Minggu, 09 Juli 2017

DILEMATIS UJIAN NASIONAL DI INDONESIA

DILEMATIS UJIAN NASIONAL DI INDONESIA

Kebijakan Ujian Nasional (UN) mulai diberlakukan sejak tahun 2002 dengan nama UAN (Ujian Akhir Nasional) yang bertujuan menggantikan Evaluasi Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), kemudian sejak tahun 2005 diganti namanya menjadi Ujian Nasional (UN). Pemerintah berargumen bahwa UN adalah sebagai salah satu cara untuk mengetahui tingkat penguasaan materi pelajaran secara nasional. Dengan adanya UN, diharapkan mutu pendidikan Indonesia meningkat dan compatible secara nasional sehingga dapat diprediksi sekaligus dibandingkan antara siswa yang ada di kota-kota yang berbeda di seluruh tanah air karena telah mengikuti UN dengan satu standar penilaian. Hal ini sejalan dengan Tujuan diselenggarakannya UAN menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 disebutkan bahwa UAN bertujuan mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan penyelenggaraan pendidikan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten, sampai tingkat sekolah.[1]
Namun kenyataan dilapangan banyak sekali permasalahan yang timbul akibat UN. Tri pujiati menyebutkan tiga kelemahan UN yaitu, keberadaan UN mendiskriminasikan hak hidup peserta didik, disorientasi pelaksaan UN sebagai ladang kecurangan, dan realitas UN tidak mendorong kualitas pendidikan, spirit, dan motivasi belajar peserta didik.[2] Doni Koesoema juga menyatakan UN dapat merusak pengalaman belajar mengajar dikelas, merusak moralitas guru dan siswa, mempersempit kurikulum karena guru mengajar materi untuk ujian dan siswa belajar hanya untuk ujian.[3] Muntholi’ah juga menyatakan banyak sekali permasalahan yang timbul akibat UN, mulai dari segi administrasi (distribusi yang terkesan amburadul, risiko kebocoran soal), maupun pedagogis. Banyak peserta didik yang frustasi dan melakukan kecurangan karena tertekan dan cemas berlebihan karena takut tidak lulus. UN juga membuat peserta didik banyak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan cipta, rasa dan karsa dalam proses pembelajaran.[4] 
Untuk mengatasi berbagai permasalahan UN banyak sekali kebijakan dan gagasan yang muncul seperti disentralisasi UN, UNBK, moratorium UN, dan USBN. Untuk gagasan disentralisasi UN berdasarkan penelitian Siskandar, ditemukan beberapa fakta yaitu: pertama, masih banyak daerah yang belum siap SDM untuk melaksanakan lima tugas penyediaan naskah soal dan pengelolaan soal UN. Kedua, Besarnya dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan UN telah memberatkan beban sekolah dan pemerintah daerah secara umum serta orangtua murid. Ketiga, sejumlah daerah memiliki tingkat ketersediaan fasilitas pendukung yang relatif baik meskipun ada beberapa daerah lain yang tidak sanggup menyediakan fasilitas dalam jumlah memadai. Keempat, aspek sistem manajemen yang dilakukan di daerah mayoritas sudah bagus, hanya ada beberapa daerah yang kurang bagus. Kelima,  banyak kecurangan terjadi dalam menyelenggarakan UN di daerah karena lemahnya sistem keamanan hal ini disebabkan adanya gengsi sekolah yang begitu tinggi, sehingga sekolah ingin meluluskan siswanya, dan adanya tekanan kepada siswa agar lulus UN, serta ketidakmampuan petugas UN dalam mengendalikan peserta UN. [5] Oleh karena itu gagasan disentralisasi UN sulit direalisasikan karena faktor kesiapan SDM, manajemen dan pendanaan tiap-tiap daerah yang berbeda.
Kemudian pada tahun ajaran 2015/2016 muncul kebijakan tentang pelaksanaan UN berbasis komputer (UNBK) yang bertujuan meningkatkan integritas UN dan menekan kecurangan. Berdasarkan peraturan BSNP biaya pelaksanaan UNBK menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah, Sekolah/madrasah pelaksana UNBK menetapkan teknisi yang telah memenuhi kriteria dan persyaratan, serta Menyediakan petugas laboratorium komputer (minimal 1 proktor dan 1 teknisi) serta Menyediakan sarana komputer dengan spesifikasi (minimal) yang telah ditentukan BSNP.[6] Jika merujuk pada peraturan tersebut maka secara teknis dibutuhkan alokasi dana yang sangat besar untuk menyediakan sarana prasarana yang dibutuhkan. Sehingga UNBK tidak dapat diterapkan secara nasional dan hanya di berlakukan bagi sekolah yang sudah mampu.
Terkait Ujian Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendi mengusulkan tiga pilihan, yakni penghapusan UN dari sistem pendidikan, penghentian sementara UN mulai 2017, atau tetap menjalankan UN dengan teknis pelaksanaan diserahkan kepada daerah (UN untuk tingkat SMA sederajat diusulkan ditangani oleh pemerintah provinsi, sedangkan tingkat SD dan SMP sederajat ditangani pemerintah kabupaten/kota).[7] Kemudian di akhir tahun 2016 muncul gagasan dari mendikbud Muhadjir effendi tentang moratorium (peniadaan sementara) UN mulai tahun ajaran 2016/2017 untuk menyetarakan kualitas pendidikan di Indonesia dan menjembatani kesenjangan kualitas pendidikan diberbagai daerah dan menggantinya dengan USBN (Ujian Sekolah Berstandar Nasional).
Dalam rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Kamis 1 Desember, Muhadjir Effendy mengemukakan delapan alasan untuk moratorium UN pada 2017, yaitu:
1. Moratorium UN sesuai dengan visi Nawa Cita Joko Widodo, dalam program prioritas nomor delapan untuk melakukan evaluasi model penyeragaman dalam sistem pendidikan seperti UN. 
2.   Moratorium UN sesuai dengan putusan Mahkamah Agung nomor 2596/2009 yang inti putusannya pemerintah wajib membangun sarana dan prasarana pendidikan secara merata dan menjamin kualitas guru.
3.  Rencana wajib belajar 12 tahun. Upaya pemenuhan seluruh siswa dapat melanjutkan dari jenjang SD ke SMP dan SMP ke SMA serta menghindari siswa putus sekolah (drop out).
4.  Hasil UN tak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan kurang mendorong kemampuan siswa secara utuh. 
5. Cakupan UN terlalu luas sehingga sulit diselenggarakan dengan kredibel dan bebas dari kecurangan. 
6.  UN sudah tak berimplikasi langsung pada siswa karena tak lagi dikaitkan dengan kelulusan. UN melibatkan sumber daya manusia dan biaya yang sangat besar.
7.  UN cenderung membawa proses belajar pada orientasi belajar yang salah, karena sifat UN hanya menguji ranah kognitif, beberapa mata pelajaran tertentu. Sebagai proses evaluasi yang bersifat massal, sampai saat ini bentuk instrumen UN adalah pilihan ganda. UN telah menjauhkan diri dari pembelajaran yangmendorong siswa berpikir kritis, analitis, dan praktik-praktik penulisan essai sebagai latihan mengekspresikan pikiran dan gagasan.
8. Jika digunakan sebagai alat pemetaan mutu, maka UN bukanlah alat pemetaan yang tepat. Pemetaan mutu yang baik menuntut instrumen yang berbeda dengan instrumen UN. Pemetaan mutu tidak perlu dilakukan setiap tahun dan tidak perlu diberlakukan untuk seluruh siswa. UN pada hakikatnya harus terkait dengan kelulusan dan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.[8]
Menanggapi rencana moratorium tersebut, dalam rapat terbatas Senin, 19 Desember 2016 Presiden Joko Widodo memaparkan hasil survei PISA yang menyatakan peringkat siswa Indonesia menunjukkan peningkatan tujuh tingkat dalam tiga tahun sebagai efek positif dari UN. Usulan moratorium UN juga terbilang tergesa-gesa karena di bicarakan ketika tahun ajaran 2016/2017 sudah berlangsung beberapa bulan sehingga dikhawatikan mengganggu stabilitas pendidikan nasional, oleh karena itu moratorium UN di batalkan dan UN tetap diadakan. Untuk meningkatkan kualitas dan meningkatkan integritas kejujuran UN telah disiapkan UNBK dan dalam pembuatan soal agar diantara murid yang duduk berdekatan tidak terdapat kesamaan soal, sedangkan untuk mengurangi beban psikologis siswa tentang kelulusan UN, maka UN tidak lagi dijadikan penentu utama kelulusan siswa.[9] Senada dengan Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengatakan tidak ada banyak perubahan terkait pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian Sekolah Berbasis Nasional (USBN) yang sebelumnya dipersiapkan untuk alternatif UN, akan tetap ada dan berjalan berdampingan dengan UN.[10]
Kemudian dalam rapat koordinasi persiapan UN dan USBN oleh Kemendikbud tanggal 22 Desember 2016 di tetapkan beberapa kebijakan, antara lain:
1. UN tetap dilaksanakan dengan Mapel sesuai jenjang pendidikan, sebagai berikut: SMP (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, dan IPA), SMA (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, dan satu Mapel sesuai Jurusan), SMK (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, dan Kejuruan).
2. Ujian Sekolah (US) ditingkatkan mutunya menjadi USBN dengan Mapel sesuai jenjang pendidikan, sebagai berikut: SMP (Pendidikan Agama, PPKN, IPS), SMA (Pendidikan Agama, PPKN, Sejarah, dan tiga Mapel sesuai jurusan), SMK (Pendidikan Agama, PPKN, dan Keterampilan komputer).
3. Memperluas pelaksanaan UN dan USBN berbasis komputer (UNBK), dimana sudah terdapat 12.053 sekolah yang siap menggelar UNBK dengan kapasitas 2.188.947 siswa. UNBK bisa di laksanakan apabila sekolah minimal memiliki 20 buah komputer dan memiliki server serta dapat digunakan secara bergantian dengan sekolah lainnya.[11]
Berdasarkan berbagai keterangan dan fakta diatas maka penulis dapat mengemukakan beberapa pendapat sebagai berikut:
1.  Hingga saat ini pelaksanaan UN memang penting dan perlu dilestarikan keberadaanya, jadi tidak perlu adanya moratorium bahkan penghapusan UN dari sistem pendidikan Nasional, karena UN mampu memberikan motivasi bagi siswa, guru, sekolah, dan pihak terkait agar serius dalam mengelola pendidikan dan semangat dalam kegiatan belajar mengajar. UN juga dapat digunakan dalam pemetaan standarisasi pendidikan nasional dan bersaing dengan Negara lain dalam kualitas peningkatan indeks pendidikan manusianya.
2. Dalam pelaksanaan UN perlu dilakukan berbagai evaluasi, perbaikan dan peningkatan secara berkala, baik dari segi kebijakan, isi maupun proses dengan berdasarkan bukti empiris berbagai kelemahan sepanjang penyelenggaraan UN.
3. Hasil UN tidak sepenuhnya dijadikan penentu kelulusan, hendaknya dipertahankan akan tetapi perlu juga diperkuat keberadaannya. Kelulusan ditentukan oleh nilai gabungan (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Hasil UN tidak hanya dijadikan bahan evaluasi pencapaian standar kompetensi lulusan dan dikaitkan dengan pemenuhan standar input dan proses oleh pemerintah, akan tetapi hasil UN dijadikan tolak ukur dalam melanjutkan kejenjang selanjutnya atau dalam mencari pekerjaan.
4.    Mengadakan UN dan USBN berbasis komputer yang memiliki keuntungan sebagai berikut:
a.  Meskipun diawal pengadaan UN dan USBN berbasis Komputer kelihatan berat dan rumit karena membutuhkan tenaga ahli dalam menyiapkan/mengelola sistem dan membutuhkan anggaran yang besar dalam pengadaan komputer dan perangkat pendukung serta sarana prasarana lainnya. Akan tetapi dalam jangka panjang kegiatan ini dapat menghemat biaya, tenaga, dan waktu jika dibandingkan dengan pelaksaan UN dengan menggunakan kertas. Keberadaan perangkat komputer tersebut juga dapat dijadikan sarana latihan ujian dan media pembelajaran siswa sehari-hari.
b.  Dengan UN dan USBN berbasis Komputer dapat digunakan dalam peningkatan mutu isi soal dengan menambahkan soal-soal berbasis animasi, audio, video, gambar berwarna, dan sebagainya sehingga menjadikan siswa tertarik dan tidak jenuh.
c. Untuk menjaga kejujuran dan kepercayaan siswa dalam mengerjakan soal UN dan USBN berbasis Komputer dapat diprogram setiap komputer berbeda soal dan dikasih waktu pengerjaan setiap soal secara proporsional. Ketika sudah selesai mengerjakan soal maka siswa dapat langsung mengetahui nilainya.
5.    Mapel beserta kuantitas dan kualitas soal UN dan USBN perlu dilakukan revisi, sebagai berikut:
a.    Untuk Mapel UN cukup tiga mapel saja yang diambil dari Mapel wajib yang selalu ada disetiap jenjang pendidikan di Indonesia mulai dari TK sampai SLTA yaitu Bahasa Indonesia, Matematika, dan Agama, ketiga mapel ini dapat diajarkan dalam situasi dan sarana prasarana yang minim sehingga tidak memberatkan siswa di daerah-daerah pelosok yang miskin, sedangkan untuk tingkat SLTA (SMA, MA, SMK, STM) dapat ditambahi satu mapel pokok sesuai dengan jurusan masing-masing, adapun penjelasannya sebagai berikut:
1)   Bahasa Indonesia, sebagai bahasa Nasional dengan kualitas soal yang dibuat mencerminkan keterampilan tata bahasa, penalaran, dan kemampuan siswa dalam memahami, mencermati, dan mengasah kalimat dengan memberikan soal-soal yang bersifat wacana atau fakta-fakta aktual tentang pendidikan, ekonomi, lingkungan, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya dalam lingkup nasional maupun global.
2)   Matematika, sebagai mapel yang mengasah ketelitian, kecermatan, pola berfikir logis serta hafalan siswa. Soal yang diberikan hendaknya diperbanyak di soal cerita berupa peristiwa yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari yang bersifat matematis.
3)   Pendidikan agama dan Budi pekerti, meskipun selama ini agama selalu mejadi mapel yang hanya diujikan dalam US/USBN tapi menurut penulis seharusnya agama dan budi pekerti dijadikan mapel UN karena sifatnya yang lebih penting dari pada bahasa Inggris. Kalau Bahasa Indonesia dan Matematika lebih bersifat linguistik dan kognitif maka Agama bersifat kerohanian (afeksi) dan sikap/tindakan (psikomotor) siswa, dimana agama dapat menguatkan mental siswa, mengajarkan sikap/prilaku, moral, karakter, budi pekerti, dan nilai-nilai yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Soal yang diberikan berupa permasalahan kehidupan yang didesain mampu membawa siswa masuk dalam permasalahan tersebut sehingga siswa dituntut mampu memahami, merasakan, dan memberikan nilai-nilai dalam soal tersebut.
b. Untuk Mapel US/USBN berupa Bahasa Inggris, IPA, IPS, PPKN, Sejarah, Komputer dan sebagainya yang mana mapel-mapel ini membutuhkan sarana prasarana dan media pembelajaran yang sesuai untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sehingga hanya sekolah-sekolah tertentu yang lengkap sarana prasarana yang lebih baik dalam pembelajarannya yang mengakibatkan kesenjangan tinggi antar sekolah yang maju dengan sekolah yang tertinggal sarana prasarananya.

DAFTAR PUSTAKA

Dhita Setiawan, “Delapan Alasan Moratorium UN Dilakukan”, http://www.pikiran-rakyat.com, 1 Desember 2016.
Doni Koesoema, “Keputusan Soal UN Abaikan Fakta”, Suara Merdeka, Rabu, 21 Desember 2016.
Istman M. P., “Wapres JK: UN dan USBN Akan Berjalan Berdampingan”,  https://nasional.tempo.co, Selasa, 20 Desember 2016.
Jerome Wirawan, “Wacana Moratorium Ujian Nasional Menuai Perdebatan”, www.bbc.com, 29 November 2016.
Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004.
Muntholi’ah, “Ujian Nasional, Dulu, Kini dan yang Akan Datang: Tinjauan Normatif”, Nadwa  Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, Nomor 1, April 2013.
Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor: 0034/P/Bsnp/Xii/2015
Tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016.
Siskandar, “Kesiapan Daerah Dalam Melaksanakan Ujian Nasional”, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 1, April 2008.
Tajuk rencana, “Ujian Nasional Jalan terus”, Suara Merdeka, Rabu, 21 Desember 2016.
Tri Pujiati, “Menyambut sekolah tanpa UN”, Wacana, Suara Merdeka, Jumat 2 Desember 2016.
www.kemdikbud.go.id, “Rapat Koordinasi Persiapan UN dan USBN 2017”.





[1] Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004.
[2] Tri Pujiati, “Menyambut sekolah tanpa UN”, Wacana, Suara Merdeka, Jumat 2 Desember 2016, hlm. 4.
[3] Doni Koesoema, “Keputusan Soal UN Abaikan Fakta”, Suara Merdeka, Rabu, 21 Desember 2016, hlm. 1.
[4] Muntholi’ah, “Ujian Nasional, Dulu, Kini dan yang Akan Datang: Tinjauan Normatif”, Nadwa | Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, Nomor 1, April 2013, hlm. 161-180.
[5] Siskandar, “Kesiapan Daerah Dalam Melaksanakan Ujian Nasional”, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor 1, April 2008, hlm. 95-106.
[6] Peraturan Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor : 0034/P/Bsnp/Xii/2015Tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016.
[7] Jerome Wirawan, “Wacana Moratorium Ujian Nasional Menuai Perdebatan”, www.bbc.com, 29 November 2016, diakses 29 Desember 2016.
[8] Dhita setiawan, “Delapan Alasan Moratorium UN Dilakukan”, http://www.pikiran-rakyat.com, 1 Desember 2016 pukul 18:51, diakses 30 Desember 2016.
[9] Tajuk rencana, “Ujian Nasional Jalan terus”, Suara Merdeka, Rabu, 21 Desember 2016, hlm. 4.
[10] Istman M. P., “Wapres JK: UN dan USBN Akan Berjalan Berdampingan”,  https://nasional.tempo.co, Selasa, 20 Desember 2016 pukul 15:48 WIB, diakses 30 Desember 2016.
[11] www.kemdikbud.go.id, “Rapat Koordinasi Persiapan UN dan USBN 2017”, diakses 31 Desember 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda