ANALISIS KEBIJAKAN PAI PADA MASA KOLONIAL
BELANDA
PENDAHULUAN
Pendidikan
merupakan upaya merancang masa depan umat manusia yang dalam konsep dan
implementasinya harus memperhitungkan berbagai faktor yang
mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor dan diekspor, ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang memakainya sehingga tampak pas dan serasi. Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan IPTEK, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan sebagainya.
mempengaruhinya. Konsep pendidikan dapat diibaratkan sebuah pakaian yang tidak dapat diimpor dan diekspor, ia harus diciptakan sesuai dengan keinginan, ukuran, dan model dari orang yang memakainya sehingga tampak pas dan serasi. Demikian pula dengan konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia. Ia amat dipengaruhi oleh berbagai kebijakan politik pemerintahan, perkembangan IPTEK, perkembangan dan perubahan masyarakat, adat istiadat, kebudayaan dan sebagainya.
Sejak zaman
penjajahan, bangsa Indonesia telah memiliki kepedulian terhadap pendidikan.
Namun, pelaksanaannya masih diwarnai oleh kepentingan politik kaum penjajah,
sehingga tujuan pendidikan yang hendak dicapai disesuaikan dengan kepentingan
mereka. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintahan kolonial,
awal dan pasca
kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan menganaktirikan sistem
pendidikan Islam.
Dalam riwayatnya bangsa Indonesia
telah mengalami berbagai bentuk praktek pendidikan, pertama dimulai dari
praktek pendidikan Hindu, pendidikan Budha, pendidikan Islam, pendidikan zaman Vereenigde
Oest Indische Compagnie (VOC), pendidikan kolonial Belanda,
pendidikan zaman pendudukan Jepang dan zaman setelah merdeka hingga sekarang,
akan tetapi pendidikan Belandalah yang sangat melekat di Indonesia, antara lain
dari bentuk sekolah, kelas dan susunan tempat duduk, sangat persis dengan
pendidikan Belanda zaman
dulu.
A.
KEBIJAKAN PENDIDIKAN MASA KOLONIAL BELANDA
Sejak awal,
pemerintah kolonial Belanda bersikap sangat curiga terhadap kaum Muslimin di
Indonesia. Kekhawatiran mereka bisa dipahami mengingat sejumlah pemberontakan
pernah berlangsung di bawah bendera Islam. Sehingga kebijakan
penyelenggaran pendidikan yang diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda
dijadikan instrumen yang ampuh untuk mengurangi dan akhirnya mengalahkan
pengaruh Islam di Indonesia. Proyek pendidikan pemerintah kolonial Belanda dimulai sekitar
pertengahan abad ke 19. Beberapa anak Indonesia dari kalangan tertentu
memperoleh kesempatan belajar di sekolah untuk anak-anak eropa yang telah
berdiri sejak 1816. Tiga dekade kemudian pemerintah Belanda membuka sekolah
untuk anak pribumi untuk mencetak administrator, sekolah guru untuk sekolah
jawa, dan sekolah dokter jawa untuk pelayanan kesehatan masyarakat pribumi.
Kemudian tahun 1879 pemerntah Belanda membuka Hoofdenschoolen (sekolah
para kepala) untuk mendidik anak-anak Bupati dalam bidang administrasi. Tahun
1893 di buka lembaga pendidikan dasar yang disebut sekolah kelas satu dan
sekolah kelas dua. Tahun 1900 Hoofdenschoolen
di Bandung, Magelang, dan Probolinggo berganti nama menjadi OSVI (Opleiding
Scholen Voor Inlanshe Ambtenaren) dengan masa belajar 5 tahun. Tahun 1900-1902
sekolah dokter jawa berganti nama menjadi STOVIA (School Tot Opleiding Van
Inlandsche Arsten). Tahun 1914 sekolah kelas satu berganti nama menjadi HIS
(Hollandsch-Inlandsche School).[1]
Kemudian sejak Politik
Etis (1900-1920) diberlakukan di Indonesia, pendidikan diarahkan untuk
menjadikan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan Barat melalui politik
asosiasi kebudayaan
dan gagasan asimilasi yang bertujuan memberikan tanah jajahan struktur
sosial dan politik yang sama dengan negeri Belanda. Politik Etis juga memuat
misi tersembunyi melakukan kristenisasi Indonesia, salah satunya melalui jalur
pendidikan. Proses kristenisasi dimulai sejak Van
Den Boss menjadi Gubernur Jenderal di Jakarta pada tahun 1831, dan dikeluarkan
kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah
pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu.
Dan ditiap daerah karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen dan ini
berbeda dengan sekolah Islam yang di marjinalkan dan dianggap sekolah kelas dua. Oleh karena
itu pemerintah kolonial Belanda memisahkan pendidikan Islam dari sistem
pendidikan umum yang dikembangkan. Pemisahan sistem tersebut merupakan
konsekuensi logis dari kebijakan pemerintah kolonial Belanda yang anti-Islam. Pada masa ini sekolah
umum tidak diperkenankan memasukkan agama Islam sebagai mata pelajaran dengan alasan pengajaran di sekolah umum itu bersifat netral. Pelajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam belajar sekolah. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Belanda.[2]
umum tidak diperkenankan memasukkan agama Islam sebagai mata pelajaran dengan alasan pengajaran di sekolah umum itu bersifat netral. Pelajaran agama hanya boleh diberikan di luar jam belajar sekolah. Kondisi ini berlanjut hingga akhir pemerintahan Belanda.[2]
Salah satu
kebijakan lain
dari pemerintah kolonial Belanda yang merugikan umat Islam terjadi
pada tahun 1882 dimana pemerintah Belanda membentuk suatu badan khusus yang
bertugas mengawasi kehidupan beragama dan pendidikan Islam yang disebut Priesterraden, badan ini kemudian menerbitkan peraturan
tentang Ordonansi Guru tahun 1905, tahun 1925, dan Ordonasi sekolah liar,
yang penjelasannya sebagai berikut:
1.
Ordonansi
Guru tahun 1905, berisi kewajiban bagi setiap
penyelenggaraan pendidikan Islam harus memperoleh izin tertulis dari bupati
atau pejabat yang setara kedudukannya.[3] Setiap guru juga
diwajibkan membuat daftar murid-murid lengkap dengan segala keterangan yang harus dikirimkan
secara periodik kepada pejabat yang bersangkutan. Peraturan ini dinilai oleh umat Islam sebagai sikap diskriminatif pemerintah
kolonial Belanda dan membebani pendidikan Islam karena pada umumnya mereka tidak
menyelenggarakan administrasi yang rapi dalam mengatur sekolah/pengajian.
Bahkan lembaga pendidikan Islam seperti pesantren tidak menyelenggarakan
administrasi seperti itu, tidak mencatat nama seluruh santri atau guru-guru
yang mengajar di sana. Meskipun demikian peraturan ini tidak
menimbulkan protes dari pihak Islam di Jawa bahwa mereka menerima peraturan tersebut. Akan tetapi
pada Kongres Al-Islam 1922 sikap pemerintah kolonial Belanda itu
dipandang sebagai bentuk penghambatan terhadap aktivitas pendidikan Islam. Oleh karena itu kalangan umat Islam melakukan protes terhadap kebijakan Ordonansi
Guru 1905, sehingga
pemerintah kolonial Belanda merespon dengan mencabut Ordonansi tersebut melalui Stadsblaad 1925 No.
219.
2. Ordonansi
Guru tahun 1925, sebagai pengganti ordonasi guru 1905. Peraturan baru ini mewajibkan guru-guru pesantren maupun
para muballigh untuk membuat laporan tentang tujuan memberikan pelajaran agama
kepada orang-orang yang bukan keluarga dekatnya disertai dengan pernyataan
tentang teks-teks yang dipakai dalam pelajaran tersebut. Peraturan ini
diperluas bagi guru-guru agama di desa yang terlibat dalam mengajarkan pelajaran agama Islam
kepada para pemuda. Ordonansi ini pada dasarnya tidak berbeda dengan
Ordonansi 1905. Perbedaannya hanya terletak pada masalah izin penyelenggaraan
pendidikan Islam yang tidak lagi memerlukan izin bupati. Kemudian
dalam Kongres Al-Islam 1926 diambil keputusan menolak bentuk pengawasan
pemerintah kolonial Belanda seperti itu dan menuntut agar pemerintah kolonial
Belanda segera mencabutnya. Akan tetapi, pemerintah kolonial Belanda tidak mau
mencabut Ordonansi 1925
tersebut. Bahkan, sebaliknya pada Januari 1927 peraturan yang semula hanya
berlaku di Jawa, diberlakukan untuk Aceh, Sumatera Utara, Palembang,
Tapanuli, Manado, Lombok. Pada 1930-an diberlakukan juga di Bengkulu.[4]
3. Ordonansi sekolah liar, peraturan ini dikeluarkan pemerintah kolonial Belanda tahun 1932 lewat
Stadsblaad 1932 No. 494, tentang pengawasan terhadap sekolah swasta. Peraturan itu
menetapkan bahwa para guru yang akan mengajar di sekolah swasta yang bersubsidi
harus meminta izin kepada pegawai distrik setempat. Pelamar harus alumni dari
sekolah pemerintah atau sekolah swasta bersubsidi dan tidak akan mengganggu
ketenangan dan ketertiban pemerintah kolonial Belanda.
Ordonansi ini juga dimaksudkan untuk mencegah pengaruh politik pada
sekolah-sekolah swasta yang disebut “sekolah liar”. Peraturan ini juga memberikan kewenangan membubarkan dan menutup madrasah/pesantren
dan sekolah yang dianggap tidak memiliki izin penyelenggaraan. Ordonansi ini
juga berhak menutup sekolah
yang memberikan pelajaran yang tidak sejalan dengan kepentingan
kolonial Belanda.[5]
B. KARAKTERISTIK
KEBIJAKAN PENDIDIKAN MASA KOLONIAL BELANDA
Menurut
S.Nasution
dalam jurnal yang ditulis oleh Faisal Mubarak,
Pada dasarnya pendidikan pada masa kolonial Belanda itu memiliki ciri-ciri umum
sebagai berikut:
1. Gradualisme yang luar biasa dalam penyedian pendidikan bagi anak-anak di wilayah jajahan Hindia Belanda. Gradualisme menjamin kedudukan yang menguntungkan
bagi anak Belanda dan membatasi kesempatan belajar bagi masyarakat lokal, perilaku
ini berfungsi menjaga agar anak-anak Belanda selalu lebih maju dari anak-anak
pribumi. Anak-anak Belanda telah memasuki pendidikan menengah sejak 1860,
sedangkan pendidikan lanjutan bagi anak-anak Indonesia baru disediakan pada
tahun 1914.
2. Dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antara
pendidikan Belanda dan pendidikan Pribumi, dualisme ini
menjadi ciri yang dominan dalam sistem pendidikan Hindia Belanda, sekolah barat di laksanakan dalam
bahasa Belanda sedangkan sekolah pribumi dalam bahasa Melayu, sekolah Belanda
hampir seabad membuka kesempatan satu-satunya untuk pendidikan lanjutan
sedangkan pendidikan pribumi tidak diberikan kesempatan.
3. Kontrol sentral yang kuat. Sampai tahun 1918 segala masalah
pendidikan diputuskan hanya oleh pegawai Belanda saja, tanpa konsultasi dengan
masyarakat Hindia Belanda. Oleh karena itu, pendidikan di kontrol secara
sentralistik, guru-guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam
politik pendidikan, segala keputusan akhir ada pada kekuasaan
Gubernur Jenderal atau pemerintah pusat.[6]
Dengan karakteristik kebijakan diskriminatif di atas, dapat dipastikan betapa umat
Islam menghadapi kesulitan dalam menyebarkan agamanya melalui lembaga
pendidikan. Sikap dan respon umat Islam dalam menghadapi kebijakan
diskriminatif tersebut dilakukan secara beragam ke dalam dua corak, yaitu:
1. Corak
defensif dilakukan oleh sejumlah ulama tradisional (khususnya di Jawa)
dengan cara menghindar ke daerah-daerah terpencil yang jauh dari pantauan
Belanda dan mendirikan pesantren di sana. Dengan cara ini para ulama lebih
leluasa membina generasi muda dengan ajaran Islam yang memadai sekaligus
mempersiapkan mereka menjadi kader-kader tangguh yang siap berjihad melawan
penjajah.
2. Corak ofensif dilakukan sejumlah tokoh umat Islam, yang dipelopori kalangan
reformis, dengan cara mendirikan lembaga-lembaga pendidikan model Belanda
dengan berbasis Islam sebagai counter institution terhadap
sekolah-sekolah Belanda yang berbau Kristen. Melalui corak ofensif ini, maka
lahirlah lembaga-lembaga pendidikan Islam modern seperti; Madrasah Adabiyah
(1909), Sekolah Adabiyah (1915), Madrasah Diniyah Zainudin Labay (1916), dan
Sumatera Thawalib (1919). Dalam perkembangan berikutnya, pendirian
lembaga-lembaga pendidikan Islam modern dilakukan secara massif oleh
umat Islam di berbagai penjuru tanah air.[7]
C.
ANALISIS FORMULASI KEBIJAKAN PAI MASA
KOLONIAL BELANDA
Menurut
Haidar Putra Daulay, bahwa latar belakang respon atau pun sikap pemerintahan
Kolonial Belanda terhadap pendidikan Islam, pada dasarnya bertolak dari sikap
dan kebijakan mereka terhadap Islam. Dalam kenyataan sejarah yang mereka alami
bahwa muncul perlawanan-perlawanan dari umat Islam seperti perang Paderi
(1821-1827), Perang diponegoro (1825-1830), Perang Aceh (1873-1903), dan lain-lain,
hal ini tentu menimbulkan sikap kehati-hatian pemerintah Belanda terhadap umat
Islam. Pemerintah Belanda pada mulanya tidak berani mencampuri masalah Islam,
karena belum adanya kebijakan yang jelas mengenai masalah ini. Selain itu juga
karena belum mengetahui pengetahuan mengenai Islam dan bahasa Arab dan pada
waktu itu Belanda belum mengetahui sistem sosial Islam. Barulah setelah
datangnya Snouch Hurgronje pada tahun 1889, pemerintah Kolonial Belanda
mempunyai kebijakan yang jelas mengenai masalah Islam. Menurut Snouch Hurgronje
membagi yang membagi masalah
Islam menjadi tiga kategori
yaitu, bidang
agama murni atau ibadah,
bidang
sosial kemasyarakatan,
dan bidang
politik. Menurut
pemerintah Kolonial
Belanda
tiap-tiap bidang memiliki alternatif pemecahan masalah yang berbeda. Resep
inilah yang kemudian dinamakan dengan Islam Politik.[8]
Pendidikan
Islam di Indonesia, tidak hanya sekedar pertentangan dua kutub keilmuan agama
dan umum tetapi juga pertentangan pandangan hidup. Kesadaran umat Islam bahwa pemerintah
Belanda adalah “pemerintah kafir”, yang menjajah agama dan negeri mereka. Oleh
karena itu, perlakuan yang dilakukan terhadap kolonial Belanda adalah sikap
nonkooperatif dan kontradiktif, sampai-sampai uang gaji yang diterima pemberian
pemerintah Belanda dinilai uang haram. Mengharamkan pakaian yang biasa dipakai
oleh orang Belanda celana dan dasi. Sehingga dari pihak Belanda pun terhadap
umat Islam tergambar tentang sikap mereka terhadap pendidikan Islam. Bertolak
dari rasa keangkuhan mereka berhadapan dengan pendidikan Islam, yang menurut
anggapan mereka bahwa pendidikan barat diformulasikan sebagai faktor yang akan menghancurkan
kekuatan Islam di Indonesia.[9]
D.
ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PAI MASA
KOLONIAL BELANDA
Dalam
hal ini terdapat kebijakan-kebijakan atau peraturan-peraturan yang dikeluarkan
pemerintah Belanda guna mengawasi dan membatasi kegiatan Islam. Misalnya, kebijakan tentang ordonansi serta kebijakan tentang pemberian
dana bantuan pendidikan yang
cukup signifikan antara Islam
dan Kristen. Kebijakan pendanaan ini sebagai bukti
diskriminatif pemerintahan Belanda dalam bidang Agama. Pada tahun 1928,
kebijakan berat diskriminatif ini juga tetap berlangsung sebagaimana biasa.
Misalnya: bantuan untuk Kristen berjumlah f.1.666.300, sedangkan untuk Islam
hanya berjumlah f.3.950.
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat diketahui implementasi pendidikan agama Islam pada
masa Belanda menunjukkan bahwa pemerintah kolonial Belanda sepenuhnya
mengendalikan proses produksi, isi, dan penerapan kebijakan dan
kebijakan-kebijakan yang ditetapkan bukan hasil dari kesepakatan-kesepakatan
rakyat jajahan pemerintah Belanda melainkan kesewenang-wenangan Belanda sendiri
(penentuan kebijakan sifatnya sentralistik dan otoriter). Selain itu Pemerintah
Belanda memberikan perlakuan diskriminatif terhadap pendidikan Islam di
Indonesia. Diantara pelaksanaan diskriminatif diberlakukan ordonansi
guru.
Lebih
lanjut, menurut Abdul Kodir menjelaskan mengenai kebijakan-kebijakan Pendidikan
Agama Islam pada masa penjajahan Belanda. Bahwa kebijaksanaan Belanda dalam
mengatur jalannya pendidikan dimaksudkan untuk kepentingan mereka sendiri,
terutama untuk kepentingan kristenisasi. Hal ini dapat dilihat ketika Van Den
Boss menjadi Gubernur jenderal di Jakarta pada tahun 1983 dengan mengeluarkan
kebijakan bahwa sekolah-sekolah gereja dianggap dan diperlukan sebagai sekolah
pemerintah. Departemen yang mengurus pendidikan dan keagamaan dijadikan satu,
sementara disetiap daerah, karesidenan didirikan satu sekolah agama Kristen.
Kemudian inisiatif untuk mendirikan lembaga pendidikan yang diperuntukkan bagi
penduduk pribumi adalah ketika Van Den Capellen menjabat sebagai gubernur
jenderal yang isinya adalah “Dianggap penting untuk secepatnya mengadakan
peraturan pemerintah yang menjamin meratanya kemampuan membaca dan menulis bagi
penduduk pribumi agar mereka dapat dengan mudah untuk dapat menaati
undang-undang dan hukum negara yang diterapkan pemerintah Belanda.[10] Dengan demikian dapat diketahui
bahwa meskipun pemerintah Belanda mendirikan lembaga pendidikan untuk kalangan
pribumi, tujuannya adalah demi kepentingan politik mereka semata.
E. ANALISIS MONITORING DAN EVALUASI KEBIJAKAN
PAI MASA KOLONIAL BELANDA
Berbicara
monitoring dan evaluasi kebijakan pendidikan agama Islam tidak bisa lepas dari
beberapa-beberapa kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Belanda yang
apabila dicermati kebijakan-kebijakan tersebut mengandung fungsi monitoring dan
evaluasi kebijakan pendidikan Islam. Salah satu kebijakannya pada tahun 1890,
K. F. Holle menyarankan agar pendidikan agama Islam selalu diawasi. Atas saran
dari K.F. Holle tersebut maka dibentuklah badan usaha yang mengawasi kehidupan
keagamaan dan pendidikan yang disebut Preisterraden.[11]
Lahirnya
Preisterraden dilatarbelakangi oleh adanya kekhawatiran pemerintah
Belanda terhadap kekuatan Islam yang semakin lama semakin berkembang terutama
setelah adanya kelonggaran menunaikan ibadah haji bagi umat Islam. Hal ini juga
dimanfaatkan oleh para jamaah haji sambil menimba ilmu pengetahuan agama
yang sangat bermanfaat bagi pengajaran Islam. Sehingga setelah berada di tanah
air mereka mengajarkan agama Islam kepada masyarakat. Dari sinilah terjadi lonjakan guru-guru
agama Islam sehingga jumlahnya berlipat ganda. Banyaknya guru agama Islam yang
menyelenggarakan pendidikan baik perorangan maupun kelompok berdampak pada
melonjaknya jumlah lembaga-lembaga pendidikan Islam. Melihat peningkatan jumlah
lembaga pendidikan Islam yang begitu
besar. Pemerintah Belanda sangat khawatir umat Islam dapat mengganggu ke stabilan
pemerintahannya. Maka pada tahun 1904 Snouck Hurgronye mengusulkan agar dibuat
peraturan pengawasan yang meliputi adanya izin khusus dari Bupati, daftar
tentang guru dan murid. Pengawasan oleh Bupati harus dilakukan oleh suatu
panitia. Menanggapi usulan tersebut pemerintah Belanda pada tahun 1905 melahirkan suatu peraturan
tentang pendidikan Islam yang disebut dengan Ordonasi guru yang pertama dan
dinyatakan berlaku sejak 2 November 1905. Ordonasi guru yang pertama ini
mewajibkan setiap guru agama Islam untuk meminta dan memperoleh izin terlebih
dahulu, sebelum melaksanakan tugasnya sebagai guru agama.[12]
Melihat
pemaparan di atas maka dapat diketahui bahwa kebijakan Preisterraden mengandung
fungsi pengawasan dan kontrol
terhadap jalannya roda pendidikan agama Islam pada saat itu.
[1] Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad Ke-20:
Pergumulan Antara Modernisasi dan Identitas, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2012), hlm. 101-102.
[2] M. Shabir U., “Kebijakan Pemerintah dan
Pengaruhnya Terhadap Pendidikan Islam di Indonesia”, Lentera Pendidikan,
Vol. 16, No. 2, Desember 2013, hlm. 172.
[3] Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan
Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 33.
[4] Moh. Slamet Untung, “Kebijakan Penguasa
Kolonial Belanda Terhadap Pendidikan Pesantren”, Forum Tarbiyah, Vol.
11, No. 1, Juni 2013, hlm. 7-12.
[5] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintas Sejarah
Pertumbuhan dan Perkembangan (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), hlm. 52
[6] Faisal Mubarak , “Perkembangan Kebijakan Pendidikan Islam Indonesia”, Ta’lim
Muta’allim, Vol. 4, No. 8, hlm. 230.
[7] Mohammad Kosim, “Pendidikan Agama Islam
Di Sekolah Umum : Perspektif Sosio-Politik-Historis, Tadrîs. Vol. 1, No.
2, 2006, hlm. 122.
[8] Haidar Putra Daulay, Op.Cit., hlm. 32
[9] Ibid.,, hlm. 34
[10] Abdul Kodir, Sejarah
Pendidikan Islam Dari Masa Rasulullah Hingga Reformasi di Indonesia (Bandung:
CV Pustaka Setia, 2015), hlm. 180.
[11] Fatikhah, Pendidikan Islam Indonesia Pasca Politik Etis
(Yogyakarta: Gama Media, 2006), hlm. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda