FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
PENDAHULUAN
Ada dua buah kata yang sangat familiar di telinga kita, dan sering digunakan dalam berbagai
kesempatan dan untuk berbagai tujuan. Kedua kata itu seolah-olah memiliki makna
yang sama karena akar kata tersebut memang sama, hanya akhirannya yang berbeda.
Yang pertama adalah kata kebijaksanaan yang sering dipersamakan maknanya dengan
kata wisdom dalam bahasa Inggris, dimana Undang-Undang Dasar 1945 dan
khususnya Pancasila juga menggunakan kata ini yaitu dalam sila keempat. Kata
yang kedua adalah kata kebijakan (policy), dimana dalam berbagai
literatur ilmu sosial kata ini sering digunakan dan sepertinya sudah baku
dengan disertai embel-embel di belakangnya berupa kata publik atau Negara,
sehingga kita sering menyebutnya dengan kebijakan publik.[1]
Kebijakan publik merupakan modal utama yang dimiliki pemerintah untuk menata
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan. Efektiftas kebijakan
publik akan terukur
dari seberapa besar kebijakan
tersebut dapat direalisasikan dan memberi solusi terhadap berbagai masalah
publik yang sedang terjadi.
Formulasi
kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik merupakan tahap yang
paling krusial karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat
dilaksanakan apabila tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu
kegagalan suatu kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian
besar bersumber pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi. Tahapan formulasi
kebijakan merupakan mekanisme yang sesungguhnya untuk memecahkan masalah publik
yang telah masuk dalam agenda pemerintah. Tahapan ini lebih bersifat
teknis, dibandingkan tahapan agenda setting yang lebih bersifat politis.
Kebijakan publik dalam bidang pendidikan juga sangat penting
terkait dengan moral
anak didik. Kebijakan pendidikan mancakup
seperangkat ketetapan,
peraturan mengenai pendidikan
yang dirumuskan berdasarkan permasalahan
dengan latar belakang masyarakat yang diawali dengan perumusan, penetapan,
implementasi hingga pada
evaluasi. Wujud dari kebijakan pendidikan ini
biasanya berupa Undang-Undang pendidikan, intruksi,
peraturan pemerintah,
keputusan pengadilan,
peraturan menteri, dan sebagainya menyangkut pendidikan. Formulasi
kebijakan yang baik
adalah formulasi kebijakan yang
berorientasi pada
implementasi dan evaluasi.
Sebab seringkali para pengambil
kebijakan beranggapan bahwa formulasi kebijakan yang baik itu
adalah sebuah uraian konseptual yang
sarat dengan pesan-pesan ideal
dan normatif, namun tidak membumi.[2]
Sedangkan dalam perumusan formulasi kebijakan pendidikan perlu
memperhatikan berbagai aspek kehidupan yang nantinya akan menentukan arah dan
tujuan pendidikan baik dalam tataran regional, nasional, maupun lokal. Dalam
perumusan formulasi kebijakan pendidikan setidaknya perlu mempertimbangkan
beberapa pendekatan, metodologi, aktor dan faktor-faktor tertentu yang akan
kami ulas dalam pembahasan berikut ini.
A.
DEFINISI FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Formulasi
berarti perumusan[3],
sedangkan kebijakan berarti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar
dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara
bertindak (tentang pemerintahan, organisasi, dan sebagainya), pernyataan
cita-cita, tujuan, prinsip, atau maksud sebagai garis pedoman untuk manajemen
dalam usaha mencapai sasaran.[4] Dalam undang-undang
SISDIKNAS No. 20 Tahun 2003 Bab I Pasal I dijelaskan pendidikan merupakan usaha
sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,
akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara.[5]
Kebijakan
pendidikan sebagai kebijakan publik adalah kebijakan sebagai keputusan tetap
dicirikan oleh konsistensi dan pengulangan tingkah laku dari mereka yang
membuat dan yang mematuhi keputusan tersebut. Konsistensinya ditinjau berdasarkan hirarki kebijakan
yaitu: Policy level (undang-undang, TAP MPR), organization level (PP,
Kepres, Kepmen), dan operational level (Dirjen).[6] Kebijakan pendidikan berkaitan dengan
upaya pemberdayaan peserta didik. Oleh karena pendidikan merupakan ilmu praksis
maka kebijakan pendidikan merupakan proses pemanusiaan yang terjadi dalam
lingkungan alam dan sosialnya. Sehingga kebijakan pendidikan adalah penjabaran dari visi dan misi dari pendidikan
dalam masyarakat tertentu. Kebijakan pendidikan lahir dari ilmu praksis
pendidikan sehingga kebijakan pendidikan meliputi proses analisis kebijakan,
perumusan kebijakan, implementasi dan evaluasi kebijakan. Proses kebijakan
tersebut dapat menggunakan model-model yang telah baku, walaupun model-model
tersebut mempunyai kelemahan dan kekurangan, namun dengan kombinasi berbagai
model dapat dihasilkan proses kebijakan yang layak.[7]
Jadi
definisi formulasi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam
pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen
atau pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan
yang diharapkan.
B. PENDEKATAN DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Secara teoritik, pendekatan
perumusan kebijakan di bidang pendidikan tidak berbeda dengan pendekatan
perumusan kebijakan publik, karena kebijakan pendidikan dipahami sebagai
kebijakan publik. Berikut ini beberapa pendekatan yang dapat dilakukan dalam
kerangka perumusan kebijakan pendidikan:
1. Pendekatan kelembagaan,
pendekatan ini mengandalkan bahwa tugas membuat kebijakan pendidikan merupakan
kewenangan pemerintah. Pendekatan ini dipandang paling sederhana dan sempit
dalam perumusan kebijakan pendidikan. Pendekatan ini mendasarkan pada
fungsi-fungsi kelembagaan pendidikan dan berbagai tingkatan dalam perumusan
kebijakan.
2. Pendekatan proses,
pendekatan ini menformulasikan kebijakan pendidikan melalui tahapan-tahapan
yang runtut, tidak melompat-lompat atau langsung jadi. Menurut pendekatan ini, kebijakan
pendidikan dipandang sebagai proses politik yang menyertakan rangkaian
kegiatan, mulai dari identifikasi permasalahan pendidikan, formulasi proposal
kebijakan pendidikan, legitimasi kebijakan pendidikan, implementasi dan
evaluasi kebijakan pendidikan.
3. Pendekatan teori kelompok, menurut pendekatan ini kebijakan pendidikan
merupakan titik keseimbangan, yang berarti interaksi dalam kelompok akan
menghasilkan keseimbangan terbaik. Berdasarkan pendekatan ini, individu dalam kelompok
kepentingan berinteraksi secara formal maupun informal dengan cara langsung
maupun melalui media masa menyampaikan tuntutannya kepada pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan yang diperlukan.
4. Pendekatan elitis, dalam
sistem politik kebijakan pendidikan dibuat dan banyak dipengaruhi oleh para
elite dari sistem itu. Dengan demikian kebijakan pendidikan mencerminkan
keinginan dan kehendak kaum elit saja, tanpa ada aspirasi masyarakat.
5. Pendekatan rasional, mengedepankan gagasan bahwa kebijakan publik sebagai maximum
social gain, yang berarti pemerintah sebagai pembuat kebijakan harus
memilih kebijakan yang memberikan manfaat optimum bagi masyarakat. Rasionalitas
yang diambil adalah perbandingan antara pengorbanan dan hasil yang dicapai
serta lebih menekankan pada aspek efisiensi atau ekonomis.[8]
C.
METODOLOGI / TEORI DALAM FORMULASI KEBIJAKAN
PENDIDIKAN
Dalam usaha perumusan kebijakan pendidikan, Prof. H.
A. R. Tilaar dan Riant Nugroho dalam bukunya mengemukakan tiga belas teori
perumusan kebijakan yaitu teori kelembagaan, proses, kelompok, elit, rasional, incremental,
permainan, pilihan publik, sistem, pengamatan terpadu, demokratis, strategis,
dan teori deliberatif.[9] Dalam makalah ini kami
akan menjelaskan beberapa saja diantaranya:
1. Teori inkrementalis,
teori ini melihat bahwa kebijakan publik merupakan variasi atau kelanjutan dari
kebijakan dimasa lalu sehingga perlu mempertahankan kinerja baik yang telah
dicapai, teori ini memiliki sifat pragmatis.[10]
2. Teori demokratis,
teori ini implementasinya pada good governance bagi pemerintahan yang
mengamanatkan agar dalam membuat kebijakan, para konstituten, dan pemanfaat (beneficiaries)
diakomodasi keberadaan. Apabila teori ini mampu dijalankan maka sangat efektif
karena setiap pihak mempunyai kewajiban untuk ikut serta mencapai keberhasilan
kebijakan karena masing-masing pihak bertanggung jawab atas kebijakan yang
dirumuskan.[11]
3. Teori Strategis,
Inti dari teori ini adalah perencanaan strategis mensyaratkan pengumpulan
informasi secara luas, eksploratif alternatif dan menekankan implikasi masa
depan dengan keputusan sekarang. Fokusnya lebih kepada pengidentifikasian dan pemecahan
isu-isu, lebih menekankan kepada penilaian terhadap lingkungan di luar dan di
dalam organisasi dan berorientasi kepada tindakan. Perencanaan strategis dapat
membantu organisasi untuk berpikir secara strategis dan mengembangkan
strategi-strategi yang efektif, memperjelas arah masa depan, menciptakan
prioritas, membuat keputusan sekarang dengan memperhatikan konsekuensi masa
depan.[12]
4. Teori pilihan
publik, teori ini sebagai proses formulasi keputusan kolektif dari setiap
individu yang berkepentingan atas keputusan tersebut. Intinya setiap kebijakan
yang dibuat pemerintah harus merupakan pilihan dari publik yang menjadi
pengguna. Dalam menyusun kebijakan, pemerintah melibatkan publik melalui
kelompok-kelompok kepentingan dan ini secara umum merupakan konsep formulasi
kebijakan yang paling demokratis karena memberi ruang yang luas kepada publik
untuk mengkontribusikan pilihan-pilihannya kepada pemerintah sebelum diambil
keputusan.[13]
5. Teori sistem,
formulasi kebijakan dengan model sistem mengibaratkan bahwa kebijakan merupakan
hasil (output) dari sistem politik. Seperti dalam ilmu politik, maka
sistem politik terdiri dari input, throughput dan output.
Sehingga dapat dipahami, proses formulasi kebijakan publik dalam sistem politik
mengandalkan masukan (input) yang terdiri dari tuntutan dan dukungan.[14]
D.
SKENARIO DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Perumusan
kebijakan
pendidikan merupakan
tahapan kedua dalam siklus kebijakan pendidikan. Sebagai tahapan kedua, formulasi
kebijakan dengan sendirinya tidak dapat
dilepaskan
dari tahapan agenda setting. Secara fundamental tahapan ini terjadi tatkala
pemerintah mengakui keberadaan masalah-masalah publik dan menyadari adanya kebutuhan dan tuntutan untuk melakukan
sesuatu dalam rangka mengatasi masalah tersebut. Karenanya dalam perumusan kebijaksanaan
pendidikan,
persoalan mendasar adalah merumuskan masalah kebijakan
(policy problems) dan merancang langkah-langkah pemecahannya (solution). Merumuskan
masalah-masalah kebijakan berarti memberi arti atau menerjemahkan problema
kebijakan secara benar, sedang merumuskan langkah pemecahan menyangkut
perancangan tindakan pemerintah untuk mengatasi masalah-masalah publik tersebut.
Dalam konteks perumusan masalah kebijakan, William Dunn mengatakan bahwa
ada 4 (empat) macam fase proses yang saling bergantung yaitu:
pencarian masalah, pendefinisian masalah, spesifikasi masalah dan pengendalian
masalah.
Adapun skenario dalam merumuskan kebijakan pendidikan
sebagai berikut:
1. Pengenalan masalah diawali dengan
pengakuan atau dirasakannya keberadaan situasi masalah. Situasi masalah dapat
dilakukan dengan menemukan dan mengenali masalah.
2. Pencarian masalah, biasanya yang didapat adanya setumpuk
masalah yang saling mengkait. Kumpulan masalah yang saling mengkait namun belum terstruktur
tadi disebut meta masalah.
3. Pendefinisian masalah, dari setumpuk masalah tadi, dapat dipecahkan secara serentak, namun harus
didefinisikan terlebih dahulu masalah mana yang menjadi masalah publik. Hasil pendefinian dari setumpuk masalah
yang belum tertstruktur tadi menghasilkan masalah substantif.
4. Spesifikasi masalah, dari masalah substantif tadi kemudian dilakukan spesifikasi masalah dan menghasilkan
masalah formal sebagai masalah kebijakan.
5. Perancangan tindakan, dengan dihasilkannya
masalah formal, maka tahapan berikutnya adalah perancangan tindakan yang akan dilakukan pemerintah dalam
rangka memberikan solusi terhadap masalah kebijakan tersebut. Proses ini
disebut dengan “usulan kebijakan” (policy
proposal) yang dipahami sebagai kegiatan menyusun dan mengembangkan serangkaian
tindakan untuk mengatasi masalah tertentu.[15]
E.
AKTOR DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Aktor adalah Orang atau pelaku yang terlibat dalam
proses merumuskan formulasi
kebijakan yang akan memberikan dukungan maupun tuntutan serta menjadi sasaran
dari kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kebijakan. Aktor yang paling dominan
dalam tahap perumusan kebijakan dengan tuntutan yang bersifat intern, dalam
artian mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk menentukan isi dan memberikan
legitimasi terhadap rumusan kebijakan tersebut, disebut pembuat kebijakan (policy
maker). Sementara itu, aktor yang mempunyai kualifikasi atau karakteristik
lain dengan tuntutan ekstern, dikenal sebagai kelompok-kelompok kepentingan,
partai politik, pimpinan elit profesi dan lain-lain. Untuk dapat tetap bertahan
bermain di dalam sistem tersebut, mereka harus memilik komitmen terhadap aturan
main, yang pada mulanya dirumuskan secara bersama-sama oleh semua aktor. Pada
tataran ini komitmen para aktor akan menjadikan menjadikan mereka mematuhi
aturan atau norma bersama. Selain itu, kepatuhan terhadap norma ini bahkan
menjadi keharusan, karena diasumsikan bahwa pencapaian tujuan sistem akan
terwujud jika semua aktor mematuhi norma bersama. Di
Indonesia pengaruh aktor-aktor
elit dalam proses
pembuatan kebijakan sangat
kental. Aktor tersebut dapat berasal dari institusi formal seperti
lembaga legislatif dan eksekutif ataupu dari
non- institusional seperti
kelompok kepentingan dan
partai politik. Sharing
power hanya terjadi dalam
tataran fundamental kebijakan
akan tetapi tidak
terjadi dalam tataran
empiri dalam arti sharing
power menjadi sumber
terjadinya dominasi power
oleh aktor-aktor kunci tersebut.[16]
Aktor-aktor yang
terlibat dalam proses
formulasi kebijakan
pendidikan tersebut terbagi dalam:
1.
Legislatif
Legislatif sering dimaksudkan sebagai pembentuk undang-undang dan perumus
kebijakan. Peran mereka sangat menentukan, karena pengesahan suatu tata aturan
agar menjadi kebijakan seperti undang-undang, peraturan pemerintah, dan
peraturan daerah ada ditangan mereka. Legislatif disebut sebagai aktor utama
dalam merumuskan / mengesahkan kebijakan, para legislator tersebut berada pada
tataran MPR, DPD, DPR, DPRD I, dan DPRD II.[17]
2.
Eksekutif
Eksekutif disini adalah para pelaksana undang-undang sekaligus berperan dalam
merumuskan kebijakan agar kebijakan yang dibuat atau dirumuskan oleh legislatif
dapat dilaksanakan sesuai dengan faktor kondisional dan situasional. Eksekutif
biasanya merumuskan kembali kebijakan yang dibuat legislatif dalam bentuk
kebijakan jabaran. Eksekutif memiliki kekuasaan untuk melaksanakan atau tidak
melaksanakan kebijakan yang dibuat oleh legislatif serta merumuskan kembali
atau tidak merumuskan dengan alasan tertentu. Aktor eksekutif disini antara
lain Presiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, dan Kepala Dinas. Sedangkan
aktor eksekutif dalam bidang pendidikan adalah Mendiknas, Menag, Dirjen, Kepala
Dinas, dan Rektor.[18]
3.
Administrator
Administrator sebagai perumus
dan implementator kebijakan
memegang peranan penting dalam pencapain tujuan Negara yang
akan terimplementasikan dalam setiap program nyata yang akan dirasakan oleh
masyarakat, dengan tujuan utama masyarakat sejahtera. Formulasi merupakan langkah
awal dan menjadikan
pedoman bagi para
administrator dalam menjalankan
setiap program dan kegiatan yang akan dilaksanakannya. Administrator sebagai
penyelenggara pemerintahan mempunyai
peranan sangat menentukan keberhasilan
dan kegagalan suatu
kebijakan yang dibuatnya. Administrasi publik mempunyai
peranan yang lebih besar dan lebih banyak terlibat dalam perumusan, implementasi, dan evaluasi kebijakan publik. Peran
admistrator sebagai aktor dalam
kebijakan publik sangat
menentukan akan terumusnya
suatu kebijakan untuk tercapainya suatu tujuan dengan berbagai keahlian
yang dimiliki oleh administrator, Peran para aktor
administrator dalam proses
suatu kebijakan akan
ditentukan oleh kecermatan dan
kepiawaian dalam memahami
dan melaksanakan tahapan-tahapanproses kebijakan itu
dirumuskan. Kegiatan ini merupakan pengawalan agar kebijakan yang ditetapkan
sesuai dengan harapan.[19]
4.
Partai Politik (Parpol)
Partai politik
adalah sekelompok orang yang terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan
pemerintahan agar dapat melaksanakan program-programnya dan menempatkan
anggota-anggotanya dalam jajaran pemerintahan. Di Indonesia peran Parpol sangat
besar sehingga hampir semua aspek kebijakan termasuk dalam bidang pendidikan
akan melibatkan Parpol. Peran parpol disini dengan menempatkan anggotanya di
legislatif dan pimpinan Negara maupun daerah.[20]
5.
Interest Group (kelompok berkepentingan)
Interest Group ialah suatu kelompok yang beranggotakan orang-orang
yang memiliki kepentingan sama, seperti kelompok buruh, nelayan, petani, guru,
dan kelompok professional lainnya. Kelompok ini berusaha mempengaruhi perumus
kebijakan formal agar kepentingan kelompoknya dapat terakomodasi dalam
kebijakan yang dirumuskan. Kelompok ini biasanya memiliki tuntutan yang
bersifat khusus, sempit, dan spesifik.[21]
6.
Organisasi Masyarakat (Ormas)
Ormas merupakan
kumpulan orang yang mempunyai cita-cita dan keinginan sama, bersifat nonpolitis
meskipun dalam kiprahnya sering bersentuhan dengan kepentingan politik. Ormas
dapat berdiri sendiri (independen) atau berafiliasi dengan organisasi politik
tertentu. Dalam perumusan kebijakan pendidikan ormas memiliki harapan dan
aspirasi yang kemudian disampaikan kepada para perumus kebijakan formal. Di
Indonesia ada beberapa ormas yang memiliki pengaruh besar dalam perumusan
kebijakan pendidikan oleh pemerintah seperti NU, Muhammadiyah, ICMI, HMI, PMII,
dan KAHMI.[22]
7.
Perguruan tinggi
Perguruan tinggi
adalah suatu lembaga dimana para elite akademisi berada, perguruan tinggi
sering dijadikan ujung tombak dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
akan dimasukkan dalam rumusan kebijakan. Peran perguruan tinggi menjadi sangat
penting karena disinilah nilai-nilai idealisme masih dipertahankan, dan dalam
mengupayakan berbagai kebijakan tidak akan lepas dari muatan-muatan
intelektual. Perumusan kebijakan yang baik seharusnya memuat naskah akademik
yang dibahas bersama para akademisi di perguruan tinggi.[23]
8.
Tokoh perorangan.
Dalam berbagai
konstelasi, tokoh perorangan memegang peran cukup vital dan terkadang sangat
menentukan, dia juga dapat menjadi tokoh sentral. Tokoh perorangan dapat
berasal dari berbagai bidang seperti keagamaan, politik, ekonomi, pendidikan,
budaya, seni, dan sebagainya.[24]
F.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap proses formulasi
kebijakan adalah:
1. Adanya pengaruh tekanan-tekanan dari luar
Walaupun
ada pendekatan formulasi kebijakan dengan nama “rationale comprehensive”
yang berarti administrator sebagai pembuat keputusan harus mempertimbangkan
alternatif-alternatif yang akan dipilih berdasarkan penilaian rasional semata,
tetapi proses dan formulasi kebijakan itu tidak dapat dipisahkan dari dunia
nyata, sehingga adanya tekanan dari luar ikut berpengaruh terhadap proses
formulasi kebijakan.
2. Adanya pengaruh kebiasaan lama
Kebiasaan
lama organisasi seperti kebiasaan investasi modal, sumber-sumber dan waktu terhadap
kegiatan suatu program tertentu cenderung akan selalu diikuti, meskipun
keputusan-keputusan tersebut telah dikritik sebagai sesuatu yang salah sehingga
perlu dirubah, apalagi jika suatu kebijakan yang telah ada dipandang memuaskan.
3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi
Berbagai
macam keputusan yang dibuat oleh pembuat keputusan banyak dipengaruhi oleh
sifat-sifat pribadinya, seperti dalam proses penerimaan atau pengangkatan
pegawai baru, seringkali faktor sifat-sifat pribadi pembuat keputusan berperan
besar sekali.
4. Adanya pengaruh dari kelompok luar
Lingkungan
sosial dari para pembuat keputusan juga sangat berpengaruh, bahkan sering pula
pembuatan keputusan dilakukan dengan mempertimbangkan pengalaman dari orang
lain yang sebelumnya berada diluar proses formulasi kebijakan.
5. Adanya pengaruh keadaan masa lalu.
Pengalaman
latihan dan pengalaman pekerjaan yang terdahulu berpengaruh pada pembuatan
keputusan atau bahkan orang-orang yang bekerja di kantor pusat sering
membuat keputusan yang tidak sesuai dengan keadaan dilapangan, hal ini
disebabkan karena adanya kekhawatiran bahwa delegasi wewenang dan tanggung
jawab kepada orang lain akan disalahgunakan.[25]
Dalam jurnal penelitian yang ditulis oleh
Ayuba A.
Aminu, Charas Madu Tella, dan Paul
Y. Mbaya menjelaskan beberapa
faktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan antara lain :
1.
Needs of
the People: In formulating a policy, the policy
formulators require a good
and thorough understanding of the local
needs and problems of the people. Emphasis should be given to the needs of the
people, their capacities and total commitment of the local actors in the
Community in supporting government programmes.
2.
Stakeholders:
In policy formulation, stakeholders must first be
identified by taking into
account the interest of
the stakeholders. Government
Policy depend on
the agencies of
government for support
and government should
show positive attitude to
the policy by
ensuring adequate measure to
empower the stakeholders,
civil society and
other interested parties with the required pre-requisite information on
the policy for their benefits.
3.
Political Will:
Political Will should be
the key factor
to government policy
formulation strategies. Political
will means total political support
for a policy
by top government
functionaries. This is
because government sometimes formulates policy
but lack the
political, social and
economic will to implement
it.[26]
G.
PROBLEMATIKA DALAM FORMULASI KEBIJAKAN PENDIDIKAN
Meskipun sebuah kebijakan telah disahkan, bukan berarti rumusan kebijakan telah
bebas dari berbagai permasalahan. Banyak problem yang muncul disekitar rumusan
atau statemennya yang kurang atau tidak jelas. Problematika tersebut bersumber
dari beberapa hal berikut ini:
1. Pembuat kebijakan
pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan, dan
persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual maupun
substansial.
2. Sumber acuan para
pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak formal berbeda-beda,
oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering diambil sebagai alternatif
untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang membuat rumusan kebijakan
pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
3. Terlalu banyak
maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya statemen kebijakan
pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi menyebabkan
persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu
sederhana. Sedangkan banyaknya informasi menyebabkan para perumus kebijakan
pendidikan dihadapkan pada kesulitan ketika bermaksud mensintesakan persoalan
dan alternatif yang akan dipilih.[27]
KESIMPULAN
Berdasarkan
uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Formulasi
kebijakan sebagai bagian dalam proses kebijakan publik dan merupakan tahap yang paling krusial
karena implementasi dan evaluasi kebijakan hanya dapat dilaksanakan apabila
tahap formulasi kebijakan telah selesai, disamping itu kegagalan suatu
kebijakan atau program dalam mencapai tujuan-tujuannya sebagian besar bersumber
pada ketidaksempurnaan pengolaan tahap formulasi.
2. Formulasi kebijakan pendidikan ialah usaha perumusan berbagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar serta dasar rencana dalam
pelaksanaan kegiatan pendidikan sekaligus sebagai garis pedoman untuk manajemen
atau pengelola pendidikan dalam usaha mencapai sasaran atau tujuan pendidikan
yang diharapkan.
3. Pendekatan yang dapat dilakukan dalam kerangka
perumusan kebijakan pendidikan adalah a) Pendekatan kelembagaan, b) Pendekatan proses, c) Pendekatan teori kelompok, d) Pendekatan elitis, e) Pendekatan rasional.
4.
Ada beberapa teori dalam
memformulasikan sebuah kebijakan: a) Teori inkrementalis, b) Teori demokratis, c)
Teori Strategis, d) Teori pilihan publik, e) Teori system.
5.
Aktor-aktor yang terlibat
dalam proses formulasi kebijakan pendidikan adalah: Legislatif, Eksekutif,
Partai Politik (Parpol), Interest, Organisasi Masyarakat (Ormas), Perguruan
tinggi, dan Tokoh perorangan.
6. Beberapa faktor
yang dapat mempengaruhi terhadap proses formulasi
kebijakan adalah:1. adanya
pengaruh tekanan-tekanan dari luar. 2. Adanya pengaruh kebiasaan lama. 3. Adanya pengaruh sifat-sifat pribadi. 4. Adanya pengaruh dari
kelompok luar. Dan 5. Adanya
pengaruh keadaan masa lalu.
7. Ada beberapa problematika yang
terjadi dalam memformulasi kebijakan pendidikan, diantaranya:
a) Pembuat
kebijakan pendidikan kurang menguasai pengetahuan, informasi, keterangan, dan
persoalan-persoalan pendidikan baik yang bersifat konseptual maupun
substansial.
b) Sumber
acuan para pembuat kebijakan pendidikan, baik formal maupun tidak formal
berbeda-beda, oleh karena itu sikap kompromi / jalan tengah sering diambil
sebagai alternatif untuk mengakomodasikannya. Kenyataan ini yang membuat
rumusan kebijakan pendidikan sering mengambang dan tidak fokus.
c) Terlalu
banyak maupun kurangnya informasi bisa berakibat tidak jelasnya statemen
kebijakan pendidikan. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi menyebabkan
persoalan-persoalan dan alternatif-alternatif yang dipilih menjadi terlalu
sederhana. Sedangkan banyaknya informasi menyebabkan para perumus kebijakan
pendidikan dihadapkan pada kesulitan ketika bermaksud mensintesakan persoalan
dan alternatif yang akan dipilih.
PENUTUP
Demikianlah makalah
yang dapat kami sampaikan. Tentunya dalam makalah ini kami masih banyak
kekurangan dan kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan. Untuk itu sudilah
kiranya samudera maaf dari pembaca buka untuk kami. Saran dan kritik yang
membangun demi kesempurnan makalah ini sangat kami harapkan. Semoga makalah ini
dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…………….
DAFTAR PUSTAKA
Aripin, Sofjan, Muhammad Daud, “Peran Administrator Publik
dalam Formulasi dan Implementasi kebijakan”, Jurnal Academica Fisip Untad,
Vol.06. No. 01 Februari 2014, hlm. 1158-1161.
Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, Paul Y. Mbaya, “Public
Policy Formulation and Implementation in Nigeria”, Public Policy and
Administration Research, Vol. 2, No. 5, 2012 , hlm. 59-61.
Bakry, Aminuddin. “Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan
publik”, (Jurnal MEDTEK, Vol. 2, Nomor 1, April 2010), hlm. 12.
Basyarahil, Abubakar. “Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori Siklus Kebijakan”, (Jurnal Ilmiah
Administrasi Negara), Tahun II, Nomor 2 Juli 2011, hlm. 7.
Emzir, M. Chan. 2010. Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan
Era Otonomi Daerah. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hasbullah. 2015. Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif
Teori, Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada.
http://kbbi.web.id/bijak, diakses 20 September 2016
http://kbbi.web.id/formulasi, diakses 20 September 2016
http://pascasarjana-stiami.ac.id/2013/06/formulasi-kebijakan/, diakses 19 September 2016
Rahman, Wen Yusri, Murniati, Djailani, “Analisis Kebijakan
Pendidikan Keluarga dalam Memantapkan Perilaku Moral Anak di Kabupaten Aceh
Tengah”, (Universitas Syiah Kuala : Jurnal Administrasi Pendidikan Pascasarjana Universitas Syiah Kuala,
Vol. 3, No. 2, Mei 2015), hlm. 105-108.
Rusli, Budiman. 2013. Kebijakan Publik: Membangun
Pelayanan Publik yang Responsif. Bandung: Hakim Publishing.
Tilaar, H.A.R., Riant Nugroho. 2012. Kebijakan Pendidikan:
Pengantar untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Triastuti, Maria Rosarie Harni. “Rekonsiliasi Nilai Demokrasi
dan Birokrasi dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik”, JAP, Nomor 2
Volume 2003 Oktober 2003, ISSN 1214-7040, hlm. 128.
UU
Sistem Pendidikan Nasional No.20 Th. 2003 (Jogyakart
[1] Budiman Rusli, Kebijakan Publik: Membangun Pelayanan Publik yang
Responsif (Bandung: Hakim
Publishing, 2013), hlm. 2.
[2] Wen Yusri Rahman, Murniati, Djailani, Analisis Kebijakan Pendidikan
Keluarga dalam Memantapkan Perilaku Moral Anak di Kabupaten Aceh Tengah, Jurnal
Administrasi Pendidikan Pascasarjana
Universitas Syiah Kuala, Volume 3, No. 2, Mei 2015, hlm. 105-108.
[6] Emzir, M. Chan, Isu-Isu Kritis Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010) hlm.. 8.
[7] Aminuddin Bakry, “Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan public”, Jurnal
MEDTEK, Volume 2, Nomor 1, April 2010, hlm. 12.
[8] Hasbullah, “Kebijakan Pendidikan: Dalam Perspektif Teori,
Aplikasi, dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia”, (Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2015), hlm. 87-89.
[9] H.A.R.Tilaar, Riant Nugroho, Kebijakan Pendidikan: Pengantar
untuk Memahami Kebijakan Pendidikan Sebagai Kebijakan Publik, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2012), hlm. 190-191.
[10] Ibid, hlm. 198-199
[11] Ibid, hlm. 201
[12] Ibid, hlm. 202.
[13] Ibid, hlm. 206.
[14] Ibid, hlm. 208.
[15] Abubakar Basyarahil,
Kebijakan Publik dalam Perspektif Teori
Siklus Kebijakan, Jurnal Ilmiah Administrasi Negara Tahun II, Nomor 2
Juli 2011, hlm. 7.
[16] Maria Rosarie Harni Triastuti, “Rekonsiliasi Nilai Demokrasi dan
Birokrasi dalam Proses Formulasi Kebijakan Publik”, JAP, Nomor 2 Volume
2003 Oktober 2003, ISSN 1214-7040, hlm. 128.
[17] Hasbullah, Op.Cit., hlm.75.
[18] Ibid.,hlm. 75-76.
[19]Sofjan Aripin, Muhammad Daud, “Peran Administrator Publik dalam
Formulasi dan Implementasi kebijakan”, Jurnal Academica Fisip Untad,
Vol.06 No. 01 Februari 2014, hlm.
1158-1161.
[20] Hasbullah, Op.Cit., hlm. 77.
[21] Ibid., hlm. 77-78.
[22] Ibid., hlm. 78-79.
[23] Ibid., hlm. 79.
[24] Ibid., hlm. 79.
[26] Ayuba A. Aminu, Charas Madu Tella, Paul Y. Mbaya, “Public Policy
Formulation and Implementation in Nigeria”, Public Policy and Administration
Research, Vol. 2, No. 5, 2012 , hlm. 59-61.
[27] Hasbullah, Op.Cit., hlm. 82-83.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda