Minggu, 09 Juli 2017

USAHA MENGAJARKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

USAHA MENGAJARKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH

PENDAHULUAN
Program pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk membimbing prilaku seseorang melalui ketentuan standar yang telah ditetapkan, pendidikan karakter juga menyediakan berbagai cara untuk memberikan pandangan-pandangan individu tentang kehormatan dan nilai-nilai yang mewakili sekolah. Pendidikan karakter menfokuskan diri pada akhir perubahan prilaku, tetapi praktek pendidikan karakter melalui penguatan perkembangan skill sosial siswa.
Pendidikan karakter memakai mata pelajaran sekolah dan aktifitas pembelajaran untuk mengajarkan nilai-nilai karakter di sekolah. Pemikiran positif memberi pengaruh kuat pada interaksi sosial bagaimana murid dapat mengenali prilaku mereka berdampak pada orang lain dan bagaimana perbuatan mereka dapat menjadi baik maupun buruk. Pendidikan karakter dapat memberi semangat baru dalam kehidupan di sekolah. Inspirasi-inspirasi guru memberikan pemikiran baru yang berdampak pada siswa mereka. Pendidikan karakter dapat menanamkan nilai-nilai positif di sekolah yang dapat diterima oleh setiap orang. Lingkungan siswa membutuhkan support wawasan baru dari komunitas sekolah dan orang tua agar terlibat didalamnya. Dengan demikian murid-murid akan memiliki rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan teman mereka.
Pendidikan karakter dapat menjadi kunci untuk menjawab kebutuhan komunitas, meskipun pendidikan karakter tidak menyediakan jawaban tunggal. Pendidikan karakter sebagai tempat untuk mengawali, karena pendidikan karakter bermaksud agar sekolah dapat memikirkan kembali sikap dan perbuatan dalam bentuk dasar institusi mereka.  Kunci sukses pendidikan karakter bersandar pada usaha mengajarkan, jadi dalam hal ini sangat penting untuk merancang berbagai kegiatan. Dalam artikel ini menawarkan berbagai usaha untuk mengajarkan pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut.[1]
     
A.      USAHA MENGAJARKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
1.      Tugas
Pendidikan karakter bisa diawali oleh satu orang, kemudian dari seorang tersebut dapat membangun komunitas. Pendidikan karakter diawali dengan meletakkan seperangkat karakter atau nilai-nilai inti yang sesuai dengan prinsip-prinsip sekolah. Karakter-karakter ini dapat menjadi sifat dasar dalam mengarahkan orientasi siswa kepada hal-hal positif seperti (rasa hormat, tanggung jawab, jujur, tangguh). Pertama yang dilakukan adalah memasukkan nilai-nilai karakter tersebut kedalam kurikulum. Idealnya, sifat-sifat tersebut menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari lembaga. Seperti contoh, didalam pembelajaran perlu menampilkan nilai-nilai moral kepahlawanan dalam situasi kehidupan nyata, kemudian siswa didorong untuk mengenali sifat-sifat tersebut dalam kehidupan mereka sendiri.[2]  
2.      Belajar untuk memimpin
Usaha ini sebagai langkah kepemimpinan seseorang untuk memotivasi orang lain dalam bekerja menuju tujuan bersama, dengan visi jelas sebagai “pemenang”. Dengan pendidikan karakter inilah mampu mewujudkan visi tersebut. Orang akan mampu mempengaruhi orang lain untuk melakukan suatu pekerjaan karena mereka mampu menawarkan visi yang jelas untuk kelompok mereka.
Dalam hal ini gaya kepemimpinan merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut mencoba mempengaruhi perilaku orang lain agar mau bekerjasama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Oleh karena itu, usaha menyelaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat penting kedudukannya.[3] Berikut dua tipe kepemimpinan yang layak dipertimbangkan:
a.         Kepemimpinan transformatif
Gaya kepemimpinan transformatif sifatnya lebih mengedepankan rasa sosial, perhatian, dan saling memberikan penghormatan atau penghargaan antara pimpinan dan bawahan. Penghargaan atau penghormatan terhadap setiap individu oleh pimpinan kepada bawahan dapat mendorong bawahan untuk bekerja secara lebih baik. Pola interaksi inilah yang kemudian akan menentukan derajat keberhasilan pemimpin. Kepemimpinan transformasional didasarkan pada kemampuan pemimpin untuk membawa perubahan yang signifikan.[4]
Kepemimpinan transformatif  dapat juga didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat top down. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Secara lebih detil, para pemimpin yang trasformatif memiliki ciri-ciri berikut:
1)     Memiliki kharisma
2)   Membantu dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara untuk memecahkannya.
3)   Memberikan dorongan, perhatian, dukungan kepada pengikutnya untuk melakukan hal yang terbaik bagi dirinya sendiri dan komunitasnya.
4)  Memberikan motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya menggunakan bahasa verbal.
5)  Berupaya meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya tergantung pada sang pemimpin.
6)   Lebih banyak memberikan contoh ketimbang banyak berbicara. Artinya, Ada sisi keteladanan yang dihadirkan kepada para pengikutnya dengan lebih banyak bekerja.[5]
b.        Kepemimpinan transaksional
Kepemimpinan transaksional didefinisikan sebagai gaya kepemimpinan yang melibatkan nilai-nilai, tetapi nilai tersebut relevan dengan proses pertukaran seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan timbal balik. kepemimpinan transaksional sebagai kemampuan mengidentifikasi keinginan bawahan dan membantunya mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi dengan memberikan imbalan yang memuaskan. Proses tersebut disertai pula dengan kejelasan tentang penyelesaian pekerjaan dan besarnya imbalan yang akan diterima.[6]
3.      Mengenali lingkungan
Lingkungan merupakan salah satu faktor yang ikut membentuk kepribadian seseorang. Teori Konvergensi menyatakan bahwa kepribadian seseorang terbentuk dari hasil perpaduan antara dasar dan ajar, atau antara pembawaan dengan lingkungan. Lingkungan mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara individu maupun dalam kehidupan organisasi. Dalam kehidupan organisasi dan manajemen, dikenal lingkungan strategis yang meliputi lingkungan sosial, ekonomi, budaya, politik dan hukum. Mengenali lingkungan, merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia, lebih-lebih bagi seorang pemimpin. Dengan mengenali lingkungannya, manusia dapat lebih berkualitas dan bermakna dimuka bumi, antara lain:
a.    Meningkat kesadarannya bahwa dirinya merupakan bagian dari ekosistem
b. Terdapat hubungan timbal balik antara kehidupan makhluk hidup lainnya maupun dengan lingkungannya
c.  Berkembang akal budi dan perasaannya sehingga menjadi orang yang cerdas, cepat tanggap, rendah hati.
d.   Meningkat kemampuannya, bukan saja untuk menghadapi berbagai tantangan lingkungan, tetapi menjadi manusia seutuhnya, manusia yang berkualitas yang keberadaannya diharapkan/dibutuhkan untuk keselamatan bersama.[7]
4.        Melakukan bersama
Usaha ini penting untuk membantu guru, orang tua, dan staf menilai kesiapan mereka dalam menanamkan pendidikan karakter, dan untuk menyempurnakan keterampilan mereka dalam mengintegrasikan pendidikan karakter dalam setiap pelajaran. Yang lebih penting, siswa harus terlibat dalam pertemuan itu bersama-sama. Ini adalah kegiatan transformasi bagaimana menunjukkan pendidikan karakter dengan model pelajaran pembangunan karakter.
Menanamkan pendidikan karakter pada siswa diperlukan kerjasama antara individu maupun dengan komunitas seperti kerjasama antara kepala sekolah, guru, staff, dan orang tua siswa. Pendidikan karakter dipandang sebagai proses panjang dalam membantu seseorang menemukan karakter yang baik dalam hal pemahaman, kepedulian, maupun tindakan.[8]
5.      Memformulasikan strategi
Pendidikan karakter untuk siswa bisa diintegrasikan dalam mapel, sebagai mapel tersendiri, dan lewat ekstra kulikuler. Dengan kegiatan kurikuler, pendidikan karakter dapat dimulai dengan antusias besar seperti ekstrakulikuler pramuka, PMR, Pecinta alam, dan sebagainya. Jika siswa menjadi orang yang berkarakter, mereka butuh panutan yang secara konsisten menunjukkan prilaku nyata pada mereka. Pada waktu bersamaan, sekolah harus bekerja dalam kelompok perencanaan alami mereka untuk mengkoordinasikan kegiatan pendidikan karakter mereka. Sebagian besar sekolah memperkenalkan nilai baru pada saat yang sama untuk seluruh sekolah (nilai baru setiap hari, minggu, atau bulan, tergantung pada jumlah nilai-nilai inti).
Strategi pelaksanaan penanaman karakter dapat dilakukan dengan cara mengintegrasikan karakter yang sudah ditentukan kedalam pembelajaran. Adapun pengintegrasian karakter kedalam pembelajaran dapat dilakukan dengan cara, sebagai berikut:
a.    Menentukan karakter dengan cara mengkaji Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) yang didalamnya terkandung karakter yang ditananamkan.
b.    Mengembangkan karakter yang terkandung dalam SK dan KD kedalam indikator.
c.    Mencantumkan karakter dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran.[9]
Adapun setiap mata palajaran mempunyai nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan dalam diri anak didik. Hal ini disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mapel yang tentunya mempunyai karakteristik yang berbeda-beda. Berikut beberapa distribusi penanaman nilai-nilai utama dalam tiap mata pelajaran:
a.   Pendidikan Agama:  Nilai utama yang ditanamkan antara lain: religius, jujur, santun, disiplin, tanggung jawab, cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada aturan, sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras, dan adil.
b.  Pendidikan Kewargaan Negara: Nasionalis, patuh pada aturan sosial, demokratis, jujur, mengahargai keragaman, sadar akan hak dan kewajiban diri dan orang lain.
c.     Bahasa Indonesia: Berfikir logis, kritis, kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun, nasionalis.
d.     Ilmu Pengetahuan Sosial: Nasionalis, menghargai keberagaman, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras.
e.    Ilmu Pengetahuan Alam: Ingin tahu, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri, menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli lingkungan, cinta ilmu
f.     Bahasa Inggris: Menghargai keberagaman, santun, percaya diri, mandiri, bekerja sama, patuh pada aturan sosial
g.  Seni Budaya: Menghargai keberagaman, nasionalis, dan menghargai karya orang lain, ingin, jujur, disiplin, demokratis
h.  Penjasorkes: Bergaya hidup sehat, kerja keras, disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, mengahrgai karya dan prestasi orang lain
i.    TIK/Ketrampilan: Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang lain.
j.         Muatan Lokal: Menghargai kebersamaan, menghargai karya orang lain, nasional, peduli.[10]
Strategi selanjutnya yang bisa dipakai dalam usaha pendidikan karakter ialah dengan metodologi / pendekatan. Pendekatan pendidikan karakter dengan cara memberikan pelajaran khusus, seperti ketika masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila, dikhawatirkan akan menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi yang mematikan nalar dan daya kritis siswa. Pendekatan pendidikan karakter bisa dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata pelajaran khusus, integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran, atau pendekatan integral yang mempergunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika pendidikan di sekolah. Apapapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai, kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter, struktur dan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah, dan sebagainya.[11]
6.      Melibatkan pihak lain (diluar sekolah)
     Kegiatan yang tidak baik jika hanya melibatkan satu orang untuk menginspirasi dan mengembangkan program pendidikan karakter. Kita membutuhkan bantuan orang lain untuk mengembangkan pendidikan karakter. Kita memerlukan peran orang tua, guru dan administrasi dalam proses pendidikan karakter. Kita juga memerlukan konsultan, dimana konsultan diperlukan untuk membantu sekolah menyesuaikan program mereka sendiri, atau paket kurikuler dapat dibeli yang memiliki nilai inti dan rencana pelajaran siap untuk digunakan di dalam kelas.
Keluarga / rumahtangga / orang tua memiliki peran penting dalam pendidikan karakter, keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama dan utama mestilah diberdayakan. Keluarga hendaklah kembali menjadi “school of love”, sekolah untuk kasih sayang. Dalam perspektif Islam, keluarga sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa rahmah”, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Islam memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah). Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa) oleh karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri.
Kemudian lingkungan masyarakat luas juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari perspektif Islam, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula. Dalam konteks itu, al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, muncul gagasan dan ajaran tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tanggung jawab bersama dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.[12]
7.      Memberdayakan siswa untuk memimpin diri
Akhirnya, sebuah kata harus diucapkan untuk suara yang sangat penting untuk arah seorang siswa sekolah. kepemimpinan bagi pendidikan karakter sering diharapkan datang dari guru, orang tua, dan administrator, tetapi siswa yang penting untuk proses. tidak memerintah mereka keluar atau meninggalkan mereka keluar! pendidikan karakter dimaksudkan untuk menawarkan pahlawan moral kepada siswa, misalnya orang yang bertindak sesuai dengan prinsip-prinsip, dan yang menampilkan komitmen untuk komunitas. Pemerintah siswa adalah tanah subur misalnya keadilan dan keadilan, dan tim atletik mampu berbicara tentang rasa hormat dan kerja sama tim.
Salah satu usaha dalam memberdayakan siswa untuk belajar memimpin ialah dengan pelatihan LDK (latihan dasar kepemimpinan). LDK merupakan wujud pembinaan bagi kalangan siswa untuk menjadikannya sebagai pemimpin yang baik didalam suatu organisasi, mengajarkan bagaimana cara berorganisasi yang baik, memupuk kemandirian dan kedisiplinan siswa, menanamkan kesadaran saling menjaga sebagai calon pemimpin dan anggota masyarakat, serta memberikan tuntunan dalam meningkatkan pola pikir, sikap dan prilaku yang baik. LDK juga sebagai sarana melatih karakter dan membangun kepercayaan diri siswa untuk bisa memimpin.[13]

B.       USAHA-USAHA LAIN DALAM MENGAJARKAN PENDIDIKAN KARAKTER
1.      Usaha mengajarkan pendidikan karakter di Jepang
Masalah karakter adalah masalah mendasar. Karakter terbentuk dalam kurun waktu yang lama dan proses yang panjang. Ada beberapa faktor yang menyebabkan Jepang menjadi bangsa yang berkarakter unggul, salah satunya adalah mereka sangat memperhatikan pendidikan karakter. Melalui pendidikan moral atau pendidikan karakter ini tercipta karakter bangsa Jepang yang terkenal sebagai bangsa yang ulet, pekerja keras, gigih, jujur, memiliki rasa toleransi, dan rasa kesetiakawanan yang tinggi. Pendidikan karakter di Jepang telah diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam mata pelajaran lainnya. Pendidikan karkater sangat diutamakan baik di lembaga formal maupun non formal. Dari sejak TK sampai perguruan tinggi mereka memperoleh pendidikan karakater yang kemudian mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Jepang terdiri atas sistem 6-3-3-4 dimana siswa wajib mengemban 6 tahun SD (Shougakkou), 3 tahun SMP (Chuugakkou), 3 tahun SMA (Koutougakkou), 4 tahun atau lebih untuk jenjang Perguruan Tinggi (Daigaku). Kurikulum pendidikan di Jepang terdiri atas tiga kategori: (1) mata pelajaran akademik (wajib dan pilihan), (2) pendidikan moral / karakter, dan (3) kegiatan khusus. Pendidikan karakter diberikan sebanyak 34 jam belajar pada tingkat awal, 35 jam pada tingkat kedua hingga 9 (kelas 2 SD hingga 3 SMP). Hal ini mewakili 3,3-4,0% dari total jam belajar setiap tahunnya dari tiap tingkat. Dengan kata lain, terdapat satu jam pelajaran (45 menit untuk SD dan 30 menit untuk SMP) pendidikan  karakter yang diberikan setiap minggunya. Berikut beberapa usaha pendidikan karakter di sekolah maupun di luar sekolah di Jepang.
a.    Usaha pendidikan karakter di lembaga formal (sekolah)
1)   Pendidikan moral di SD dan SMP diajarkan terintregasikan dalam semua mata pelajaran.
2)  Pendidikan karakter lebih mengutamakan realisasi / praktek dari pengajaran moral tersebut dalam kehidupan sehari-hari, melalui metode learning by doing.
3)  Pendidikan karakter diajarkan dalam pelajaran seikatsu atau life skill atau pendidikan kehidupan sehari-hari.
4)   Pendidikan karakter mengajarkan tentang team work dan kepemimpinan.
5)  Pendidikan karakter diajarkan melalui program tokkatsu yaitu, setiap pelajar terlibat aktif dalam kegiatan yang dirancang bersama-sama dimana semua anggota kelompok memiliki tugas masing-masing.
b.    Usaha pendidikan karakter di luar sekolah
Di lembaga non formal, pendidikan karakter diajarkan di keluarga, masyarakat serta perusahaan. 
1) Dalam keluarga yang memegang peranan penting dalam mengajarkan karakter adalah ibu. Pendidikan ibu (Kyoiku mama) merupakan salah satu program yang cukup berhasil dalam mendidik karakter seorang anak dalam keluarga, dimana dalam program tersebut seorang ibu di Jepang diberi tanggung jawab yang sangat besar untuk mendidik anaknya menjadi seorang yang berhasil dalam masyarakat yang mempunyai karakter unggul yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
2) Dalam masyarakat, pendidikan karakter lebih mengacu kepada penanaman kedisiplinan agar masyarakat patuh hukum, tidak melanggar norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat. Untuk itu pemerintah banyak memasang poster atau gambar yang mendorong masyarakat agar mempunyai karakter baik, disiplin, mempunyai budaya malu dan bertanggung jawab. Para pejabat di Jepang memberi contoh dan ketauladanan dalam hal mendidik masyarakatnya agar mempunyai karakter yang baik. Bila ada pejabat yang melanggar aturan negara serta merugikan masyarakat umum mereka tidak segan untuk segera mengundurkan diri tanpa menunggu pemecatan.
3) Di perusahaan-perusahaan, pendidikan karakter juga diterapkan sehingga perusahaan-perusahaan Jepang mempunyai pekerja yang rajin, disiplin, bertanggung jawab, mempunyai loyalitas yang sangat tinggi. Pendidikan karakter di perusahaan Jepang dilakukan secara langsung pada saat training maupun secara tidak langsung pada saat bekerja setiap hari dengan mengacu kepada prinsip 5S (seiri “ringkas”, seiton “rapih”, seisou “resik”, seiketsu “rawat”, dan shitsuke “rajin”) yang menjadi ciri khas dari perusahaan Jepang.[14]
2.      Usaha mengajarkan pendidikan karakter di Indonesia melalui kearifan lokal
Kearifan lokal (local wisdom) sebagai warisan masa lalu yang berasal dari leluhur adalah pandangan hidup dan ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Kekayaan kearifan lokal di Indonesia sebenarnya berperan dalam membentuk pendidikan karakter. Kearifan  lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam kehidupan konkret sehari-hari baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Akhir-akhir ini tampaknya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku, musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, toleransi dan gotong royong, telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling mengalahkan. Kearifan budaya lokal Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki ciri khas yang berbeda di masing-masing daerah namun memiliki peran dalam pendidikan karakter bangsa. Berikut beberapa contoh kearifan lokal yang berkembang dan mampu dijadikan landasan pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia:
a.    Aceh: Udep tsare mate syahid (hidup bahagia, meninggal diterima Allah Swt).
b.    Melayu (Deli, Kalimantan Barat, Sibolga, Sumatra Barat): Lain lubuk lain ikannya, di mana bumi diinjak di situ langit dijunjung.
c.  Batak: Hasangapon, hagabeon, hamoraon, sarimatua (kewibawaan, kekayaan, keturunan yang menyebar, kesempurnaan hidup).
d. Wamena: Weak Hano Lapukogo (susah senang sama-sama), Ninetaiken O’Pakeat (satu hati satu rasa).
e.    Bugis: Sipakatau (saling mengingatkan), Sipakalebbi (saling menghormati).
f.   Minahasa: Torang Samua Basudara (kita semua bersaudara), Mapalus (gotong royong), Tulude Maengket (kerja bakti untuk rukun), Baku-baku bae, baku-baku sayang, baku-baku tongka, baku-baku kase inga (saling berbaik-baik, sayang menyayangi, tuntun-menuntun, dan ingat mengingatkan).
g. Bali: Manyama braya (semua bersaudara), Tat Twam Asi (senasib sepenanggungan), Tri Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni Pariangan (harmoni dengan Tuhan), Pawongan (harmoni dengan sesama manusia), dan Palemahan (harmoni dengan lingkungan alam).
h.    Jawa Timur: Siro yo ingsun, ingsun yo siro(kesederajatan atau egalitarianism), Antar-antaran ugo (persaudaraan).
i.   Dayak Bekati: Janji baba’s ando (janji harus ditepati), Janji pua’ take  japu (jangan janji sekedar kata-kata).
j.  Sasak (Lombok): Bareng anyong jari sekujung (bersama-sama lebur dalam satu), Embe aning jarum ito aning benang (ke mana arah jarum ke situ arah benang).
k.  DIY/Yogyakarta: Alon-alon asal kelakon (biar pelan asal selamat, kehati-hatian), Sambatan (saling membantu).
l.  Sampang (Madura): Lakona-lakone, kennengga kennengge (kerjakan dengan baik apa yang menjadi pekerjaanmu dan tempati dengan baik pula apa yang telah ditetapkan sebagai tempatmu),  Ango’an  poteo tolang, e tebang potea mata (lebih baik putih tulang dari pada putih mata).[15]

ANALISA JURNAL
Dari ketiga jurnal diatas yang memuat usaha dalam mengajarkan pendidikan karakter, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagai berikut:
1.        Kelebihan dan kekurangan
Pada jurnal pertama (Patricia J. Harned), pembahasan usaha dalam mengajarkan pendidikan karakter di sekolah lebih subtansial, teoritis dan runtut sesuai alur tahapan pertama hingga tahapan berikutnya, namun masih minim dalam pemberian contoh sehingga pembaca merasa kesulitan dalam memahami dan mengaplikasikannya.
Pada jurnal yang kedua (Budi Mulyadi), mengenai contoh dari usaha penerapan pendidikan karakter di sekolah formal maupun non formal di Jepang mampu memberikan gambaran yang konkrit, dan realistis sehingga mudah dipahami oleh pembaca dan membawa pembaca serasa masuk dalam alur pikiran penulis jurnal. Namun penulis belum mampu memberikan gambaran bagaimana teknik / strategi mengaplikasikan pendidikan karakter di Indonesia.
Sedangkan dalam jurnal yang ketiga (Ulfah Fajarini), penulis jurnal banyak memberikan contoh-contoh kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia yang mampu dijadikan pijakan dalam usaha mengajarkan pendidikan karakter di Indonesia, namun penulis belum mampu memberikan gambaran konkrit bagaimana langkah-langkah / cara dalam mengajarkan kearifan lokal tersebut dalam dunia pendidikan.
2.        Kesamaan dan perbedaan
Kesamaan dari ketiga jurnal tersebut, sama-sama memberikan contoh usaha dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada siswa dilembaga pendidikan baik yang formal maupun non formal. Sedangkan perbedaan dari ketiga jurnal terletak pada strategi / teknik pendekatan yang di pilih dalam mengimplementasikan pendidikan karakter kepada siswa.

KESIMPULAN
Pendidikan karakter di beberapa negara sudah mendapatkan prioritas sejak pendidikan dasar dimulai. Namun di Indonesia, pendidikan karakter masih dipandang sebagai wacana dan belum menjadi bagian yang terintegrasi dalam pendidikan formal. Pendidikan karakter mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendidikan karakter penting bagi pertumbuhan individu menjadi manusia yang seutuhnya dan sebaiknya dilakukan sejak dini.
Dengan melihat pembahasan ketiga jurnal diatas dapat kita tarik kesimpulan sebuah usaha yang dapat dijadikan acuan dalam pembelajaran pendidikan karakter yang sesuai dengan tipologi masyarakat Indonesia ialah dengan mengakomodir berbagai kearifan daerah untuk di dimasukkan dalam rancangan usaha pendidikan karakter di masing-masing daerah tersebut dengan melalui tahapan-tahapan sesuai jurnal pertama kemudian disempurnakan dengan contoh usaha pendidikan karakter di Jepang.

DAFTAR PUSTAKA
Anam, Much Arif Saiful, “Pendidikan Karakter: Upaya Membentuk Generasi Berkesadaran Moral, Jurnal Pendidikan Agama Islam”, Volume. 02 Nomor. 02 November 2014.
Andrian, Ilda, “Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Sekolah Unggul”, Jurnal Administrasi Pendidikan Volume 2 Nomor 1, Juni 2014.
Fajarini, Ulfah, “Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter”, Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014.
Fazri, Danar Aulia Tama, “Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Gaya Kepemimpinan Transaksional Dengan Disiplin Kerja”, ejournal Psikologi, Volume 2, Nomor 2, 2014.
Harned, Patricia J., Leading the Effort To Teach Character in Schools, NASSP Bulletin, October 1999.
Italiani, Fanni Adhistya, “Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Dan Transaksional Terhadap Kinerja Pegawai”, Jurnal Ilmu Manajemen, Volume 1 Nomor 2 Maret 2013.
Kurniawan, Machful Indra, “Mendidik Untuk Membentuk Karakter Siswa Sekolah Dasar: Studi Analisis Tugas Guru Dalam Mendidik Siswa Berkarakter Pribadi yang Baik”, Journal Pedagogia, Volume. 4, No. 2, Agustus 2015.
Mulyadi, Budi, “Model Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat Jepang”, Jurnal Izumi, Volume 3, No 1, 2014.




[1] Patricia J. Harned, Leading the Effort To Teach Character in Schools, NASSP Bulletin, October 1999, hlm. 25-26
[2] Loc. Cit., hlm. 26.
[3] Ilda Andrian, Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Sekolah Unggul, Jurnal Administrasi Pendidikan Volume 2 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 322.
[4] Danar Aulia Tama Fazri, Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Gaya Kepemimpinan Transaksional Dengan Disiplin Kerja, ejournal Psikologi, Volume 2, Nomor 2, 2014, hlm. 153.
[6] Fanni Adhistya Italiani, Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Dan Transaksional Terhadap Kinerja Pegawai, Jurnal Ilmu Manajemen, Volume 1 Nomor 2 Maret 2013, hlm. 455.
[8] Much Arif Saiful Anam, Pendidikan Karakter: Upaya Membentuk Generasi Berkesadaran Moral, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume. 02 Nomor. 02 November 2014, hlm. 401.
[9] Machful Indra Kurniawan, “Mendidik Untuk Membentuk Karakter Siswa Sekolah Dasar: Studi Analisis Tugas Guru Dalam Mendidik Siswa Berkarakter Pribadi yang Baik”, Journal Pedagogia, Volume. 4, No. 2, Agustus 2015, hlm. 124.
[10] http://balitbangdiklat.kemenag.go.id, “Kurikulum Pendidikan Yang Berkarakter”, diakses 4 Desember 2016.
[11] http://www.pendidikankarakter.org, Doni Koesoema A, “Kucing Hitam Pendidikan Karakter”, diakses 4 Desember 2016
[12] http://www.erlangga.co.id, ” Pendidikan Karakter: Peran Sekolah dan Keluarga”, diakses 4 Desember 2016.
[13] https://kalsel.kemenag.go.id, “MAN 1 Tanah Bumbu Laksanakan LDK”, diakses 4 Desember 2016
[14] Budi Mulyadi, Model Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat Jepang, Jurnal Izumi, Volume 3, No 1, 2014, hlm. 69-79.
[15] Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter, Sosio Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014, hlm. 123-130.