Rabu, 07 Desember 2016

EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH TERHADAP WACANA FULL DAY SCHOOL DI INDONESIA

EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH TERHADAP WACANA FULL DAY SCHOOL DI INDONESIA

Penerapan sistem full day school (FDS) di sejumlah lembaga pendidikan akhir-akhir ini diilhami oleh rasa keprihatinan atas sistem persekolahan konvensional yang dipandang memiliki banyak kelemahan karena sistem persekolahan lebih intelectual oriented, sementara nihil dalam segi afektif dan psikomotoriknya. Hal demikian terjadi antara lain disebabkan karena sangat terbatasnya jumlah waktu yang diberikan oleh sekolah dan interaksinya yang serba formal mekanistis. Hingga saat ini sistem full day school telah menjadi kecenderungan kuat dalam proses edukasi di negara kita. Banyak lembaga pendidikan yang menerapkan sistem ini dengan model yang sangat variatif. Istilah yang digunakan juga beragam seperti, full day school, boarding school, dan program ma’had. Dari perspektif historis, sistem pembelajaran sehari penuh (full day  school) sesungguhnya bukan hal baru. Sistem ini telah lama diterapkan dalam tradisi pesantren melalui sistem asrama atau pondok, meskipun dalam bentuknya yang sangat sederhana. Dengan diilhami oleh kelebihan sistem pondok/asrama dalam tradisi pesantren, sejumlah sekolah mulai melakukan inovasi persekolahan melalui perintisan full day school yang dalam hal-hal tertentu sangat mirip dengan pesantren dengan sejumlah modifikasi. Dengan demikian, konsep full day school merupakan modernisasi, bahkan sistematisasi atau modifikasi dari tradisi pesantren, yang dalam batas tertentu pesantren kurang menyadari substansi pola kependidikan yang diaplikasikannya karena sudah menjadi sebuah tradisi yang melekat secara inhern dalam proses transformasi keilmuanya. Karenanya full day school dalam aplikasinya bisa saja tetap mempertahankan format tradisi pesantren, namun tradisi yang telah tersadarkan akan substansinya.[1]
   Akan tetapi sebuah wacana baru seperti FDS yang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy akan di implementasikan di seluruh sekolah formal se Indonesia akan medapatkan hambatan dan penolakan keras dari berbagai elemen masyarakat jika dipaksakan dalam pelaksanaannya dan tidak melihat atau merespon keunikan tiap daerah (local wisdom). Karena hal tersebut dapat mengganggu sistem yang sudah berjalan dimasing-masing daerah, seperti mematikan keberadaan Madrasah Diniyah yang sudah sejak lama berdiri. Oleh karena itu dalam artikel ini akan kita bahas apa sebenarnya sistem Full Day School dan bagaimana respon dari pemerintah dan masyarakat Indonesia mengenai wacana penerapan FDS di sekolah-sekolah formal diseluruh Indonesia serta bagaimana komunitas madrasah menanggapi wacana ini.

A.      HAKEKAT FULL DAY SCHOOL
Full Day School terdiri dari 3 kata yaitu full yang artinya penuh, day yang artinya hari dan school yang artinya sekolah. Jadi full day school adalah kegiatan sehari penuh di sekolah. Sekolah dengan sistem full day school adalah bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan kurikulum Kemendiknas dan ditambah dengan kurikulum kemenag. Model yang dikembangkan adalah pengintegrasian antara pendidikan agama dan umum dengan memaksimalkan perkembangan aspek kognitif, afektif serta psikomotorik. Proses belajar mengajarnya diberlakukan dari pagi sampai sore yang dimulai dari pukul 06.40 pagi sampai 15.40 sore. Dalam full day school, kegiatan-kegiatan belajar seperti  tugas sekolah yang biasanya dikerjakan di rumah dapat dikerjakan di sekolah dengan bimbingan guru yang bertugas. Namun bukan berarti full day school mengekang siswa untuk tidak bermain dan terus menerus belajar, tetapi dalam full day school juga terdapat metode dan media  belajar yang meliputi kelas dan alam sehingga siswa tidak menjadi bosan. Dengan adanya sistem full day school, lamanya waktu pembelajaran tidak menjadi beban karena sebagian waktunya digunakan untuk waktu-waktu informal.[2]
Sebenarnya sekolah model full day School sudah pernah dikemukakan Charles Gorton (1986) dalam School Administration, dan telah dipraktekkan pada sekolah-sekolah di Amerika dan Jepang. Dengan model full day school mereka berharap dapat memberikan layanan pendidikan memiliki kualitas mutu pendidikan yang layak dan sesuai dengan kondisi obyektif mereka sebagai orang tua. Artinya, anak ketika berangkat dan pulang sekolah, pada saat salah satu orang tuanya, ibu atau bapak sudah berada di rumah. Konsep sekolah model ini dibangun  dengan kebersamaan dan kerjasama antara sekolah, orang tua dan masyarakat. Tiga pilar penyangga pendidikan ini menjadi modal untuk memproses, pembelajaran siswa (row input) menuju target pendidikan yang telah disepakati bersama. Tujuan pendidikan full day school adalah menseimbangkan antara hablun minAllah dan hamlun minannas yang terukur dalam  sikap relegius siswa (beraqidah kokoh, berakhlaq mulia) dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibatasi ruang dan waktu, serta memiliki kemampuan akademis tinggi. Spesifikasi kurikulum  full day school yaitu kurikulum dari sisi mata pelajaran agama Islam berupa substansi dan esensi serta mata pelajaran akademis.[3]
Secara umum, sekolah full day didirikan untuk mengakomodir berbagai permasalahan yang ada di masyarakat, yang menginginkan anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik baik dari aspek akademik dan non akademik serta memberikan perlindungan bagi anak dari pergaulan bebas. Secara rinci sekolah full day didirikan karena adanya tuntutan diantaranya:
1.        Minimnya waktu orang tua di rumah karena tingginya tuntutan kerja. Orang tua akan memberikan kesibukan pada anaknya sepulang sekolah dengan jaminan keamanan dan manfaat yang banyak. Lain halnya jika orang tua kurang memperhatihan masalah anak, maka  yang terjadi adalah anak akan mencari kegiatan negatif tanpa kendali bahkan bisa jadi anak akan terjebak dalam lingkungan pergaulan sosial yang buruk.
2.        Perlunya pengawasan terhadap segala kebutuhan dan keselamatan anak, terutama bagi anak di usia dini selama orang tua bekerja.
3.        Perlunya formalisasi jam-jam tambahan keagamaan karena dengan minimnya waktu orang tua di rumah maka secara otomatis pengawasan terhadap hal tersebut juga minim.
4.        Perlunya peningkatan kualitas pendidikan sebagai solusi berbagai permasalahan bangsa saat ini.[4]

B.       WACANA FULL DAY SCHOOL DI INDONESIA
Dalam harian detik.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy menjelaskan program Full day school bisa menerjemahkan lebih lanjut dari program nawacita Jokowi-JK, dimana pendidikan dasar SD dan SMP mendapatkan pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge basenya. Guru diberikan banyak waktu untuk mendidik dan menanamkan karakter nawacita kepada murid-muridnya. Selain itu, program Full day school dapat mencegah penyimpangan para pelajar usai pulang sekolah. Full day school akan dikombinasikan dengan kegiatan-kegiatan di luar kelas. Tujuannya agar para siswa tidak terbebani secara psikologis dengan mengikuti program belajar yang hanya di ruang kelas. Mendikbud menjelaskan, full day school telah dipraktikkan di sekolah-sekolah swasta. Bila program ini diterapkan, maka para siswa akan mendapatkan dua hari libur pada Sabtu dan Minggu. Muhadjir mengatakan, program jam belajar sehari penuh ini akan dikombinasikan dengan kegiatan-kegiatan di luar kelas. Tujuannya agar para siswa tidak terbebani secara psikologis dengan mengikuti program belajar yang hanya di ruang kelas. Karena secara psikologis daya tahan anak hanya mampu bertahan berapa jam. Tapi dengan pembelajaran diluar kelas anak bisa bergembira belajar berbagai macam hal. Menurut Muhadjir, program sekolah sehari penuh dimaksudkan untuk menguatkan program nawacita di bidang pendidikan. Para guru nantinya mengisi jam belajar dengan memberikan materi mengenai pendidikan karakter kebangsaan. Meskipun wacana full day school menuai respons beragam mulai dari Wapres, pengamat pendidikan, hingga pemerhati anak. Sebagian besar para tokoh pendidikan menyarankan agar program full day school harus dikaji secara matang dan diuji coba ke publik. Penerapan program ini juga membutuhkan tenaga pengajar yang berkualitas dan kreatif. Sarana dan prasarana sekolah pun harus mendukung. Dengan begitu, program ini akan menghasilkan anak didik yang cemerlang.[5]
Kemudian dalam harian kompas.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Muhadjir Effendy juga mengatakan, Presiden Joko Widodo telah berpesan bahwa kondisi ideal pendidikan di Indonesia adalah ketika dua aspek pendidikan bagi siswa terpenuhi, yaitu pendidikan karakter dan pengetahuan umum. Pada jenjang sekolah dasar (SD), siswa mendapatkan pendidikan karakter sebanyak 80 % dan pengetahuan umum sebanyak 20 %. Sementara, pada jenjang sekolah menengah pertama (SMP), pendidikan karakter bagi siswa terpenuhi sebanyak 60 % dan pengetahuan umum sebanyak 40 %. Oleh karena itu, memperkuat pendidikan karakter peserta didik menjadi rujukan dalam menentukan sistem belajar mengajar di sekolah. Kemudian, untuk memenuhi pendidikan karakter di sekolah, Kemendikbud akan mengkaji penerapan sistem belajar mengajar dengan full day school. Sistem full day school bukan berarti siswa belajar selama sehari penuh di sekolah, namun siswa mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Hal tersebut dapat dilakukan dengan menerapkan pembelajaran formal sampai dengan setengah hari, selanjutnya diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler yang menyenangkan dan membentuk karakter, kepribadian, serta mengembangkan potensi siswa. Mendikbud  Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini sistem belajar tersebut masih dalam pengkajian lebih mendalam, termasuk perihal kondisi sosial dan geografis mana saja yang memungkinkan sistem belajar tersebut diterapkan. Muhadjir Effendy juga mengatakan, penerapan full day school dapat membantu orangtua dalam membimbing anak tanpa mengurangi hak anak. Setelah bekerja, para orangtua dapat menjemput buah hati mereka di sekolah. Dengan sistem ini, orangtua tidak khawatir atas keamanan anak-anaknya karena mereka tetap berada di bawah bimbingan guru selama orangtuanya berada di tempat kerja. Dengan hari libur sabtu dan minggu dapat menjadi waktu bagi keluarga, dengan begitu, komunikasi antara orangtua dan anak tetap terjaga dan ikatan emosional juga tetap terjaga.[6]
Ketua PW Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) DKI Jakarta sekaligus Wakil Ketua STAINU Jakarta, Aris Adi Leksono menjelaskan, sesungguhnya program full day school bukan hal yang baru. Bagi kalangan pesantren dan basis Nahdliyin mendidik anak dengan totalitas waktu dan daya dukung lainnya sudah ada sejak zaman dulu. Pesantren bukan sekedar full day, tapi thuluz zaman atau belajar sepanjang hayat sehingga karakter dan pengetahuan yang didapat menjadi matang dan tuntas (mastery learning). Aris menuturkan jika program full day school tersebut jadi dilakukan, pihaknya yakin akan menambah daftar trial and error sistem pendidikan nasional. Alasannya, kondisi sekolah kita masih banyak yang belum siap, sarana belum memadai, sistem pendidikan yang belum siap, sistem pembelajaran, dan masih banyak kendala teknis lainnya. Menurut Aris, Mendikbud harusnya lebih fokus pada pengembangan kurikulum dan pemerataan kompetensi guru, sehingga pelayanan standar pendidikan nasional dapat dirasakan seluruh pelosok negeri. Jika program FDS mau dilaksanakan perlu melihat keberadaan pendidikan non formal keagamaan seperti madrasah diniyah, karena tidak sedikit anak yang  belajar agama di Madrasah Diniyah usai pulang sekolah. Madrasah Diniyah memiliki peran strategis untuk penanaman nilai agama bagi anak dan usia remaja. Kemudian permasalahan berikutnya ialah interaksi sosial anak menjadi terbatas, terutama dalam upaya pengembangan minat dan bakat anak di luar sekolah.[7]

C.      EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH DI INDONESIA
Di Indonesia masih terjadi disparitas dan ketidakadilan yang menonjol antara sekolah negeri dengan swasta, guru PNS dengan guru non-PNS, sekolah di kota dan di desa, apalagi di wilayah 3T (terpencil, terluar dan tertinggal). Belum lagi yang dialami oleh madrasah formal (Raudlatul Athfal, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah), Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat secara mandiri tanpa menggantungkan negara, mendirikan lembaga pendidikan keagamaan Islam dengan mendidik anak bangsa melek huruf Arab, baca tulis Al-Quran, memahami ibadah praktis dan membekali mereka akhlakul karimah. Itulah jasa Pondok Pesantren dan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) yang kemudian belakangan muncul Taman Pendidikan Al-Quran (TPA). Lembaga-lembaga Pendidikan Keagamaan Islam ini secara nyata berkontribusi bagi peningkatan pendidikan dan keagamaan, meski di tengah berbagai kesulitan yang dialami pemerintah. Menurut data EMIS Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama RI (2015) jumlah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam cukup spektakuler. Ada sekitar 29 ribu pondok pesantren yang tersebar dari Sabang sampai Merauke dengan jumlah santri 4 juta orang. Sementara MDT berjumlah 76.566 dengan jumlah santri 6.000.062 orang. Adapun TPQ berjumlah 123.271 lembaga dan santrinya berjumlah 7.121.304 orang.[8] Di layanan Pendidikan Keagamaan Islam itu, para peserta didik di asah akalnya, ditajamkan hatinya dan dikuatkan mental spiritualnya. Lulusan peserta didik pada layanan Pendidikan Keagamaan Islam itu secara mayoritas memiliki karakter dan kepribadian yang mumpuni serta memiliki integritas keislaman dan kebangsaan sekaligus.
Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) ialah suatu pendidikan keagamaan Islam nonformal yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi siswa pendidikan umum. Untuk tingkat dasar (diniah takmiliya awaliyah) dengan masa belajar 6 tahun. Untuk menengah atas (diniah takmiliyah wustha) masa belajar tiga tahun, untuk menengah atas (diniyah ulya) masa belajar selama tiga tahun dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam seminggu. Menurut  Amin Haidar yang dijelaskan kembali oleh Umar perubahan nomenklatur dari Madrasah Diniyah menjadi Diniyah Takmiliyah berdasarkan pertimbangan bahwa kegiatan Madrasah Diniyah merupakan pendidikan tambahan sebagai penyempurna bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang hanya mendapat pendidikan agama Islam dua jam pelajaran dalam satu minggu, oleh karena itu sesuai dengan artinya maka kegiatan tersebut yang tepat adalah diniyah takmiliah. Madrasah Diniyah (MD) atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliah (MDT) sejak terbitnya Peraturan Pemerintah No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan masa penyiaran Islam di Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul secara alamiah melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus, perlahan sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Pada masa penjajahan hampir semua desa yang penduduknya beragama Islam, terdapat Madrasah Diniah (Diniyah Takmiliah), dengan nama dan bentuk berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, seperti pengajian, surau, rangkang, sekolah agama dan lain lain. Mata  pelajaran agama juga berbeda beda yang yang pada umumnya meliputi aqidah, ibadah, akhlak, membaca Al Qur’an dan bahasa Arab. Meskipun demikian keberadaan MDT masih terkesan kurang mendapat perhatian khusus baik dari kalangan masyarakat maupun pemerintah. Padahal jika melihat perkembangan spiritualitas generasi saat ini sudah semakin memprihatinkan. Sehingga untuk menunjang proses peningkatan kecerdasan spiritualitas tersebut tidak cukup kalau hanya mengacu pada pendidikan formal seperti SD, SMP, MTs, dan sebagainya. Dimana di dalamnya hanya terdapat sedikit waktu untuk berbagi nilai nilai spiritualitas tersebut. Jadi sudah barang tentu menjadi keniscayaan pentingnya pengembangan sistem Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) sebagai alternatif yang dominan untuk melengkapi pelajaran keagamaan dalam lembaga formal tersebut yang terkesan memiliki waktu sedikit dalam proses peningkatan keimanan, katakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ini.[9]
Dalam pengembangan kurikulum MDT memang sangat variatif, tergantung dari mana para ustadz menimba ilmu di pesantrennya masing-masing. Hingga saat ini, pemerintah belum banyak memfasitasi keberadaan MDT, kalaupun ada masih sangat minim biasanya berupa bantuan karikatif seperti bantuan gedung, ruang kelas, sarana dan prasarana pembelajaran, pertemuan, workshop dan short course untuk peningkatan kapasitas ustadz MDT dan peningkatan kapasitas ustadz lainnya. Dalam dasawarsa terakhir ini secara kelembagaan posisi MDT mulai diperkuat dengan lahirnya Forum Komunikai Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan dibeberapa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menginisiasi lahirnya Perda-Perda Diniyah untuk menunjukan kepedulian kepada lembaga ini. Pada saat yang sama muncul kegiatan besar di kalangan MDT yaitu PORSADIN (Pekan Olahraga dan Seni Madrasah Dinyah Tamiliyah) yang dimulai dari tingkat daerah hingga nasional, meskipun masih minim dari segi pendanaan.
Dengan wacana menerapkan kebijakan full day school (FDS) di seluruh Indonesia, justru secara halus dan pelan-pelan ditengarai akan mematikan lembaga pendidikan keagamaan Islam tersebut. Dampak dari kebijakan itu akan menjadikan hak lembaga pendidikan keagamaan Islam seperti MDT menjadi terancam hilang. Padahal, selama ini MDT telah rela berbagi waktu dengan melakukan pembelajaran di sore hari. Dengan wacana FDS wajar jika komunitas lembaga Pendidikan Keagamaan Islam, utamanya MDT dan pondok pesantren, paling nyaring untuk meminta Mendikbud meninjau ulang rencana diberlakukannya kebijakan FDS. Bagi komunitas pesantren dan MDT, full day school merupakan persoalan serius. Dengan diberlakukannya FDS malah dinilai oleh sejumlah kalangan langkah mundur yang berdampak pada mandulnya peran serta masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan nasional. Bahkan selama ini negara dianggap belum optimal memberikan pengakuan dan memfasilitasi pesantren dan MDT walau sudah sangat jelas mereka ada dan berkontribusi pada pembentukan karakter dan moral bangsa. Masyarakat Islam, khususnya komunitas MDT, merasakan ancaman serius atas kebijakan FDS.
Gagasan full day school (FDS) menjadi tepat bagi masyarakat perkotaan yang komplek. Orang tuanya bekerja di luar rumah, kondisi jalan yang macet dan kerap membahayakan. Secara substantif membekali karakter, moral dan akhlak anak di tengah kemiskinan penyelenggaraan pondok pesantren, MDT dan TPA. Namun menjadi kontra produktif jika di semua wilayah Indonesia utamanya pedesaan diselenggarakan FDS. Perlu dipikirkan FDS bukan berlaku menyeluruh di semua wilayah NKRI namun bersifat fakultatif. Di beberapa daerah yang bukan kota santri dimana belum tumbuh subur pondok pesantren dan MDT, kebijakan FDS perlu disinergikan dengan pendirian MDT di sekolah, baik SD maupun SMP. Untuk itu, sudah saatnya dilakukan Memorandum of Understanding (MoU) antara Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang kemudian didistribusi kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota untuk membuka MDT di lingkungan sekolah. Bisa diwujudkan dalam bentuk extrakurikuler.  Misalkan di sebuah SD dididirikan/bekerjasama dengan MDT agar anak-anak di SD tersebut mempunyai pengetahuan keagamaan yang cukup. Lebih dari itu adalah mengembangkan karakter, mental dan moral peserta didik. Output sinergi MDT di Sekolah adalah para siswa tidak akan naik kelas jika belum lulus sejumlah mata pelajaran di MDT. Seandainya FDS dipahami dengan menghadirkan MDT di sekolah tentu masyarakat santri tidak akan gelisah dan berang dibuatnya. Namun bagi daerah yang sudah tumbuh subur lembaga pendidikan keagamaan Islam tidak pas untuk dikembangkan FDS.[10]



KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa model pendidikan full day school (FDS) merupakan pengembangan dari model pondok pesantren yang memiliki banyak kelebihan serta cocok diterapkan di kehidupan modern seperti ini untuk menangkal efek negatif dari lingkungan luar sekolah yang tidak produktif dan tidak baik serta dapat meningkatkan prestasi akademik maupun spiritual siswa jika dikelola dengan professional dan sungguh-sungguh. Meskipun demikian, model FDS yang dalam wacana pelaksanaannya berarti sekolah sehari penuh juga memiliki beberapa kekurangan jika ditinjau dari berbagai aspek, seperti aspek psikologis siswa, ekonomi dan sosial kemasyarakan. Belum lagi wacana penerapan full day school (FDS) secara menyeluruh di semua sekolah formal mulai dari tingkat SD, SMP, SMA sederajat se Indonesia akan menimbulkan berbagai persoalan sosial, ekonomi baru. Karena masih banyak sekolah  di daerah-daerah Indonesia yang non perkotaan belum siap memberlakukan sistem FDS karena terkendala kuantitas dan kualitas sarana prasarana dan SDM yang dimiliki masing-masing daerah.
Belum lagi kendala local wisdom, dimana mayoritas daerah pedesaan di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam telah memiliki sekolah non formal seperti Madrasah Diniyah / MDT yang telah ada sejak lama, yang mana proses pembelajarannya dilaksanakan pada siang, sore atau malah hari. Dengan di berlakukannya FDS tentu pelan-pelan akan mematikan keberadaan MDT tersebut sehingga akan banyak orang yang kehilangan ladang mengamalkan ilmu agama dan mata pencaharian mereka. Sehingga wacana penerapan full day school (FDS) secara menyeluruh di sekolah formal mulai dari tingkat SD, SMP, SMA sederajat se Indonesia perlu dikaji ulang dengan memikirkan keberadaan MDT sebagai asset berharga dari masing-masing daerah.
Jika pelaksanaan full day school (FDS) memang sudah menjadi agenda wajib dari pemerintah dan harus di implementasikan maka perlu memilih sekolah atau daerah yang sudah siap dalam menjalankannya, meskipun di Indonesia memang sudah banyak sekolah yang menerapkan sistem FDS dengan berbagai perbedaan nama / nomenklaturnya tetapi sama dalam pemaknaannya. Atau dengan melakukan kerjasama / mou dengan pemerintah daerah dan elemen masyarakat yang terlibat dengan lembaga-lembaga non formal seperti MDT, TPQ dan sebagainya agar bisa disinergikan dan bisa menjadi simbiosis mutualisme. Kerjasama itu bisa berupa pelaksanaan pendidikan di sekolah formal dan MDT dikerjakan dalam satu atap, dimana memasukkan kurikulum MDT dalam kurikulum sekolah sebagai mata pelajaran wajib atau sebagai ekstrakurikuler wajib bagi siswa siswi muslim yang dilaksanakan siang / sore hari setelah proses pembelajaran formal berakhir, serta tenaga guru / ustadznya berasal dari MDT yang sudah ada. Atau tetap dengan sistem dua atap, namun mewajibkan semua siswa siswi muslim setelah pulang sekolah di sore / malam hari belajar ngaji di MDT yang sudah ada di sekitar lingkungan sekolah atau disekitar tempat tinggal mereka dengan memasukkan mata pelajaran MDT dalam raport siswa baik dalam mata pelajaran utama wajib / mata pelajaran tambahan wajib yang mempengaruhi kenaikan atau prestasi akademik siswa. Sehingga terjadi kerjasama intern antara pihak pengelola sekolah formal dan pihak pengelola MDT dalam mendidik dan mengawasi prilaku keseharian siswa-siswi mereka. Kemudian untuk meningkatkan kualitas pendidikan di MDT perlu juga diselenggarakan berbagai pelatihan oleh pemerintah atau pihak terkait terhadap berbagai unsur-unsur SDM MDT dalam sistem manajemen pengelolaan dan proses pembelajaran yang professional, efektif, dan efisien serta terfokus pada perubahan karakter dan akhlak siswa.

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Suyuthi, Model Pendidikan Full Day School Dalam Perspektif Inovasi Pendidikan Indonesia, Akademika, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013.
Lisnawati Soapatty, Pengaruh Sistem Sekolah Sehari Penuh (Full Day School) terhadap Prestasi Akademik Siswa , Kajian Moral dan Kewarganegaraan, Nomor. 2 Volume. 2 Tahun. 2014.
Marfiah Astuti, Implementasi Program Full day School Sebagai Usaha Mendorong Perkembangan Sosial Peserta Didik, Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Volume 1, Nomor  2, Juli 2013.
Nor Hasan, Fullday School  (Model Alternatif Pembelajaran Bahasa Asing) , TadrĂ®s Volume 1. Nomor 1. 2006.
http://emispendis.kemenag.go.id/emis2015/.
http://www.nu.or.id/post/read/70497/kenapa-harus-full-day-school.




[1] Nor Hasan, Fullday School  (Model Alternatif Pembelajaran Bahasa Asing) , TadrĂ®s Volume 1. Nomor 1. 2006, hlm. 111-113.
[2] Lisnawati Soapatty, Pengaruh Sistem Sekolah Sehari Penuh (Full Day School) terhadap Prestasi Akademik Siswa , Kajian Moral dan Kewarganegaraan, Nomor. 2 Volume. 2 Tahun. 2014, hlm. 720.
[3] Ahmad Suyuthi, Model Pendidikan Full Day School Dalam Perspektif Inovasi Pendidikan Indonesia, Akademika, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 112-116.
[4] Marfiah Astuti, Implementasi Program Full day School Sebagai Usaha Mendorong Perkembangan Sosial Peserta Didik, Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Volume 1, Nomor  2, Juli 2013, hlm. 134.
[8]  http://emispendis.kemenag.go.id/emis2015/, diakses 23 September 2016
[10] http://www.nu.or.id/post/read/70497/kenapa-harus-full-day-school

KONSEP DASAR KURIKULUM

KONSEP DASAR KURIKULUM

PENDAHULUAN
Kurikulum merupakan salah satu bagian penting terjadinya suatu proses pendidikan. Karena suatu pendidikan tanpa adanya kurikulum akan kelihatan amburadul dan tidak teratur. Kurikulum merupakan salah satu alat untuk mencapai tujuan pendidikan, dan sekaligus digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan proses belajar mengajar pada berbagai jenis dan tingkat pendidikan. Kurikulum menjadi dasar dan cermin falsafah pandangan hidup suatu bangsa, akan diarahkan kemana dan bagaimana bentuk kehidupan bangsa ini di masa depan, semua itu ditentukan dan digambarkan dalam suatu kurikulum pendidikan. Kurikulum haruslah dinamis dan terus berkembang untuk menyesuaikan berbagai perkembangan yang terjadi pada masyarakat dunia dan haruslah menetapkan hasilnya sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam kaitannya dengan usaha membenahi masalah-masalah pendidikan aspek kurikulum mendapat sentuhan terlebih dahulu. Hal ini bukan berarti aspek yang lain tidak mendesak untuk ditinjau ulang. Yang menjadi pertanyaan di sini mengapa kurikulum? Karena kurikulum dipandang sebagai perangkat pendidikan yang akan membawa arah pendidikan itu sendiri. Kurikulum bagaikan jarum kompas di tengah gelombang yang menimbulkan ketidakpastian seorang guru dan peserta didik di tengah samudra pendidikan yang sangat luas.

A.      KONSEP KURIKULUM
1.    Hakekat kurikulum
Secara historis, istilah kurikulum pertama kalinya diketahui dalam kamus Webster (Webster Dictionary) tahun 1856. Pada mulanya istilah kurikulum digunakan dalam dunia olah raga, yakni suatu alat yang membawa orang dari start sampai ke finish. Kemudian pada tahun 1955, istilah kurikulum dipakai dalam bidang pendidikan, dengan arti sejumlah mata pelajaran di suatu perguruan.[1] Dalam bahasa arab, kurikulum sering disebut dengan istilah al-manhaj, berarti jalan terang yang dilalui manusia dalam kehidupannya. Istilah tersebut jika dikaitkan dengan pendidikan, berarti jalan terang yang dilalui oleh pendidik atau guru dengan peserta didik untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap serta nilai-nilai.[2] Menurut UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 1 butir 19, kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.[3]
Pengertian kurikulum berkembang sejalan dengan perkembangan teori dan praktik pendidikan. Dalam pandangan lama (tradisional), kurikulum merupakan kumpulan sejumlah mata pelajaran yang harus disampaikan oleh guru dan dipelajari oleh siswa. Pandangan ini menekankan pengertian kurikulum pada segi isi. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang disajikan guru kepada siswa untuk mendapatkan ijazah atau naik tingkat. Pengertian kurikulum ini, sama dengan rencana pelajaran di sekolah, yang disajikan guru kepada murid. Kurikulum semacam ini, tidak lebih dari daftar singkat mengenai sasaran dan isi pendidikan yang diajarkan di sekolah atau program silabus atau pokok bahasan yang akan diajarkan.[4] Dalam pandangan yang muncul kemudian (modern), penekanan terletak pada pengalaman belajar. Dengan titik tekan tersebut, kurikulum diartikan sebagai segala pengalaman yang disajikan kepada para siswa dibawah pengawasan atau pengarahan sekolah.[5]
Ada sejumlah ahli teori kurikulum yang berpendapat bahwa kurikulum bukan hanya meliputi semua kegiatan yang direncanakan melainkan juga peristiwa-peristiwa yang terjadi dibawah pengawasan sekolah, jadi selain kegiatan kurikuler yang formal juga kegiatan kurikuler yang tidak formal. Kegiatan kurikuler yang tidak formal ini sering disebut ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler.[6] Berikut ini beberapa pengertian kurikulum menurut para pakar, yaitu:
a.    John franklin Bobbit (1918), menjelaskan kurikulum sebagai mata pelajaran.
b.    Caswell dan Campbell (1935), kurikulum merupakan seluruh pengalaman dari anak yang berada dalam pengawasan guru.
c.    Edward A. Krug (1957), kurikulum terdiri dari cara yang digunakan untuk mencapai / melaksanakan tujuan yang diberikan sekolah.
d.   Menururt Hilda Taba (1962), kurikulum adalah rencana pembelajaran.[7]
e.    Schubert (1986), kurikulum merupakan mata pelajaran, program kegiatan pembelajaran yang direncanakan, hasil pembelajaran yang diharapkan, agenda rekonstruksi sosial, dan reproduksi kebudayaan.
f.     Layton (1989), kurikulum dipengaruhi oleh sistem sosial politik, ekonomi, rasional, teknologi, moral, keagamaan, dan keindahan.[8]
Dari sejumlah pendapat di atas dapat disimpulkan, kurikulum adalah semua pengalaman, kegiatan, dan pengetahuan murid di bawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau guru. Pengertian kurikulum ini memberikan implikasi pada program sekolah bahwa semua kegiatan yang dilakukan murid dapat memberikan pengalaman belajar. Kegiatan-kegiatan tersebut dapat meliputi kegiatan di dalam kelas, seperti kegiatan dalam mengikuti proses belajar ­ mengajar (tatap muka), praktek keterampilan, dan sejenisnya, atau kegiatan di luar kelas, seperti kegiatan pramuka, wisata karya, kunjungan ke tempat-tempat wisata/sejarah, peringatan hari-hari besar nasional dan keagamaan, dan sejenisnya. Bahkan, semua kegiatan yang berhubungan dengan pergaulan antara murid dengan guru, murid dengan murid, murid dengan petugas sekolah, dan pengalaman hidup murid sendiri. Tegasnya, pengertian kurikulum ini mengandung cakupan yang luas, karena meliputi semua kegiatan murid, pengalaman murid, dan semua pengaruh baik fisik maupun non fisik terhadap pertumbuhan dan perkembangan murid.

2.    Macam Kurikulum
Berikut akan kami sajikan tiga macam bentuk kurikulum sebagai berikut:
a.    Ideal Curriculum berarti kurikulum yang ideal artinya kurikulum mengarah dan mendekati kesempurnaan suatu kurikulum yang nantinya akan diterapkan. Di dalam ideal curriculum berisi bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan dan direncanakan serta dirancangkan secara sistematik untuk mencapai tujuan pendidikan, seperti SKL, standar isi, silabus, dan RPP.
b.    Actual Curriculum berarti kurikulum yang nyata artinya kurikulum dalam pelaksanaannya bersumber dari kurikulum yang ideal agar tidak jauh dari tujuan yang diinginkan dari ideal curriculum, contohnya dalam pembelajaran.
c.    Hidden Curriculum berarti kurikulum yang tersembunyi tetapi tidak berarti hilang atau tidak ada melainkan kurikulum yang tidak direncanakan dan tidak termasuk kedalam kurikulum sekolah. Kurikulum  tersembunyi  dapat  dipandang  sebagai  tujuan yang tidak tertulis, dapat juga diartikan sebagai segala sesuatu yang  terjadi tanpa direncanakan terlebih dahulu yang dapat dimanfaatkan oleh guru untuk mencapai tujuan pembelajaran. Hidden curriculum sebagai hal yang berhubungan dengan pendidikan moral dan peran guru dalam mentransformasikan standar nilai moral, contohnya ketika ada siswa yang terlambat secara langsung guru memberikan teguran didepan siswa lain sebagai pembelajaran moral dalam disiplin.[9]

3.    Kedudukan kurikulum
Kedudukan kurikulum adalah sebagai sentral (pusat) dalam seluruh proses pendidikan, serta memiliki kedudukan strategis dalam mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan di sekolah/madrasah demi tercapainya tujuan pendidikan. Berkaitan dengan hal itu, kedudukan kurikulum dalam pendidikan adalah:
a.    Kurikulum merupakan sesuatu yang sangat strategis untuk mengendalikan jalannya proses pendidikan. Hal ini menunjukkan kurikulum menjadi tempat kembali dari semua kebijakan-kebijakan pendidikan yang dilakukan oleh pihak manajemen sekolah atau pemerintah. Jika batasan yang seperti ini digunakan, maka dengan sendirinya kedudukan atau posisi kurikulum di dalam keseluruhan proses pendidikan menempati posisi yang sangat sentral.
b.    Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan.
c.    Kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi pengembang kurikulum berbagai institusi pendidikan.[10]

4.    Fungsi kurikulum
Fungsi Kurikulum, berkenaan dengan pemanfaatan dan kegunaan kurikulum untuk semua pihak yang terlibat dalam proses pendidikan. Pada dasarnya kurikulum berfungsi sebagai pedoman atau acuan untuk mencapai tujuan pendidikan sesuai yang dicita-citakan. Bagi guru, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam melaksanakan proses pembelajaran. Bagi kepala sekolah, kurikulum berfungsi untuk menyusun perencanaan dan program sekolah. Bagi pengawas sekolah, kurikulum berfungsi sebagai panduan dalam melaksanakan supervisi.[11] Bagi orang tua, kurikulum berfungsi sebagai pedoman dalam membimbing anaknya belajar di rumah. Bagi masyarakat, kurikulum berfungsi sebagai pedoman untuk memberikan bantuan bagi terselenggaranya proses pendidikan di sekolah. Sedangkan bagi siswa, kurikulum berfungsi sebagai suatu pedoman belajar.
Berkaitan dengan fungsi kurikulum bagi siswa sebagai subjek didik, terdapat enam fungsi kurikulum, yaitu:
a.    Fungsi Penyesuaian, mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mengarahkan siswa agar mampu menyesuaikan dirinya dengan lingkungan, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial. Lingkungan itu sendiri senantiasa mengalami perubahan dan bersifat dinamis.
b.    Fungsi Integrasi, mengandung makna bahwa kurikulum sebagi alat pendidikan harus mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utuh. Siswa pada dasarnya merupakan anggota dan bagian integral dari masyarakat. Oleh karena itu, siswa harus memiliki kepribadian yang dibutuhkan untuk dapat hidup dan berintegrasi dengan masyarakatnya.
c.    Fungsi Diferensiasi, mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan pelayanan terhadap perbedaan individu siswa, baik dari aspek fisik maupun psikis yang harus dihargai dan dilayani dengan baik.
d.   Fungsi Persiapan, mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu mempersiapkan siswa untuk melanjutkan studi ke jenjang pendidikan berikutnya dan dapat mempersiapkan siswa untuk dapat hidup dalam masyarakat.
e.    Fungsi Pemilihan, mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan harus mampu memberikan kesempatan kepada siswa untuk memilih program-program belajar yang sesuai dengan kemampuan dan minatnya.
f.     Fungsi Diagnostik, mengandung makna bahwa kurikulum sebagi alat pendidikan harus mampu membantu dan mengarahkan siswa untuk dapat memahami dan menerima kekuatan (potensi) dan kelemahan yang dimilikinya.[12]

5.    Peran Kurikulum
Peran kurikulum, berkenaan dengan tugas dan tanggung jawab kurikulum sebagai salah satu komponen dalam pendidikan yang memuat tentang arah dan tujuan pendidikan. Kurikulum sebagai program pendidikan yang telah direncanakan secara sistematis mengemban peranan sebagai berikut :
a.    Peranan Konservatif, salah satu tanggung jawab kurikulum adalah mentransmisikan dan menafsirkan warisan sosial kepada generasi muda. Dengan demikian, sekolah sebagai suatu lembaga sosial dapat mempengaruhi dan membina tingkah laku para siswa dengan nilai-nilai sosial yang ada dalam masyarakat, sejalan dengan peranan pendidikan sebagai suatu proses sosial. Karena pendidikan itu sendiri pada hakekatnya berfungsi pula menjembatani antara siswa dengan orang dewasa di dalam proses pembudayaan yang semakin berkembang menjadi lebih kompleks, dan disinilah peranan kurikulum turut membantu proses tersebut.
b.    Peranan Kritis / Evaluatif, kebudayaan senantiasa berubah dan sekolah tidak hanya mewariskan kebudayaan yang ada, melainkan juga menilai, memilih unsur-unsur kebudayaan yang akan diwariskan. Dalam hal ini, kurikulum turut aktif berpartisipasi dalam kontrol sosial dan menekankan pada unsur berpikir kritis. Niali–nilai sosial yang tidak sesuai lagi dengan keadaan masa mendatang dihilangkan dan diadakan modifikasi dan perbaikan, sehingga kurikulum perlu mengadakan pilihan yang tepat atas dasar kriteria tertentu.
c.    Peran Kreatif, kurikulum melakukan kegiatan-kegiatan kreatif dan konstruktif, dalam arti mencipta dan menyusun sesuatu yang baru sesuai dengan kebutuhan masa sekarang dan masa yang akan datang dalam masyarakat. Guna membantu setiap individu mengembangkan semua potensi yang ada padanya, maka kurikulum menciptakan pelajaran, pengalaman, cara berpikir, kemampuan dan keterampilan yang baru yang dapat bermanfaat bagi masyarakat.[13]

6.    Komponen kurikulum
Para pemikir pendidikan mempunyai perbedaan ragam dalam menentukan jumlah komponen kurikulum. Subandijah membagi komponen kurikulum menjadi lima yaitu: tujuan, isi, strategi, media, dam proses. Sedangkan menurut Nasution komponen kurikulum ada empat yaitu : tujuan, bahan pelajaran, proses, dan penilaian. Berikut ini akan di uraikan secara singkat mengenai komponen-komponen tersebut.[14]
1.    Komponen tujuan
Tujuan merupakan hal paling penting dalam proses pendidikan.yaitu hal yang ingin dicapai secara keseluruhan, yang meliputi :
·      Tujuan domain kognitif yaitu tujuan yang mengarah pada pengembangan akal dan intelektual peserta didik.
·      Tujuan domain afektif yaitu tujuan yang mengarah pada penggerakan hati nurani para peserta didik.
·      Tujuan domain psikomotor yaitu tujuan yang menngarah pada pengembangan ketrampilan jasmani peserta didik.
2.    Komponen isi dan struktur progam atau materi
Komponen isi dan struktur progam atau materi merupakan bahan yang diprogamkan guna mencapai tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Uraian bahan pelajaran inilah yang dijadikan dasar pengambilan bahan dalam setiap belajar mengajar dikelas oleh pihak guru. Isi atau materi berupa materi-materi bidang studi, seperti Matematika, Bahasa Indonesia, IPA, IPS, dan sebagainya. Bidang-bidang tersebut disesuaikan dengan jenis, jenjang maupun jalur pendidikan yang ada. Bidang-bidang tersebut biasanya telah dicantumkan dalam struktur program kurikulum sekolah yang bersangkutan.[15]
3.    Komponen media atau sarana dan prasarana
Media merupakan sarana perantara dalam mengajar. Sarana dan prasarana atau media merupakan alat bantu untuk memudahkan pendidik dalam mengaplikasikan isi kurikulum agar lebih mudah dimengerti oleh peserta didik dalam proses belajar mengajar. Ketepatan memilih alat media merupakn suatu hal yang penting dikarenakan akan mempengaruhi daya tangkap peserta didik.[16]
4.    Komponen strategi belajar mengajar
Dalam proses belajar mengajar, seorang pendidik perlu memahami suatu Strategi. Strategi menujuk pada sesuatu pendekatan (approach), metode (method), dan peralatan mengajar yang diperlukan. Strategi mempunyai arti komprehensif yang mesti dipahami dan diupayakan untuk pengaplikasiannya oleh seorang pendidik sejak dari mempersiapkan pengajaran sampai proses evaluasi. Dengan menggunakan strategi yang tepat dan akurat proses belajar mengajar dapat memuaskan pendidik dan peserta didik khususnya pada proses transfer ilmu yang dapat ditangkap para peserta didik. Akan tetapi penggunaan strategi yang tepat dan akurat sangat ditentukan oleh tingkat kompetensi pendidik.[17]
5.    Komponen proses belajar mengajar
Komponen ini sangatlah penting dalam suatu proses pendidikan. Tujuan akhir proses mengajar adalah terjadinya perubahn tingkah laku peserta didik menjadi manusia yang lebih baik. Komponen ini erat kaitannya dengaan suasana belajar di dalam ruangan kelas maupun di luar kelas. Upaya seorang pendidik untuk menumbuhkan motivasi dan kreatifitas dalam belajar merupakan langkah yang tepat. Komponen proses ini juga berkaitan dengan kemampuan pendidik dalam menciptakan suasana pengajaran yang kondusif agar efektivitas tercipta dalam proses pembelajaran. Pada intinya guru harus mengoptimalkan perannya sebagai educator, motivator, manager, dan fasilitator.[18]
6.    Komponen Evaluasi atau Penilaian
Untuk melihat sejauh mana tingkat keberhasilan dalam pelaksanaan kurikulum, maka diperlukan evaluasi. Dengan evaluasi atau penilaian akan diketahui tingkat keberhasilan dari semua komponen. Komponen evaluasi ini tidak hanya memperlihatkan sejauhmana prestasi peserta didik saja, tetapi juga sebagai sumber input bagi sekolah sebagai upaya perbaikan dan pembaharuan suatu kurikulum. Evaluasi yang signifikan dan berkelanjutan sangat diperlukan untuk mendukung terwujudnya suatu pengembangan kurikulum secara efektif dan bermakna. Dengan evaluasi juga dapat diperoleh informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan belajar siswa. Berdasarkan informasi itu dapat dibuat keputusan tentang kurikulum itu sendiri, pembelajaran, kesulitan, dan upaya bimbingan yang perlu dilakukan. Evaluasi kurikulum membutuhkan pengumpulan, pemrosesan, dan interpretasi mengenai data terhadap program pendidikan.[19]

B.       KURIKULUM SEBAGAI PROGRAM
Kurikulum dapat dipandang sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai sejumlah tujuan-tujuan pendidikan tertentu.[20] Pada hakekatnya kurikulum menjadi suatu program kegiatan terencana dan memiliki rentang yang cukup luas hingga membentuk suatu pandangan yang menyeluruh. Disatu pihak kurikulum dipandang sebagai suatu dokumen tertulis, dan dilain pihak kurikulum dipandang sebagai rencana tidak tertulis.[21]
Kurikulum merupakan sebuah program yang didesain, direncanakan, dikembangkan, dan dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar yang sengaja diciptakan di sekolah. Kurikulum sebagai sebuah program / rencana pembelajaran, tidaklah hanya berisi tentang program kegiatan, tetapi juga berisi tentang tujuan yang harus ditempuh beserta alat evaluasi untuk mengetahui keberhasilan pencapaian tujuan, disamping itu juga berisi tentang alat atau media yang diharapkan mampu menunjang pencapaian tujuan tersebut. Kurikulum sebagai suatu rencana pendidikan disusun untuk melancarkan proses belajar mengajar dibawah bimbingan dan tanggung jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.[22] Jadi kurikulum adalah suatu program pendidikan yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku yang dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan.[23]

C.      KURIKULUM SEBAGAI TUJUAN
Kurikulum sebagai tujuan memiliki arti bahwa kurikulum didesain sebagai usaha / alat dalam mencapai tujuan pendidikan yang disusun secara hierarki mulai dari tingkat nasional hingga instruksional. Kurikulum pada suatu sekolah merupakan suatu alat atau usaha dalam mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang diinginkan oleh sekolah tertentu yang dianggap cukup tepat dan krusial untuk dicapai.
Tujuan selalu berkaitan dengan hasil, tetapi tujuan lebih merupakan kegiatan yang mengandung proses. Tujuan menampilkan aktivitas yang teratur dan pada akhirnya tujuan akan berdampak pada hasil.[24] Dalam merumusan tujuan harus meliputi:
1.    Proses mental
2.    Produk, bahan yang berkaitan dengan itu.
3.    Tujuan yang kompleks harus dispesifikkan sehingga lebih jelas bentuk kelakuan yang di harapkan.
4.    Tujuan harus di nyatakan dalam bentuk kelakuan yang di harapkan dari kegiatan belajar itu.
5.    Tujuan yang sering bersifat ”development” yaitu tidak dapat di capai sekaligus akan tetapi harus di kembangkan secara berkala.
6.    Tujuan hedaknya realistis atau dapat di capai siswa pada tingkat dan usia tertntu.
7.    Tujuan harus meliputi segala aspek perkembangan anak yang menjadi tanggung jawab sekolah / madrasah yang biasanya meliputi aspek kognitif, afektif, serta keterampilan psikomotorik.[25]
Di Indonesia dapat diketahui ada empat tujuan pendidikan yang secara hierarkis dapat dijadikan pedoman dalam perencanaan dan pengembangan kurikulum sebagai berikut;
1.    Tujuan Nasional / Tujuan Pendidikan Nasional (TPN), adalah tujuan umum yang sarat dengan muatan filosofis, yang di rumuskan oleh pemerintah dalam bentuk undang-undang.
2.    Tujuan Institusional (TI), adalah tujuan yang harus di capai oleh setiap lembaga pendidikan.
3.    Tujuan Kurikuler (TK), adalah tujuan yang harus di capai oleh setiap bidang studi atau mata pelajaran.
4.    Tujuan Pembelajaran atau Instruksional (TP), adalah kemampuan atau keterampilan yang di harapkan dapat di miliki oleh siswa setelah mereka melakukan proses merupakan syarat mutlak bagi guru.[26]
Keempat tujuan pendidikan diatas bersumber dari tujuan berbangsa dan bernegara yang termuat dalam pembukaan UUD 1945 sebagai berikut:
1.        Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
2.        Untuk memajukan kesejahteraan umum,
3.        Mencerdaskan kehidupan bangsa,
4.        Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.

D.      KURIKULUM SEBAGAI REKONSTRUKSI SOSIAL
Masyarakat senantiasa berubah dan akan terus berubah. Masyarakat sekarang jauh berbeda dengan masyarakat pada masa lalu, dan akan berbeda dengan  masyarakat  yang akan datang. Perubahan itu sedikit banyak akan mempengaruhi cara hidup dan cara berpikir manusia. Masyarakat memiliki ciri dinamis, kedinamisannya menuntut terus berkembangnya peradaban. Dengan demikian kurikulum harus elastis dan fleksibel mengikuti detik demi detik perkembangan yang terus diusahakan oleh manusia. Kurikulum yang fleksibel penting untuk menjaga kelangsungan manusia.
Membicarakan kurikulum sama halnya membincangkan konsensus (kesepakatan) sosial, produk kesepakatan berbentuk tulisan atau lisan yang akan dijalankan bersama guna mencapai tujuan. Konsensus lahir karena sebuah keinginan bersama untuk melakukan sesuatu hal. Konsensus berisikan nilai-nilai yang berasal dari seluruh kelompok masyarakat yang sangat mendalam dan substansial yang kemudian menjadi konstruksi berfikir, bersikap, dan bertindak untuk dilaksanakan oleh siapa pun yang telah menyepakati.[27] 
Kurikulum sebagai rekonstruksi sosial, merupakan model kurikulum yang lebih memusatkan perhatian pada problem-problem yang dihadapi dalam masyarakat. Pendidikan bukan upaya sendiri melainkan kegiatan bersama, kerjasama, dan interaksi. Melalui interaksi dan kerjasama, siswa berusaha memecahkan problem-problem yang dihadapi masyarakat. Percepatan kurikulum rekonstruksi sosial dapat terjadi ketika para orangtua dan masyarakat terlibat dalam mengajar dan berperan dalam pelayanan sosial. Kurikulum rekonstruksi sosial bertujuan untuk menghadapkan peserta didik pada berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan.[28]
Ciri-ciri kurikulum yang berorientasi pada rekonstruksi sosial meliputi :
1.    Asumsi tujuan utama kurikulum rekontruksi sosial adalah menghadapkan para siswa pada tantangan, ancaman, hambatan, dan gangguan yang dihadapi manusia.
2.    Masalah-masalah sosial yang mendesak bahwa kegiatan belajar dipusatkan pada masalah-masalah sosial yang mendesak
3.    Pola-pola organisasi pada tingkat sekolah menengah, pola organisasi kurikulum disusun seperti sebuah roda, ditengah-tengahnya sebagai poros dipilih sesuatu masalah yang menjadi tema utama dan dibahas secara pleno.[29]

KESIMPULAN
Pada hakekatnya kurikulum bisa dipandang sebagai undang-undang pembelajaran karena didalam rancangan kurikulum termuat berbagai peraturan / pedoman berbagai aspek / komponen yang berkaitan dengan proses pendidikan. Komponen – komponen itu meliputi tujuan, isi dan materi, media / sarana prasarana, strategi belajar mengajar, proses pembelajaran, dan evaluasi. Kurikulum memiliki kedudukan sentral dan strategis dalam seluruh proses pendidikan, untuk mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan di sekolah/madrasah demi tercapainya tujuan pendidikan. Kurikulum juga berfungsi sebagai pedoman atau acuan kerja bagi guru, siswa, kepala sekolah, pengawas, orang tua dan masyarakat dalam rangka mencapai tujuan pendidikan sesuai yang dicita-citakan
Kurikulum merupakan sebuah program yang didesain, direncanakan, dikembangkan, dan dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar yang sengaja diciptakan di sekolah yang berisikan berbagai bahan ajar dan pengalaman belajar yang diprogramkan, direncanakan dan dirancangkan secara sistemik atas dasar norma-norma yang berlaku dan dijadikan pedoman dalam proses pembelajaran bagi tenaga kependidikan dan peserta didik untuk mencapai tujuan pendidikan. Kurikulum sebagai tujuan berarti kurikulum diarahkan sebagai pedoman dalam mencapai tujuan pendidikan yang dirumuskan secara nasional, institusional, kurikuler dan pembelajaran / intruksional. Kurikulum sebagai rekonstruksi social karena perkembangan dan perubahan kurikulum senantiasa bersifat fleksibel dan dinamis menyesuaikan kebutuhan, keadaan dan perubahan masyarakat serta perkembangan zaman / peradaban manusia.

DAFTAR PUSTAKA
Aly, Hery Noer, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Logos, 1999.
Arifin,  Zainal, Konsep dan Pengembangan Kurikulum, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014.
Arifin,  Zainal, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, Jogjakarta: Diva press, 2012.
Daradjat, Zakiah, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2014.
Hamalik, Oemar, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2013.
Hanun Asrohah, Anas Amin Alamansyah, Buku Ajar Pengembangan Kurikulum, Surabaya: Kopertais IV Press, 2010.
Hikmatul Mustaghfroh, Hidden Curriculum dalam Pembelajarn  PAI, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 1, Februari 2014
Idi, Abdullah, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013.
Imas Kurinasih, Berlin Sani, Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan, Surabaya: Kata Pena, 2014.
Mudlofir, Ali, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam, Jakarta : Rajawali Press, 2012.
Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005.
Nur Ahid, Konsep Dan Teori Kurikulum Dalam Dunia Pendidikan, Islamica, Vol. 1, No. 1, September 2006.
Nasution, Asas-Asas Kurikulum, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2006.
Sanjaya, Wina, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Krikulum Tingkat satuan Pendidikan, Jakarta: Kencana Prenada, 2009.
Sariono, Kurikulum 2013: Kurikulum Generasi Emas, E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume  3.
Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996.
Sukmadinata,  Nana Syaodih, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009.
Tafsir, Ahmad, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994.
Tim pengembangan MKDP,  Kurikulum dan  pembelajaran, Jakarta: Rajawali Pers, 2011 .
UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Th. 2003, Jogyakarta: Absolut.
Yamin, Moh, Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, Jogjakarta: Diva Press, 2012.



[1] Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 1994), hlm. 53.
[2] Muhaimin, Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam, di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 1.
[3] UU Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Th. 2003, (Jogyakarta: Absolut), hlm. 11.
[4] Nur Ahid, Konsep Dan Teori Kurikulum Dalam Dunia Pendidikan, Islamica, Vol. 1, No. 1, September 2006, hlm. 18.
[5] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Logos, 1999), hlm. 162.
[6] Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, (Jakarta: Bumi Aksara, 2006), hlm. 5.
[7] Imas Kurinasih, Berlin Sani, Implementasi Kurikulum 2013 Konsep dan Penerapan, (Surabaya: Kata Pena, 2014), hlm. 5.
[8] Zainal Arifin, Pengembangan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Diva press, 2012), hlm. 40-41.
[9] Hikmatul Mustaghfroh, Hidden Curriculum dalam Pembelajarn  PAI, Edukasia: Jurnal Penelitian Pendidikan Islam, Vol. 9, No. 1, Februari 2014, hlm. 150-152.
[10] Nana Syaodih Sukmadinata, Pengembangan Kurikulum : Teori dan Praktek, (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2009), hlm. 3-4.
[11] Sariono, Kurikulum 2013: Kurikulum Generasi Emas, E-Jurnal Dinas Pendidikan Kota Surabaya; Volume  3, hlm. 4-5.
[12] Tim pengembangan MKDP,  Kurikulum dan  pembelajaran, (Jakarta: Rajawali Pers, 2011) hal. 9-10.
[13] Zainal Arifin, Konsep dan Model Pengembangan Kurikulum, (Bandung : Remaja Rosdakarya), 2011, hal : 17
[14] Abdullah Idi, Pengembangan Kurikulum Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), hlm. 53-54.
[15] Subandijah, Pengembangan dan Inovasi Kurikulum, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1996), hlm. 5.
[16] Abdullah Idi, Op.Cit., hlm. 57-58.
[17] Ibid., hlm. 58
[18] Ibid., hlm. 59.
[19] Ibid., hlm. 59-60.
[20] Zakiah Daradjat, dkk, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2014), hlm.122.
[21] Oemar Hamalik, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. (Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2013), hlm. 5.
[22] Ali Mudlofir, Aplikasi Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dan Bahan Ajar dalam Pendidikan Agama Islam, (Jakarta : Rajawali Press, 2012) hlm. 3.
[23]  Zainal Arifin, Konsep dan Pengembangan Kurikulum, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), hlm. 18-21.
[24] Hanun Asrohah, Anas Amin Alamansyah, Buku Ajar Pengembangan Kurikulum, (Surabaya: Kopertais IV Press, 2010), hal. 124.
[25] S. Nasution, Asas-Asas Kurikulum, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), hal. 47-48.
[26] Wina Sanjaya, Kurikulum dan Pembelajaran, Teori dan Praktek Pengembangan Krikulum Tingkat satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana Prenada, 2009), hal. 106-117.
[27] Moh Yamin, Panduan Manajemen Mutu Kurikulum Pendidikan, (Jogjakarta: Diva Press, 2012), hlm. 55.
[28] Oemar Hamalik, Op.Cit., hlm. 146.
[29] Nana Syaodih Sukmadinata, Op.Cit., hlm. 92.