januari 2017.
[15] Toto Suharto, Ja’far Assagaf, “Membendung Arus Paham Keagamaan Radikal di Kalangan Mahasiswa PTKAIN”, Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014, hlm. 158-176.
[16] Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme Agama di Sekolah”, .......hlm. 174-179.
[17] Ach. Syaikhu, Pergulatan Organisasi Islam dalam Membendung Gerakan Ideologi Islam Transnasional”, Falasifa. Vol.3, No. 1 Maret 2012, hlm. 129-131.
[18] Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan Muhammadiyah dan NU Sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Volume 9, Nomor 1, September 2014, hlm. 105.
[19] M. Rikza Chamami, “Pendidikan Ramah Kebangsaan”, Suara Merdeka, Jumat, 18 November 2016, hlm. 4.
[20] Eliana Sari, “The Role Of Environmental Management Education In Islamic Boarding Schools (Pesantren) In Preventing The Radicalism Of  Students In Indonesia”,  International Journal of Education and Research, Vol. 4, No. 7 July 2016, hlm. 413.
[21] Muh. Khamdan, “Pengembangan Nasionalisme Keagamaan Sebagai Strategi Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional”, Addin, Vol. 10, No. 1, Februari 2016, hlm. 228.
[22] Mujib Ridlwan, Revitalisasi Peran Profetik Pesantren Dalam Membendung Radikalisme Agama, Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 32-33.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda