KEBIJAKAN PENDIDIKAN
AGAMA UNTUK MENANGKAL IDEOLOGI TRANSNASIONAL
KEAGAMAAN DI INDONESIA
Pendahuluan
Dengan runtuhnya rezim Orde
Baru dan bangkitnya era reformasi, menjadi jalan lapang bagi paham
transnasional berupa gerakan radikal dan fundamentalis Islam di Indonesia.
Situasi ini berlangsung sejak tahun-tahun pertama reformasi ketika demokrasi
yang digemakan untuk keluar dari kegelapan Orde Baru ternyata tidak bisa
mewujudkan janji-janjinya dalam membentuk masyarakat Indonesia yang lebih baik,
maka tawaran ilusif dari kelompok-kelompok Islam dengan basis romatisisme
kejayaan Islam masa lalu menjadi usaha besar untuk mencari alternatif ideologis
dalam membangun masyarakat yang lebih baik. Situasi inilah yang membuat
kelompok-kelompok Islam radikal dan fundamental berpaham transnasional yang selama
ini termarjinalisasikan oleh Rezim Orde Baru mendapat kesempatan untuk
menyuarakan ideologinya dengan dalih tugas keagamaan untuk menyelamatkan
masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim. Sehingga banyak bermunculan
aksi-aksi teror yang tidak sesuai dengan hukum di Indonesia demi untuk
melegalkan ideologi mereka.
Banyaknya aksi teror
yang mengatasnamakan Islam membawa dampak yang buruk terhadap umat Islam. Islam dituduh sebagai
agama yang haus darah, anti HAM, anti toleransi dan agama yang mengajarkan dan
menganjurkan kekerasan terhadap umatnya. Pada dasarnya kekerasan atau teror
yang mengatasnamakan agama tersebut muncul bukan karena kesalahan ajaran agama
Islam, akan tetapi lebih pada kesalahan memahami dan menafsirkan teks-teks
agama. Kesalahan tersebut berimpilkasi pada kesalahan mengkontekskan dan
mengamalkan ajaran tersebut, sehingga yang terjadi adalah melegitimasi aksi
teror dengan legitimasi teks agama. Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah
Indonesia untuk membendung berbagai upaya teror diantaranya dengan pendekatan
hukum dan militer. Pendekatan ini pada
dasarnya hanya memotong rantai dari
tengah, belum menelisik jauh kedasarnya. Untuk lebih mengoptimalkan
langkah-langkah pencegahan maka perlu menggunakan pendekatan lain, seperti
pendekatan ekonomi, politik, pendidikan dan pendekatan agama.
Akar Sejarah Ideologi Transnasional
Keagamaan di Indonesia
Secara bahasa
transnasional berkenaan dengan perluasan atau keluar dari batas-batas negara.[1]
Transnasionalisme merupakan interaksi maupun gabungan aktor non pemerintah yang
beragam seperti perusahaan multinasional, bank, kelompok keagamaan, ataupun
kelompok teroris yang melintasi batas negara.[2]
Jaringan transnasionalisme lebih berpusat pada bidang keagamaa, intelektual,
dan sosio kultural.[3] Dalam
bidang keagamaan, transnasional lebih dominan diisi oleh paham fundamentalis
dan radikalis keagamaan.
Fundamentalisme sebenarnya
berasal dari tradisi kristen sebagai akibat pertentangan antara agama dan ilmu
pengetahuan. Gerakan fundamentalis merupakan gerakan kembali kepada dasar-dasar
agama secara penuh dan literal, bebas dari kompromi, penjinakan, dan
reinterpretasi. Gerakan fundamentalis kebanyakan berkonotasi negatif karena
kebanyakan bertentangan dengan tradisi-tradisi keagamaan yang umum.[4]
Radikalisme dalam studi ilmu sosial diartikan sebagai pandangan yang ingin
melakukan perubahan yang mendasar sesuai dengan interpretasinya terhadap
realita sosial/ideologi yang dianutnya. Sedangkan radikalisme agama ialah paham
atau aliran keras dalam suatu ajaran agama tertentu, menurut aliran ini setiap
permasalahan / persoalan harus disikapi dengan tegas dan keras tidak
setengah-tengah apalagi ragu-ragu dalam bertindak demi tegaknya ajaran agama
tersebut. Radikalisme agama memiliki empat karakter yaitu intoleransi, fanatik,
eksklusif, dan sikap revolusioner.[5]
Organisasi gerakan radikal membangun jaringan internasional yang bersifat
transnasional karena kelompok-kelompok
tersebut memiliki kepemimpinan bersifat global, bekerja secara jaringan lintas
negara dan benua, serta mengusung cita-cita yang sama untuk menegakkan kembali
kepemimpinan Islam yang ideal dalam bentuk khilafah atau negara Islam
(Khilafah Islamiyah).
Dalam konteks Islam di
Indonesia, istilah Islam transnasional ditentang oleh banyak kalangan lantaran efek disintegratif yang
ditimbulkan terhadap persatuan ummat Islam, istilah ini semakin menemukan
momentumnya seiring dengan semakin gencarnya kampanye anti demokrasi oleh
sebagian kalangan Islamis. Dalam penggunaan istilah transnasional tidak jelas siapa yang pertama kali menggunakan dan
memopulerkannya. Ahmad Syafii Ma’arif menyebut secara spesifik kepada HTI
sebagai manifestasi Islam transnasional. Menurut sumber lain, ide Islam
transnasional pertama kali dilontarkan oleh KH. Hasyim Muzadi, Istilah ini
ditegaskan sebagai penegasian NU dari kelompok Islamis yang membawa misi
transformasi sosial-keagamaan secara radikal yang bersifat melintasi batas-batas
nasionalisme keindonesiaan.[6]
Gerakan Islam
Transnasional merupakan gerakan yang aktifitasnya melampaui sekat-sekat teritorial
negara-bangsa (nation state). Gerakan Islam tersebut memiliki visi dan
misi perjuangan berbeda mulai dari yang konsen dengan aktivitas dakwah sampai
yang konsen dengan perjuangan politik.
Kemunculannya dimulai dari kebangkitan dan semangat juang para tokohnya atas
penderitaan umat Islam di berbagai penjuru dunia oleh kolonialisme barat. Seperti
Pan Islamisme dan Ikhwanul Muslimin di Mesir, Hizbut Tahrir di Libanon, Jama’ah
Tabligh di India. Sementara itu di dalam negeri, benih-benih gerakan Islam
global yang tumbuh di Indonesia ditandai dengan gerakan bawah tanah sejak tahun
1970-an dan 1980-an diakibatkan oleh sikap represif rezim Orde Baru dan pengaruh
kebangkitan Islam di berbagai belahan dunia seperti Revolusi Islam Iran yang
digelorakan oleh Imam Khomeini tahun 1979. Sikap represif pemerintah RI kala
itu cukup menekan berbagai gerakan, namun meninggalkan efek domino perlawanan
yang makin keras hingga rezim orde baru tumbang pada 21 Mei 1998 dan dimulainya
era reformasi.[7]
Maraknya gerakan Islam radikal
berkarakter transnasional di berbagai daerah Dianggap sebagai arus balik reformasi
karena gerakan ini bertendensi membentuk komunalisme agama bercorak teokratik
di atas realitas masyarakat yang majemuk, sesuatu yang sangat bertentangan
dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menjadi spirit awal gerakan reformasi. Salah
satu penyebab munculnya paham transnasional ialah munculnya Politik identitas
Islam pasca Orde Baru yang dapat dibaca dalam tiga fase utama, yaitu:
1. Konflik antarumat
beragama di Maluku dan Poso, merupakan konflik horizontal ber nuansa agama
yang terjadi tahun 1997 hingga 2002.
Konflik ini telah mengubah cara pandang keagamaan dan ketegangan masyarakat di
seluruh Indonesia, sehingga melegitimasi
muncul sejumlah organisasi Islam beraliran radikal. Diawali oleh FPI tahun 1998
di Jakarta, Gerakan Islam Reformis (GARIS) di Cianjur tahun 1998, Tholiban di
Tasikmalaya tahun 1999, Majelis Mujahidin Indonesia di Yogyakarta tahun 2000,
dan Forum Umat Islam (FUI) di Jakarta tahun 2005. Kemudian lahir juga
organisasi Islam yang bersifat transnasiona seperti Forum Komunikasi Ahlussunah
Waljamaah (FKASWJ) yang kemudian melahirkan Laskar Jihad (1999), Ikhwanul
Muslimin, dan Hizbut Tahrir.
2. Islamisasi ruang publik
bangsa dalam bentuk penegakan Syari’at Islam, yang dimulai dari polemik nasional di Sidang Tahunan MPR tahun
1999 dan terus menggelinding pada Sidang
Tahunan berikutnya tentang desakan dicantumkan kembali tujuh kata yang pernah
dicoret dari Piagam Jakarta, yakni “dengan kewajiban menjalankan Syari’at Islam
bagi pemeluknya”, ke dalam UUD 1945. Setelah mengalami kegagalan di tingkat
nasional, muncul skenario baru yakni perjuangan di tingkat daerah melalui
pencantuman ke dalam Peraturan Daerah di tingkat kabupaten/kota. Oleh karena
itu sejak tahun 2000-2009, muncul berbagai Perda Syariah yang mengatur kesusilaan,
seperti busana muslim / muslimah, pandai membaca al-Qur’an, khulwat, miras,
pelacuran dan perjudian.
3. Penyerangan terhadap
aliran sesat, anti kristenisasi, dan anti maksiat. Sasaran utama yang dituju
adalah Jemaat Ahmadiyah dan aliran sesat lainnya (Lia Eden dan Mushaddiq), tempat ibadah umat Kristen, dan tempat
serta praktik yang
dianggap maksiat. Dinamika yang begitu terasa dari fenomena ini adalah
munculnya mainstreaming penegakkan syariat Islam secara radikal. Kelompok
yang masuk dalam kategori ini antara lain Jundullah (tentara Allah), Laskar
Jihad, Hizbullah (partai Allah), HTI, dan ISIS. Gerakan baru ini sudah merambah
kelompok Islam tradisionalis, terutama ulama dan santri pesantren. Basis massa
yang dulunya direkrut dari para pemuda dari berbagai latar belakang (pengangguran, preman, pemuda fanatik), kini bercampur
dengan anak-anak muda pesantren yang digerakkan oleh para ulama.[8]
Di Indonesia gerakan
radikalisme sudah banyak memasuki wilayah pendidikan pesantren sebagai sarana
menanamkan ideologi mereka seperti di pesantren Al-Mukmin Ngruki, dan pesantren
Al-Islam Lamongan.[9]
Bahkan paham radikal sudah memasuki lembaga pendidikan formal lainnya seperti
di tingkat SLTA hingga Perguruan tinggi. Beberapa hasil penelitian
menemukan fakta lapangan bahwa gerakan dan jaringan radikalisme Islam telah
lama menyusup ke sekolah umum, yaitu SMU. Siswa-siswi yang masih sangat awam
soal pemahaman agama dan secara psikologis tengah mencari identitas diri menjadi
lahan yang diincar oleh pendukung ideologi radikalisme. Targetnya bahkan
menguasai Organisasi-Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), paling tidak bagian
Rohani Islam (Rohis).[10]
Para pendukung faham
radikalisme Islam menggunakan berbagai sarana dan media untuk menyebarluaskan
faham mereka, baik dalam rangka pengkaderan internal anggota maupun untuk
kepentingan sosialisasi kepada masyarakat luas. Berikut ini sarana yang
ditempuh untuk menyebarluaskan faham radikalisme:
1. Melalui pengkaderan
organisasi. Pertama pengkaderan internal, biasanya dilakukan dalam bentuk
training calon anggota baru dan pembinaan anggota lama baik secara individual
maupun kelompok. Kedua, mentoring agama Islam di beberapa kampus
Perguruan Tinggi Umum dan di beberapa sekolah menengah (SMA/SMP). Ketiga, Pembinaan
Rohis SMA/SMP.
2.
Melalui masjid-masjid
yang berhasil dikuasai
3.
Melalui majalah,
buletin, dan booklet
4.
Melalui penerbitan
buku-buku baik terjemahan dari bahasa Arab, yang umumnya ditulis oleh para penulis
Timur Tengah, maupun tulisan mereka sendiri.
5.
Melalui internet.[11]
Menangkal Ideologi Transnasional
Keagamaan yang Radikal dan Fundamental di Indonesia
Dalam upaya menangkal
bahaya paham transnasional Islam yang tercermin dalam sikap fundamental dan
radikal gerakan-gerakan Islam di Indonesia, terdapat beberapa pendapat sebagai
berikut:
1. Berpegang teguh kepada
PBNU, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. Menurut KH. Maemun
Zubair dan KH. Asad Said Ali, bahwasanya NKRI dan warganya haruslah berpegang
teguh kepada PBNU, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, UUD 1945 sebagai
kesepakatan agung para pendiri RI. Artinya siapa pun yang menyelisihi
kesepakatan agung para pendiri RI tidak boleh dan tidak berhak mengaku sebagai
warga negara Indonesia yang memiliki hak-hak dan kewajiban sesuai dengan
kedudukannya tersebut. Baiat warga negara Indonesia harus diberikan kepada
NKRI. KH. Maemun Zubair mengajak kepada masyarakat luas untuk meniru warga NU
yang berkeyakinan bahwa perbedaan adalah rahmat. Oleh karenanya
perbedaan-perbedaan di antara sesama manusia, sesama warga negara, sesama warga
muslim dipahami oleh kaum Nahdliyyin sebagai berkah. Perbedaan pandangan
politik, suku bangsa, madzhab dan agama adalah hal yang kaprah di dalam
kehidupan di dunia. Perbedaan ini seharusnya menyemangati satu sama lain untuk
saling mengenal dan memahami.[12]
2. Menanamkan nilai-nilai
Pancasila dalam jiwa dan pikiran bangsa Indonesia. Ahmad Basarah Ketua Badan
Sosialisasi MPR RI mengatakan, saat ini Indonesia dalam ancaman serius dua
ideologi transnasional yang tengah beroperasi di Indonesia secara terstruktur,
sistematis dan masif, yaitu ideologi neoliberalisme dan fundamentalisme agama.
ideologi fundamentalisme agama, masuk dengan doktrin keagamaan yang sempit yang
ingin menciptakan negara Islam Indonesia dengan sistem khilafah dunia. Kelompok
ini masuk dengan mengeksploitasi kemiskinan di Indonesia dengan mengajak
orang-orang yang labil iman keagamaan dan rasa nasionalismenya untuk masuk dalam
gerakan radikalisme mereka. Untuk menghadapi ancaman tersebut, salah satu cara
adalah dengan menanamkan kembali nilai-nilai Pancasila dalam pikiran dan jiwa
masyarakat Indonesia agar menjadi praksis kehidupan bangsa Indonesia
sehari-hari tidak hanya dengan sosialisasi Empat Pilar, tapi harus diikuti
dengan gerakan pembudayaan Pancasila. Oleh karena itu diperlukan gotong-royong
antara MPR dengan lembaga eksekutif di semua tingkatan serta lembaga-lembaga
negara lainnya untuk gerakan pembudayaan Pancasila tersebut.[13]
3. Revisi UU No. 17 Tahun
2013 tentang Ormas. Menurut Cahyo Kumolo, Kemendagri akan mengajukan revisi UU
No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas, pengajuan tersebut berawal dari mudahnya
masyarakat mendaftar dan membuat Ormas secara online dan dikhawatirkan tidak
sesuai dengan ketentuan, kemudian untuk memperkuat UU agar dapat digunakan
membatalkan Ormas yang melawan lambang negara dan diduga beraliran sesat. Saat
ini jumlah ormas di Indonesia ada sekitar 200 ribu. Ormas tersebut bisa
didaftarkan baik melalui kementerian Dalam Negeri maupun Kementerian Hukum dan
HAM secara mudah, bahkan ormas dari luar negeri bisa mudah terdaftar di
Indonesia.[14]
Kemudian pada tanggal 6 Desember 2016 pemerintah Mengeluarkan PP RI No. 59.
Tahun 2016 tentang Organisasi Kemasyarakatan yang Didirikan oleh warga negara
asing. Dalam PP ini berisi peraturan tentang pembatasan dan pengketatan
ormas-ormas asing di Indonesia.
4. Mengadakan Program P3KMI
di PTKAI, program ini untuk membendung gerakan Islam radikal. Sebagaimana IAIN
Surakarta sebagai salah satu PTAI Sejak 2006/2007 hingga sekarang, mengadakan
Program P3KMI (Program Pendampingan Pengembangan Kepribadian Muslim Integral)
yang materi kurikulumnya dituangkan dalam sebuah buku panduan. Materi kurikulum P3KMI didesain
ke arah paham keagamaan Islam moderat, supaya menjadi counter radical
bagi kalangan mahasiswa. Muatan-muatan kurikulum seperti Islam rahmah bagi
semua, toleransi, dialog, inklusif, teks dan konteks, ijtihad, humanisme,
pluralisme, multikulturalisme, dan lain-lain, perlu dijadikan catatan khusus
dalam mendesain ulang materi kurikulum ini ke depan, sehingga tidak bernuansa
ideologis-politis.[15]
5. Membendung gerakan
radikal di Sekolah, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Munip dengan beberapa
langkah sebagai berikut: Memberikan penjelasan tentang Islam secara memadai
(penjelasan tentang jihad, toleransi, hubungan ajaran Islam dengan kearifan
lokal), mengedepankan dialog dalam pembelajaran agama Islam, pemantauan
terhadap kegiatan dan materi mentoring keagamaan, pengenalan dan penerapan
pendidikan multikultural.[16]
6. Melalui penguatan
organisasi keagamaan yang berhaluan
moderat seperti Nahdatul Ulama (NU) dan
Muhammadiyah. Di tingkat lokal maupun nasional, NU dan Muhammadiyah
telah memainkan peran menentukan dalam proses pembangunan peradaban keumatan,
kebangsaan dan kemanusiaan. Kehadiran dua organisasi yang mewakili sayap umat
Islam Indonesia dengan corak keberagamaannya yang ramah dan toleran (moderat),
lahir sebagai respon terhadap problem keumatan, kebangsaan, kemanusiaan.
Pendekatan kultur harus dikedepankan NU dan Muhammadiyah dalam mempengaruhi
kebijakan negara. Bagi negara sendiri usaha untuk membangun tatanan kehidupan
bangsa yang plural dan multikultural, diharapkan pula dilakukan melalui
kebijakan politik yang lebih berorientasi penguatan ideologi ormas tersebut.[17]
7. Mengembangkan model pendidikan
Moderat, Muhammadiyah dan NU merupakan dua organisasi Islam terbesar di
Indonesia yang karenanya sering dianggap sebagai mainstream Islam Indonesia.
Kedua ormas Islam ini, meskipun memiliki ideologi keislaman yang berbeda, tapi
keduanya memiliki watak dan karakter yang sama, yaitu berjuang untuk mewujudkan
Islam moderat di Indonesia melalui jalur pendidikan, sehingga perjuangan keduanya
untuk mengukuhkan Islam moderat, lebih ditekankan pada tataran teologis-kultural
dari pada politis. Muhammadiyah memiliki sejumlah lembaga pendidikan dengan
ciri khas utamanya adalah adanya mata pelajaran al-Islam dan
Ke-Muhammadiyah-an. Dengan konsep “identitas objektif pendidikan Muhammadiyah”,
mata pelajaran ini dirancang untuk menjadi instrumen bagi Muhammadiyah dalam
rangka menyemaikan karakter Islam moderat bagi peserta didiknya. Sementara NU mempunyai
Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU dengan ciri khas adanya mata pelajaran Aswaja dan
Ke-NU-an. Melalui konsep “SNP-Plus”, Lembaga Pendidikan Ma‘arif NU merupakan
wahana NU untuk menyemaikan karakter Islam moderat bagi para peserta didiknya.[18]
8. Mengembangkan pendidikan
ramah kebangsaan, baik sebagai materi pelajaran maupun sebagai sub materi
pelajaran. Pendidikan ramah kebangsaan berangkat dari pemberian materi ajar
dengan penuh keramahan, dan ruh kebangsaannya terletak pada kedalaman memaknai Bhineka
Tunggal Ika. Pola yang dilakukan dengan tiga hal yaitu profesionalitas guru
dalam memberikan bahan pelajaran kebangsaan, kecerdasan siswa dalam menfilter
ajaran radikalisme, dan pembauran lingkungan sebagai media bersosialisasi dalam
bermasyarakat baik berupa organisasi kepemudaan hingga organisasi keagamaan
yang prokebangsaan.[19]
9. Mengembangkan pendidikan
boarding schools / asrama / model pesantren diberbagai sekolah Islam.
Seperti yang diungkapkan Eliana Sari dari hasil penelitiannya sebagai berikut “Prevention
of radicalism students in Islamic boarding schools can be done more effectively
and comprehensively through the optimization of environmental management
education Islamic boarding schools in Indonesia. Results of linear regression
calculations show that the organization's environmental management education in
Islamic boarding schools have a significant positive effecton the prevention of
radicalism students at Islamic boarding
schools in Indonesia”.[20]
10. Pengembangan Nasionalisme
keagamaan, melalui Tiga pilar utama yang mendukung keberhasilan identifikasi potensi
radikalisme gerakan transnasional adalah dengan menggabungkan antara pendekatan
agama dengan pendekatan kebangsaan melalui kerjasama lintas sektoral. Hubungan
kerjasama mesti didukung dengan pemanfaatan kekuatan struktural, dan otoritas
keislaman. Sinergi kerjasama yang dilakukan antara Kemenkumham dengan BNPT
serta Kementerain Agama.[21]
11.Merevitalisasi peran
pesantren. Sebagian besar pesantren di Indonesia mengambil prinsip sebagaimana
prinsip pesantren yang dijalankan NU, maka toleransi antarumat beragama akan
bisa terbangun dengan baik dan tidak ada lagi kekerasan yang dilatabelakangi
agama. Prinsip yang dapat diambil oleh pesantren adalah ukhuwah, tasamuh, tawassuth,
dan tawazun dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat-nya.[22]
Kesimpulan dan Saran
Dari pemaparan diatas
dapat disimpulkan bahwa perkembangan ideologi transnasional keagamaan di
Indonesia yang bersifat radikal dan fundamental terhadap pola keberagaman dan
keberagamaan di Indonesia serta tidak sesuai dengan ideologi negara akan
menimbulkan efek disintegrasi bangsa dan merongrong kewibawaan bangsa serta
menimbulkan berbagai konflik dan teror dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
sehingga perlu dilakukan langkah-langkah prefentif dalam mencegah dan
meminimalisir perkembangan ideologi transnasional tersebut. Adapun saran
kebijakan yang dapat dilakukan oleh pemerintah melalui Pendidikan Islam dalam
rangka menangkal dan mencegah perkembangan ideologi transnasional keagamaan sebagai
berikut:
1.
Dalam perencanaan /
formulasi kebijakan
a. Pemerintah hendaknya
segera melakukan revisi UU No. 17 Tahun 2013 tentang Ormas agar dalam revisi
tersebut lebih memberikan arahan dan ketentuan yang jelas tentang ormas yang
boleh hidup di Indonesia harus sesuai dengan ideologi, karakter kebangsaan dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, serta memperkuat UU
tersebut dengan memberikan wewenang dalam membubarkan ormas maupun
lembaga-lembaga bentukannya yang dapat merongrong kewibawaan bangsa Indonesia.
Dengan begitu akan mempersempit ruang gerak dan memutus rantai penyebaran paham
/ aliran transnasional yang sesat, dan radikal yang disebarkan oleh para
penganut/partisipannya kedalam lembaga-lembaga pendidikan maupun masyarakat
luas pada umumnya.
b. Pemerintah segera
menyusun peraturan / undang-undang yang tegas dan tepat dalam mengantisipasi
masuk dan berkembangannya paham transnasional yang radikal, fundamental, dan
penebar teror, serta paham / aliran-aliran yang tidak sesuai dengan ideologi dan
karakter bangsa sehingga dapat meresahkan dan mengganggu harmonisasi masyarakat
Indonesia.
c. Pemerintah segera
menyusun kurikulum kebangsaan baik berupa mapel tersendiri maupun
mengintegrasikannya dalam mapel yang sudah ada berdasarkan hasil kajian bersama
antara kementerian pendidikan, kementerian agama, kemenkumham, kemendagri,
ormas-ormas keagamaan dan nasionalis serta pihak-pihak terkait lainnya agar
dalam penyusunan kurikulum tersebut dapat lebih realistis sesuai keadaan bangsa
dalam mencapai tujuan yang diharapkan.
d. Pemerintah segera
membuat peraturan tentang syarat pendirian lembaga pendidikan yang moderat dan
berkebangsaan serta lebih memperhatikan dan memperkuat keberadaan lembaga
pendidikan lokal yang sudah ada.
2.
Dalam implementasi dan
monitoring kebijakan.
a. Menambah tugas BNPT
tidak hanya menanggulangi teroris tetapi juga mencegah dan menanggulangi paham
/ aliran keagamaan yang radikal dan fundamental serta memiliki wewenang
melakukan kerjasama pengawasan dan sosialisasi ke lembaga-lembaga pendidikan
Islam.
b.
Melakukan sosialisasi
dan melatih guru agar memiliki nilai humanis dan nasionalis yang tinggi serta
memiliki skill dalam mengajar yang terintegrasi dengan nilai-nilai tersebut.
c. Lebih memperhatikan dan
memperkuat keberadaan ormas-ormas Islam lokal dan lembaga-lembaga pendidikan Islam
lokal yang moderat dengan memberikan fasilitas memadai sesuai dengan
kebutuhannya agar mampu mengembangkan lembaganya dalam menghadapi persaingan.
d. Menambah indikator
nilai-nilai kebangsaan dan kenegaraan dalam perekrutan pendidik dan tenaga
kependidikan.
e.
Memberikan sosialisasi, bimbingan
dan pengarahan kepada guru dan siswa akan bahaya paham transnasional yang
radikal, fundamental dengan memberikan pengetahuan tentang modus operasionalnya
serta cara pencegahannya.
f. Melakukan monitoring
terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan siswa dan ekstrakulikuler disekolah agar
tidak disusupi oleh paham-paham radikal.
g. Memperkuat peran
madrasah, dan pesantren dalam meminimalisir pengaruh masuknya lembaga
pendidikan asing yang tidak sesuai dengan karakteristik bangsa Indonesia.
h. Memperbaiki dan
meluruskan tafsir Al-Qur’an maupun Hadits serta ajaran-ajaran Islam yang
disalah gunakan oleh kelompok-kelompok radikal dengan melibatkan peran ulama
dan cendekiawan muslim dengan mengubah paradigma umat dari pemahaman ajaran
keagamaan yang tekstual menuju kontekstual.
i. Mengajarkan nilai-nilai
keagamaan berkebangsaann yang humanis di setiap lembaga pendidikan Islam
seluruh Indonesia dengan bobot sesuai jenjangnya masing-masing.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme
Agama di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember
2012/1434.
Ach. Syaikhu, “Pergulatan Organisasi Islam dalam
Membendung Gerakan Ideologi Islam Transnasional”, Falasifa.
Vol.3, No. 1 Maret 2012.
Ani W. Soetjipto (ed), HAM dan
Politik Internasional; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pustaka Obor, 2015), https://books.google.co.id.
Azyumardi Azra, Dari Harvard
Hingga Makkah, (Jakarta: Republika, 2005), https://books.google.co.id,.
Eliana Sari, “The Role Of
Environmental Management Education In Islamic Boarding Schools (Pesantren) In
Preventing The Radicalism Of Students In
Indonesia”, International Journal of
Education and Research, Vol. 4, No. 7 July 2016.
Endang Turmudi, Riza Sihbudi
(ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), https://books.google.co.id.
http://nasional.news.viva.co.id, Ridho
Permana (red), “Indonesia dalam Ancaman Serius Dua Ideologi Transnasional”,
publikasi Selasa, 16 Februari 2016.
http://www.kemendagri.go.id, “Kemendagri
Akan Revisi RUU Ormas”, Kamis, 01 Desember 2016.
http://www.nu.or.id, Abdullah Alawi (red),
“Ideologi Transnasional Ancam Persatuan Indonesia”, publikasi Rabu, 20 Agustus
2014.
http://www.uinjkt.ac.id,
“Radikalisme Islam Menyusup ke SMU”, publikasi 23/10/2009.
Irfan Noor, “Islam Transnasional
dan Masa Depan NKRI; Suatu Perspektif Filsafat Politik”, Ilmu Ushuluddin,
Januari 2011, Vol. 10, No. 1.
M. Rikza Chamami, “Pendidikan Ramah
Kebangsaan”, Suara Merdeka, Jumat, 18 November 2016.
Masdar Hilmy, “Akar-Akar
Transnasionalisme Islam HTI”, Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011.
Muh. Khamdan, “Pengembangan Nasionalisme
Keagamaan Sebagai Strategi Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional”,
Addin, Vol. 10, No. 1, Februari 2016.
Mujib Ridlwan, Revitalisasi Peran
Profetik Pesantren Dalam Membendung Radikalisme Agama, Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 1, Maret 2013.
Nasaruddin Umar, Perkembangan
Paham Keagamaan Transnasional diIndonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta 2011, Ahmad Syafi’i
Mufid (ed).
Nur Syam, Tantangan
Multikulturalisme Indonesia; Dari Radikalisme menuju Kebangsaan,
(Yogyakarta; Kanisius, 2013), https://books.google.co.id.
Tim Pusat Studi Pancasila UGM dan
Universitas Pattimura Ambon, Prosiding Kongres Pancasila VI: Penguatan, Sinkronisasi,
Harmonisasi, Integrasi Kelembagaan dan Pembudayaan Pancasila dalam Rangka
Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, Endro Muhaimin, Hastangka, dkk (ed), Ambon
31 Mei-01 Juni 2014, ( Jogjakarta: Pusat Studi Pancasila (PSP) Press UGM,
2014), https://books.google.co.id.
Toto Suharto, “Gagasan
Pendidikan Muhammadiyah dan NU Sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di
Indonesia”, Islamica: Jurnal Studi Keislaman, Volume 9, Nomor 1,
September 2014.
Toto Suharto, Ja’far Assagaf, “Membendung
Arus Paham Keagamaan Radikal di Kalangan Mahasiswa PTKAIN”, Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014.
[2] Ani W. Soetjipto (ed), HAM
dan Politik Internasional; Sebuah Pengantar, (Jakarta: Pustaka Obor, 2015),
hlm. Xvii, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[3] Azyumardi Azra, Dari
Harvard Hingga Makkah, (Jakarta: Republika, 2005), hlm.49, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[4] Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme
Indonesia; Dari Radikalisme menuju Kebangsaan, (Yogyakarta; Kanisius, 2013),
hlm. 220, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari
2017.
[5] Tim Pusat Studi
Pancasila UGM dan Universitas Pattimura Ambon, Prosiding Kongres Pancasila
VI: Penguatan, Sinkronisasi, Harmonisasi, Integrasi Kelembagaan dan Pembudayaan
Pancasila dalam Rangka Memperkokoh Kedaulatan Bangsa, Endro Muhaimin,
Hastangka, dkk (ed), Ambon 31 Mei-01 Juni 2014, ( Jogjakarta: Pusat Studi
Pancasila (PSP) Press UGM, 2014), Hlm. 251. https://books.google.co.id, diakses 5 Januari 2017.
[6] Masdar Hilmy, “Akar-Akar
Transnasionalisme Islam HTI”, Islamica, Vol. 6, No. 1, September 2011,
hlm. 1-3.
[7] Nasaruddin Umar, Perkembangan
Paham Keagamaan Transnasional diIndonesia, Puslitbang Kehidupan Keagamaan
Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta 2011, Ahmad Syafi’i
Mufid (ed), hlm. xi-xii.
[8] Irfan Noor, “Islam Transnasional
dan Masa Depan NKRI; Suatu Perspektif Filsafat Politik”, Ilmu Ushuluddin,
Januari 2011, Vol. 10, No. 1, hlm. 1-5.
[9] Endang Turmudi, Riza Sihbudi (ed), Islam
dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: Lipi Press, 2005), hlm. 105, https://books.google.co.id, diakses 5 Januari
2017.
[10] http://www.uinjkt.ac.id, “Radikalisme Islam Menyusup ke SMU”,
publikasi 23/10/2009, diakses 5 Januari 2016.
[11] Abdul Munip, “Menangkal Radikalisme
Agama di Sekolah”, Jurnal Pendidikan Islam, Volume I, Nomor 2, Desember 2012/1434, hlm. 165-174.
[12] http://www.nu.or.id, Abdullah Alawi (red), “Ideologi
Transnasional Ancam Persatuan Indonesia”, publikasi Rabu, 20 Agustus 2014,
diakses 5 Januari 2017.
[13] http://nasional.news.viva.co.id, Ridho Permana (red), “Indonesia
dalam Ancaman Serius Dua Ideologi Transnasional”, publikasi Selasa, 16 Februari
2016, diakses 5 Januari 2016.
[14] http://www.kemendagri.go.id, “Kemendagri Akan
Revisi RUU Ormas”, Kamis, 01 Desember 2016, diakses 5 Januari 2017.
[15] Toto Suharto, Ja’far Assagaf, “Membendung Arus Paham
Keagamaan Radikal di Kalangan Mahasiswa PTKAIN”, Al-Tahrir, Vol. 14, No. 1 Mei 2014, hlm. 158-176.
[17] Ach. Syaikhu, “Pergulatan Organisasi Islam dalam
Membendung Gerakan Ideologi Islam Transnasional”, Falasifa. Vol.3, No. 1
Maret 2012, hlm. 129-131.
[18] Toto Suharto, “Gagasan Pendidikan
Muhammadiyah dan NU Sebagai Potret Pendidikan Islam Moderat di Indonesia”, Islamica:
Jurnal Studi Keislaman, Volume 9, Nomor 1, September 2014, hlm. 105.
[19] M. Rikza Chamami, “Pendidikan Ramah
Kebangsaan”, Suara Merdeka, Jumat, 18 November 2016, hlm. 4.
[20] Eliana Sari, “The Role Of Environmental Management Education In
Islamic Boarding Schools (Pesantren) In Preventing The Radicalism Of Students In Indonesia”, International Journal of Education and Research, Vol. 4, No. 7 July 2016, hlm. 413.
[21] Muh. Khamdan, “Pengembangan
Nasionalisme Keagamaan Sebagai Strategi Penanganan Potensi Radikalisme Islam Transnasional”,
Addin, Vol. 10, No. 1, Februari 2016, hlm. 228.
[22] Mujib Ridlwan, Revitalisasi Peran
Profetik Pesantren Dalam Membendung Radikalisme Agama, Al Hikmah Jurnal Studi Keislaman, Volume 3, Nomor 1, Maret 2013, hlm. 32-33.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda