Minggu, 09 Juli 2017

FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN

PENDAHULUAN
Ada dua buah kata yang sangat familiar di telinga kita,  dan sering digunakan dalam berbagai kesempatan dan untuk berbagai tujuan. Kedua kata itu seolah-olah memiliki makna yang sama karena akar kata tersebut memang sama, hanya akhirannya yang berbeda. Yang pertama adalah kata kebijaksanaan yang sering dipersamakan maknanya dengan kata wisdom dalam bahasa Inggris, dimana Undang-Undang Dasar 1945 dan khususnya Pancasila juga menggunakan kata ini yaitu dalam sila keempat. Kata yang kedua adalah kata kebijakan (policy), dimana dalam berbagai literatur ilmu sosial kata ini sering digunakan dan sepertinya sudah baku dengan disertai embel-embel di belakangnya berupa kata publik atau Negara, sehingga kita sering menyebutnya dengan kebijakan publik.[1] Kebijakan publik merupakan modal utama yang dimiliki pemerintah untuk menata kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Efektiftas  kebijakan  publik  akan  terukur  dari  seberapa besar kebijakan tersebut dapat direalisasikan dan memberi solusi terhadap berbagai masalah publik yang sedang terjadi.
Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi. Tahapan formulasi kebijakan merupakan mekanisme yang sesungguhnya untuk memecahkan masalah publik yang telah masuk dalam agenda pemerintah. Tahapan ini lebih bersifat teknis, dibandingkan tahapan agenda setting yang lebih bersifat politis.
Kebijakan publik dalam bidang pendidikan juga sangat penting terkait  dengan  moral  anak  didik.  Kebijakan pendidikan  mancakup  seperangkat  ketetapan, peraturan  mengenai  pendidikan  yang dirumuskan  berdasarkan  permasalahan  dengan latar belakang masyarakat yang diawali dengan perumusan,  penetapan,  implementasi  hingga pada evaluasi. Wujud dari kebijakan pendidikan ini  biasanya  berupa  Undang-Undang pendidikan,  intruksi,  peraturan  pemerintah, keputusan  pengadilan,  peraturan  menteri,  dan sebagainya menyangkut pendidikan.  Formulasi  kebijakan  yang  baik  adalah formulasi  kebijakan  yang  berorientasi  pada implementasi  dan  evaluasi.  Sebab  seringkali para  pengambil  kebijakan  beranggapan  bahwa formulasi kebijakan yang baik itu adalah sebuah uraian  konseptual  yang  sarat  dengan pesan-pesan ideal dan normatif, namun tidak membumi.[2]
Sedangkan dalam perumusan formulasi kebijakan pendidikan perlu memperhatikan berbagai aspek kehidupan yang nantinya akan menentukan arah dan tujuan pendidikan baik dalam tataran regional, nasional, maupun lokal. Dalam perumusan formulasi kebijakan pendidikan setidaknya perlu mempertimbangkan beberapa pendekatan, metodologi, aktor dan faktor-faktor tertentu yang akan kami ulas dalam pembahasan berikut ini.

A.      DEFINISI FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Formulasi berarti perumusan[3], sedangkan kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya), pernyataan cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen dalam usaha mencapai sasaran.[4] Dalam undang-undang SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I dijelaskan pendidikan merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.[5]
 Kebijakan pendidikan sebagai kebijakan publik adalah kebijakan sebagai keputusan tetap dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang membuat dan yang mematuhi keputusan tersebut. Konsistensinya ditinjau berdasarkan hirarki kebijakan yaitu: Policy level (undang-undang, TAP MPR), organization level (PP, Kepres, Kepmen), dan operational level (Dirjen).[6] Kebijakan pendidikan berkaitan dengan upaya pemberdayaan peserta didik. Oleh karena pendidikan merupakan ilmu praksis maka kebijakan pendidikan merupakan proses pemanusiaan yang terjadi dalam lingkungan alam dan sosialnya. Sehingga kebijakan pendidikan adalah penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan dalam masyarakat tertentu. Kebijakan pendidikan lahir dari ilmu praksis pendidikan sehingga kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan, perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Proses kebijakan tersebut dapat menggunakan model-model yang telah baku, walaupun model-model tersebut mempunyai kelemahan dan kekurangan, namun dengan kombinasi berbagai model dapat dihasilkan proses kebijakan yang layak.[7]
Jadi definisi formulasi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen atau pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan yang diharapkan.

B.       PENDEKATAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Secara teoritik, pendekatan perumusan kebijakan di bidang pendidikan tidak berbeda dengan pendekatan perumusan kebijakan publik, karena kebijakan pendidikan dipahami sebagai kebijakan publik. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam kerangka perumusan kebijakan pendidikan:
1. Pendekatan kelembagaan, pendekatan ini mengandalkan bahwa tugas membuat kebijakan pendidikan merupakan kewenangan pemerintah. Pendekatan ini dipandang paling sederhana dan sempit dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pendekatan ini mendasarkan pada fungsi-fungsi kelembagaan pendidikan dan berbagai tingkatan dalam perumusan kebijakan.
2.  Pendekatan proses, pendekatan ini menformulasikan kebijakan pendidikan melalui tahapan-tahapan yang runtut, tidak melompat-lompat atau langsung jadi. Menurut pendekatan ini, kebijakan pendidikan dipandang sebagai proses politik yang menyertakan rangkaian kegiatan, mulai dari identifikasi permasalahan pendidikan, formulasi proposal kebijakan pendidikan, legitimasi kebijakan pendidikan, implementasi dan evaluasi kebijakan pendidikan.
3.  Pendekatan teori kelompok, menurut pendekatan ini kebijakan pendidikan merupakan titik keseimbangan, yang berarti interaksi dalam kelompok akan menghasilkan keseimbangan terbaik. Berdasarkan pendekatan ini, individu dalam kelompok kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal dengan cara langsung maupun melalui media masa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang diperlukan.
4.  Pendekatan elitis, dalam sistem politik kebijakan pendidikan dibuat dan banyak dipengaruhi oleh para elite dari sistem itu. Dengan demikian kebijakan pendidikan mencerminkan keinginan dan kehendak kaum elit saja, tanpa ada aspirasi masyarakat.
5. Pendekatan rasional, mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai serta lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis.[8]

C.      METODOLOGI / TEORI DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Dalam usaha perumusan kebijakan pendidikan, Prof. H. A. R. Tilaar dan Riant Nugroho dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori perumusan kebijakan yaitu teori kelembagaan, proses, kelompok, elit, rasional, incremental, permainan, pilihan publik, sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis, dan teori deliberatif.[9] Dalam makalah ini kami akan menjelaskan beberapa saja diantaranya:
1. Teori inkrementalis, teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau kelanjutan dari kebijakan dimasa lalu sehingga perlu mempertahankan kinerja baik yang telah dicapai, teori ini memiliki sifat pragmatis.[10] 
2.  Teori demokratis, teori ini implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries) diakomodasi keberadaan. Apabila teori ini mampu dijalankan maka sangat efektif karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang dirumuskan.[11]
3.  Teori Strategis, Inti dari teori ini adalah perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa depan dengan keputusan sekarang. Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian dan pemecahan isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan. Perencanaan strategis dapat membantu organisasi untuk berpikir secara strategis dan mengembangkan strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa depan.[12]
4.   Teori pilihan publik, teori ini sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Intinya setiap kebijakan yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi pengguna. Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil keputusan.[13]
5.  Teori sistem, formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, maka sistem politik terdiri dari input, throughput dan output. Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.[14]

D.      SKENARIO DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Perumusan kebijakan pendidikan merupakan tahapan kedua dalam siklus kebijakan pendidikan. Sebagai tahapan kedua, formulasi kebijakan dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari tahapan agenda setting. Secara fundamental tahapan ini terjadi tatkala pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari  adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan sesuatu dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan pendidikan, persoalan mendasar adalah merumuskan masalah kebijakan (policy problems) dan merancang langkah-langkah pemecahannya (solution). Merumuskan masalah-masalah kebijakan berarti memberi arti atau menerjemahkan problema kebijakan secara benar, sedang merumuskan langkah pemecahan menyangkut perancangan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah publik tersebut. Dalam konteks perumusan masalah kebijakan, William Dunn mengatakan bahwa ada 4 (empat) macam fase proses yang saling bergantung yaitu: pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah dan pengendalian masalah.
Adapun skenario dalam merumuskan kebijakan pendidikan sebagai berikut:
1.  Pengenalan masalah diawali dengan pengakuan atau dirasakannya keberadaan situasi masalah. Situasi masalah dapat dilakukan dengan menemukan dan mengenali masalah. 
2.  Pencarian masalah, biasanya yang didapat adanya setumpuk masalah yang saling mengkait. Kumpulan masalah yang saling mengkait namun belum terstruktur tadi disebut meta masalah. 
3.   Pendefinisian masalah, dari setumpuk masalah tadi, dapat dipecahkan secara serentak, namun harus didefinisikan terlebih dahulu masalah mana yang menjadi masalah publik. Hasil pendefinian dari setumpuk masalah yang belum tertstruktur tadi menghasilkan masalah substantif. 
4.   Spesifikasi masalah, dari masalah substantif tadi kemudian dilakukan spesifikasi masalah dan menghasilkan masalah formal sebagai masalah kebijakan.
5.   Perancangan tindakan, dengan dihasilkannya masalah formal, maka tahapan berikutnya adalah perancangan tindakan yang akan dilakukan pemerintah dalam rangka memberikan solusi terhadap masalah kebijakan tersebut. Proses ini disebut dengan “usulan kebijakan” (policy proposal) yang dipahami sebagai kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian tindakan untuk mengatasi masalah tertentu.[15]

E.       AKTOR DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Aktor adalah Orang atau pelaku yang terlibat dalam proses merumuskan formulasi kebijakan yang akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran dari kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok kepentingan, partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama. Di  Indonesia  pengaruh  aktor-aktor  elit  dalam  proses  pembuatan  kebijakan  sangat  kental. Aktor tersebut dapat berasal dari institusi formal seperti lembaga legislatif dan eksekutif ataupu dari  non-  institusional  seperti  kelompok  kepentingan  dan  partai  politik.  Sharing  power  hanya terjadi  dalam  tataran  fundamental  kebijakan  akan  tetapi  tidak  terjadi  dalam  tataran  empiri dalam  arti  sharing  power  menjadi  sumber  terjadinya  dominasi  power  oleh  aktor-aktor kunci tersebut.[16]
Aktor-aktor  yang  terlibat  dalam  proses  formulasi kebijakan pendidikan tersebut terbagi dalam:
1.   Legislatif
Legislatif sering dimaksudkan sebagai pembentuk undang-undang dan perumus kebijakan. Peran mereka sangat menentukan, karena pengesahan suatu tata aturan agar menjadi kebijakan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan daerah ada ditangan mereka. Legislatif disebut sebagai aktor utama dalam merumuskan / mengesahkan kebijakan, para legislator tersebut berada pada tataran MPR, DPD, DPR, DPRD I, dan DPRD II.[17]
2.   Eksekutif
Eksekutif disini adalah para pelaksana undang-undang sekaligus berperan dalam merumuskan kebijakan agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif dapat dilaksanakan sesuai dengan faktor kondisional dan situasional. Eksekutif biasanya merumuskan kembali kebijakan yang dibuat legislatif dalam bentuk kebijakan jabaran. Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh legislatif serta merumuskan kembali atau tidak merumuskan dengan alasan tertentu. Aktor eksekutif disini antara lain Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Dinas. Sedangkan aktor eksekutif dalam bidang pendidikan adalah Mendiknas, Menag, Dirjen, Kepala Dinas, dan Rektor.[18]  
3.   Administrator
Administrator  sebagai  perumus  dan  implementator  kebijakan  memegang  peranan  penting dalam pencapain tujuan Negara yang akan terimplementasikan dalam setiap program nyata yang akan dirasakan oleh masyarakat, dengan tujuan utama masyarakat sejahtera. Formulasi merupakan  langkah  awal  dan  menjadikan  pedoman  bagi  para  administrator  dalam menjalankan setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakannya. Administrator  sebagai  penyelenggara  pemerintahan  mempunyai  peranan  sangat menentukan  keberhasilan  dan  kegagalan  suatu  kebijakan  yang  dibuatnya. Administrasi publik mempunyai peranan yang lebih besar dan lebih banyak terlibat dalam perumusan,  implementasi, dan evaluasi kebijakan publik. Peran admistrator sebagai  aktor  dalam  kebijakan  publik  sangat  menentukan  akan  terumusnya  suatu kebijakan untuk tercapainya suatu tujuan dengan berbagai keahlian yang dimiliki oleh administrator, Peran  para  aktor  administrator  dalam  proses  suatu  kebijakan  akan  ditentukan  oleh kecermatan  dan  kepiawaian  dalam  memahami  dan  melaksanakan  tahapan-tahapanproses kebijakan itu dirumuskan. Kegiatan ini merupakan pengawalan agar kebijakan yang ditetapkan sesuai dengan harapan.[19]
4.   Partai Politik (Parpol)
Partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan anggota-anggotanya dalam jajaran pemerintahan. Di Indonesia peran Parpol sangat besar sehingga hampir semua aspek kebijakan termasuk dalam bidang pendidikan akan melibatkan Parpol. Peran parpol disini dengan menempatkan anggotanya di legislatif dan pimpinan Negara maupun daerah.[20]
5.   Interest Group (kelompok berkepentingan)
Interest Group ialah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang yang memiliki kepentingan sama, seperti kelompok buruh, nelayan, petani, guru, dan kelompok professional lainnya. Kelompok ini berusaha mempengaruhi perumus kebijakan formal agar kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam kebijakan yang dirumuskan. Kelompok ini biasanya memiliki tuntutan yang bersifat khusus, sempit, dan spesifik.[21]
6.   Organisasi Masyarakat (Ormas)
Ormas merupakan kumpulan orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan sama, bersifat nonpolitis meskipun dalam kiprahnya sering bersentuhan dengan kepentingan politik. Ormas dapat berdiri sendiri (independen) atau berafiliasi dengan organisasi politik tertentu. Dalam perumusan kebijakan pendidikan ormas memiliki harapan dan aspirasi yang kemudian disampaikan kepada para perumus kebijakan formal. Di Indonesia ada beberapa ormas yang memiliki pengaruh besar dalam perumusan kebijakan pendidikan oleh pemerintah seperti NU, Muhammadiyah, ICMI, HMI, PMII, dan KAHMI.[22]
7.   Perguruan tinggi
Perguruan tinggi adalah suatu lembaga dimana para elite akademisi berada, perguruan tinggi sering dijadikan ujung tombak dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang akan dimasukkan dalam rumusan kebijakan. Peran perguruan tinggi menjadi sangat penting karena disinilah nilai-nilai idealisme masih dipertahankan, dan dalam mengupayakan berbagai kebijakan tidak akan lepas dari muatan-muatan intelektual. Perumusan kebijakan yang baik seharusnya memuat naskah akademik yang dibahas bersama para akademisi di perguruan tinggi.[23]
8.   Tokoh perorangan.
Dalam berbagai konstelasi, tokoh perorangan memegang peran cukup vital dan terkadang sangat menentukan, dia juga dapat menjadi tokoh sentral. Tokoh perorangan dapat berasal dari berbagai bidang seperti keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, seni, dan sebagainya.[24]

F.       FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
            Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan adalah:
1.   Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive” yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata, tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses formulasi kebijakan.
2.   Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
3.   Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan besar sekali.
4.   Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
5.   Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan keputusan  atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.[25]
Dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh  Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, dan Paul Y. Mbaya menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan antara lain :
1.   Needs of  the People:  In  formulating a policy,  the policy  formulators  require a good and  thorough understanding of the local needs and problems of the people. Emphasis should be given to the needs of the people, their capacities and total commitment of the local actors in the Community in supporting government programmes.
2.   Stakeholders:  In policy  formulation,  stakeholders must  first be  identified by  taking  into  account  the  interest of  the stakeholders. Government  Policy  depend  on  the  agencies  of  government  for  support  and  government  should  show positive  attitude  to  the  policy  by  ensuring  adequate measure  to  empower  the  stakeholders,  civil  society  and  other interested parties with the required pre-requisite information on the policy for their benefits.
3.   Political Will:  Political Will  should  be  the  key  factor  to  government  policy  formulation  strategies.  Political  will means  total political  support  for  a  policy  by  top  government  functionaries. This  is because  government  sometimes formulates  policy  but  lack  the  political,  social  and  economic will  to  implement  it.[26]

G.      PROBLEMATIKA DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Meskipun sebuah kebijakan telah disahkan, bukan berarti rumusan kebijakan telah bebas dari berbagai permasalahan. Banyak problem yang muncul disekitar rumusan atau statemennya yang kurang atau tidak jelas. Problematika tersebut bersumber dari beberapa hal berikut ini:
1.  Pembuat kebijakan pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan, dan persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual maupun substansial.
2.  Sumber acuan para pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak formal berbeda-beda, oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering diambil sebagai alternatif untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang membuat rumusan kebijakan pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
3. Terlalu banyak maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya statemen kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi menyebabkan persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu sederhana. Sedangkan banyaknya informasi menyebabkan para perumus kebijakan pendidikan dihadapkan pada kesulitan ketika bermaksud mensintesakan persoalan dan alternatif yang akan dipilih.[27]

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1.   Formulasi kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik dan merupakan tahap yang paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi.
2.   Formulasi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen atau pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan yang diharapkan.
3.   Pendekatan yang dapat dilakukan dalam kerangka perumusan kebijakan pendidikan adalah a) Pendekatan kelembagaan, b) Pendekatan proses, c) Pendekatan teori kelompok, d) Pendekatan elitis, e) Pendekatan rasional.
4.   Ada beberapa teori dalam memformulasikan sebuah kebijakan: a) Teori inkrementalis, b) Teori demokratis, c) Teori Strategis, d) Teori pilihan publik, e) Teori system.
5.   Aktor-aktor  yang  terlibat  dalam  proses  formulasi kebijakan pendidikan adalah: Legislatif, Eksekutif, Partai Politik (Parpol), Interest, Organisasi Masyarakat (Ormas), Perguruan tinggi, dan Tokoh perorangan.
6.   Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terhadap proses formulasi kebijakan adalah:1. adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar. 2. Adanya pengaruh kebiasaan lama. 3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. 4. Adanya pengaruh dari kelompok luar. Dan 5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
7. Ada beberapa problematika yang terjadi dalam memformulasi kebijakan pendidikan, diantaranya:
a)   Pembuat kebijakan pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan, dan persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual maupun substansial.
b)   Sumber acuan para pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak formal berbeda-beda, oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering diambil sebagai alternatif untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang membuat rumusan kebijakan pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
c)      Terlalu banyak maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya statemen kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi menyebabkan persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu sederhana. Sedangkan banyaknya informasi menyebabkan para perumus kebijakan pendidikan dihadapkan pada kesulitan ketika bermaksud mensintesakan persoalan dan alternatif yang akan dipilih.

PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Tentunya dalam makalah ini kami masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan. Untuk itu sudilah kiranya samudera maaf dari pembaca buka untuk kami. Saran dan kritik yang membangun demi kesempurnan makalah ini sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…………….

DAFTAR PUSTAKA

Aripin, Sofjan, Muhammad Daud, “Peran Administrator Publik dalam Formulasi dan Implementasi kebijakan”, Jurnal Academica Fisip Untad, Vol.06. No. 01 Februari 2014, hlm. 1158-1161.
Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, Paul Y. Mbaya, “Public Policy Formulation and Implementation in Nigeria”, Public Policy and Administration Research, Vol. 2, No. 5, 2012 , hlm. 59-61.
Bakry, Aminuddin. “Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan publik”, (Jurnal MEDTEK, Vol. 2, Nomor 1, April 2010), hlm. 12.
Basyarahil, Abubakar. “Kebijakan Publik dalam Perspektif  Teori Siklus Kebijakan”, (Jurnal Ilmiah Administrasi Negara), Tahun II, Nomor 2 Juli 2011, hlm. 7.
Emzir, M. Chan. 2010. Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hasbullah. 2015. Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://kbbi.web.id/bijak, diakses 20 September 2016
http://kbbi.web.id/formulasi, diakses 20 September 2016
Rahman, Wen Yusri, Murniati, Djailani, “Analisis Kebijakan Pendidikan Keluarga dalam Memantapkan Perilaku Moral Anak di Kabupaten Aceh Tengah”, (Universitas Syiah Kuala : Jurnal Administrasi Pendidikan  Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Vol. 3, No. 2, Mei 2015), hlm. 105-108.
Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik: Membangun Pelayanan Publik yang Responsif. Bandung: Hakim Publishing.
Tilaar, H.A.R., Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Triastuti, Maria Rosarie Harni. “Rekonsiliasi Nilai Demokrasi dan Birokrasi dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik”, JAP, Nomor 2 Volume 2003 Oktober 2003, ISSN 1214-7040, hlm. 128.
UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th. 2003 (Jogyakart



[1] Budiman Rusli, Kebijakan Publik: Membangun Pelayanan Publik yang Responsif  (Bandung: Hakim Publishing, 2013), hlm. 2.
[2] Wen Yusri Rahman, Murniati, Djailani, Analisis Kebijakan Pendidikan Keluarga dalam Memantapkan Perilaku Moral Anak di Kabupaten Aceh Tengah, Jurnal Administrasi Pendidikan  Pascasarjana Universitas Syiah Kuala, Volume 3, No. 2, Mei 2015, hlm. 105-108.
[3] http://kbbi.web.id/formulasi, diakses 20 September 2016
[4] http://kbbi.web.id/bijak, diakses 20 September 2016
[5] UU Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th. 2003 (Jogyakarta: Absolut), hlm. 9.
[6] Emzir, M. Chan, Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm.. 8.
[7] Aminuddin Bakry, “Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan public”, Jurnal MEDTEK, Volume 2, Nomor 1, April 2010, hlm. 12.
[8] Hasbullah, “Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2015), hlm.  87-89.
[9] H.A.R.Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 190-191.
[10] Ibid, hlm. 198-199
[11] Ibid, hlm. 201
[12] Ibid, hlm. 202.
[13] Ibid, hlm. 206.
[14] Ibid, hlm. 208.
[15]  Abubakar Basyarahil, Kebijakan Publik dalam Perspektif  Teori Siklus Kebijakan, Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun II, Nomor 2 Juli 2011, hlm. 7.
[16] Maria Rosarie Harni Triastuti, “Rekonsiliasi Nilai Demokrasi dan Birokrasi dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik”, JAP, Nomor 2 Volume 2003 Oktober 2003, ISSN 1214-7040, hlm. 128.
[17] Hasbullah, Op.Cit., hlm.75.
[18] Ibid.,hlm. 75-76.
[19]Sofjan Aripin, Muhammad Daud, “Peran Administrator Publik dalam Formulasi dan Implementasi kebijakan”, Jurnal Academica Fisip Untad, Vol.06  No. 01 Februari 2014, hlm. 1158-1161.
[20] Hasbullah, Op.Cit., hlm. 77.
[21] Ibid., hlm. 77-78.
[22] Ibid., hlm. 78-79.
[23] Ibid., hlm. 79.
[24] Ibid., hlm. 79.

[26] Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, Paul Y. Mbaya, “Public Policy Formulation and Implementation in Nigeria”, Public Policy and Administration Research, Vol. 2, No. 5, 2012 , hlm. 59-61.
[27] Hasbullah, Op.Cit., hlm. 82-83.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda