DILEMATIS
UJIAN NASIONAL DI INDONESIA
Kebijakan Ujian Nasional (UN) mulai diberlakukan sejak tahun 2002
dengan nama UAN (Ujian Akhir Nasional) yang bertujuan menggantikan Evaluasi
Tahap Akhir Nasional (EBTANAS), kemudian sejak tahun 2005 diganti namanya
menjadi Ujian Nasional (UN). Pemerintah berargumen bahwa UN adalah sebagai
salah satu cara untuk mengetahui tingkat penguasaan materi pelajaran secara
nasional. Dengan adanya UN, diharapkan mutu pendidikan Indonesia meningkat dan compatible
secara nasional sehingga dapat diprediksi sekaligus dibandingkan antara siswa
yang ada di kota-kota yang berbeda di seluruh tanah air karena telah mengikuti
UN dengan satu standar penilaian. Hal ini sejalan dengan Tujuan
diselenggarakannya UAN menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No.
153/U/2003 disebutkan bahwa UAN bertujuan mengukur mutu pendidikan dan mempertanggungjawabkan
penyelenggaraan pendidikan di tingkat Nasional, Provinsi, Kabupaten, sampai
tingkat sekolah.[1]
Namun kenyataan dilapangan banyak sekali permasalahan yang timbul
akibat UN. Tri pujiati menyebutkan tiga kelemahan UN yaitu, keberadaan UN mendiskriminasikan
hak hidup peserta didik, disorientasi pelaksaan UN sebagai ladang kecurangan,
dan realitas UN tidak mendorong kualitas pendidikan, spirit, dan motivasi
belajar peserta didik.[2]
Doni Koesoema juga menyatakan UN dapat merusak pengalaman belajar mengajar
dikelas, merusak moralitas guru dan siswa, mempersempit kurikulum karena guru
mengajar materi untuk ujian dan siswa belajar hanya untuk ujian.[3]
Muntholi’ah juga menyatakan banyak sekali permasalahan yang timbul akibat UN, mulai
dari segi administrasi (distribusi yang terkesan amburadul, risiko kebocoran
soal), maupun pedagogis. Banyak peserta didik yang frustasi dan melakukan kecurangan
karena tertekan dan cemas berlebihan karena takut tidak lulus. UN juga membuat
peserta didik banyak kehilangan kesempatan untuk mengembangkan cipta, rasa dan
karsa dalam proses pembelajaran.[4]
Untuk mengatasi berbagai permasalahan UN banyak sekali kebijakan
dan gagasan yang muncul seperti disentralisasi UN, UNBK, moratorium UN, dan
USBN. Untuk gagasan disentralisasi UN berdasarkan penelitian
Siskandar, ditemukan beberapa fakta yaitu: pertama, masih banyak daerah yang belum siap SDM untuk
melaksanakan lima tugas penyediaan naskah soal dan pengelolaan soal UN. Kedua,
Besarnya dana yang dibutuhkan untuk menyelenggarakan UN telah memberatkan beban
sekolah dan pemerintah daerah secara umum serta orangtua murid. Ketiga, sejumlah
daerah memiliki tingkat ketersediaan fasilitas pendukung yang relatif baik
meskipun ada beberapa daerah lain yang tidak sanggup menyediakan fasilitas
dalam jumlah memadai. Keempat, aspek sistem manajemen yang dilakukan di
daerah mayoritas sudah bagus, hanya ada beberapa daerah yang kurang bagus. Kelima,
banyak kecurangan terjadi dalam menyelenggarakan
UN di daerah karena lemahnya sistem keamanan hal ini disebabkan adanya gengsi
sekolah yang begitu tinggi, sehingga sekolah ingin meluluskan siswanya, dan
adanya tekanan kepada siswa agar lulus UN, serta ketidakmampuan petugas UN
dalam mengendalikan peserta UN. [5]
Oleh karena itu gagasan disentralisasi UN sulit direalisasikan karena faktor
kesiapan SDM, manajemen dan pendanaan tiap-tiap daerah yang berbeda.
Kemudian
pada tahun ajaran 2015/2016 muncul kebijakan tentang pelaksanaan UN berbasis
komputer (UNBK) yang bertujuan meningkatkan integritas UN dan menekan
kecurangan. Berdasarkan peraturan BSNP biaya pelaksanaan
UNBK menjadi tanggung jawab pemerintah pusat dan pemerintah daerah,
Sekolah/madrasah pelaksana UNBK menetapkan teknisi yang telah memenuhi kriteria
dan persyaratan, serta Menyediakan petugas laboratorium komputer (minimal 1
proktor dan 1 teknisi) serta Menyediakan sarana komputer dengan spesifikasi
(minimal) yang telah ditentukan BSNP.[6] Jika merujuk pada peraturan tersebut maka secara teknis
dibutuhkan alokasi dana yang sangat besar untuk menyediakan sarana prasarana
yang dibutuhkan. Sehingga UNBK tidak dapat diterapkan secara nasional dan hanya
di berlakukan bagi sekolah yang sudah mampu.
Terkait
Ujian Nasional, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhajir Effendi mengusulkan
tiga pilihan, yakni penghapusan UN dari sistem pendidikan, penghentian
sementara UN mulai 2017, atau tetap menjalankan UN dengan teknis pelaksanaan
diserahkan kepada daerah (UN untuk tingkat SMA sederajat diusulkan ditangani
oleh pemerintah provinsi, sedangkan tingkat SD dan SMP sederajat ditangani
pemerintah kabupaten/kota).[7] Kemudian
di akhir tahun 2016 muncul gagasan dari mendikbud Muhadjir effendi tentang
moratorium (peniadaan sementara) UN mulai tahun ajaran 2016/2017 untuk
menyetarakan kualitas pendidikan di Indonesia dan menjembatani kesenjangan
kualitas pendidikan diberbagai daerah dan menggantinya dengan USBN (Ujian
Sekolah Berstandar Nasional).
Dalam
rapat kerja bersama Komisi X DPR RI, di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta,
Kamis 1 Desember, Muhadjir Effendy mengemukakan delapan alasan untuk moratorium
UN pada 2017, yaitu:
1. Moratorium UN sesuai dengan visi Nawa Cita Joko Widodo, dalam program
prioritas nomor delapan untuk melakukan evaluasi model penyeragaman dalam
sistem pendidikan seperti UN.
2. Moratorium UN sesuai dengan putusan Mahkamah Agung nomor 2596/2009
yang inti putusannya pemerintah wajib membangun sarana dan prasarana pendidikan
secara merata dan menjamin kualitas guru.
3. Rencana wajib belajar 12 tahun. Upaya pemenuhan seluruh siswa dapat
melanjutkan dari jenjang SD ke SMP dan SMP ke SMA serta menghindari siswa putus
sekolah (drop out).
4. Hasil UN tak mampu meningkatkan mutu pendidikan dan kurang
mendorong kemampuan siswa secara utuh.
5. Cakupan UN terlalu luas sehingga sulit diselenggarakan dengan
kredibel dan bebas dari kecurangan.
6. UN sudah tak berimplikasi langsung pada siswa karena tak lagi
dikaitkan dengan kelulusan. UN melibatkan sumber daya manusia dan biaya yang
sangat besar.
7. UN cenderung membawa proses belajar pada orientasi belajar yang
salah, karena sifat UN hanya menguji ranah kognitif, beberapa mata pelajaran
tertentu. Sebagai proses evaluasi yang bersifat massal, sampai saat ini bentuk
instrumen UN adalah pilihan ganda. UN telah menjauhkan diri dari pembelajaran
yangmendorong siswa berpikir kritis, analitis, dan praktik-praktik penulisan
essai sebagai latihan mengekspresikan pikiran dan gagasan.
8. Jika digunakan sebagai alat pemetaan mutu, maka UN bukanlah alat
pemetaan yang tepat. Pemetaan mutu yang baik menuntut instrumen yang berbeda
dengan instrumen UN. Pemetaan mutu tidak perlu dilakukan setiap tahun dan tidak
perlu diberlakukan untuk seluruh siswa. UN pada hakikatnya harus terkait dengan
kelulusan dan meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi.[8]
Menanggapi
rencana moratorium tersebut, dalam rapat terbatas Senin, 19 Desember 2016 Presiden
Joko Widodo memaparkan hasil survei PISA yang menyatakan peringkat siswa
Indonesia menunjukkan peningkatan tujuh tingkat dalam tiga tahun sebagai efek
positif dari UN. Usulan moratorium UN juga terbilang tergesa-gesa karena di
bicarakan ketika tahun ajaran 2016/2017 sudah berlangsung beberapa bulan
sehingga dikhawatikan mengganggu stabilitas pendidikan nasional, oleh karena
itu moratorium UN di batalkan dan UN tetap diadakan. Untuk meningkatkan
kualitas dan meningkatkan integritas kejujuran UN telah disiapkan UNBK dan dalam
pembuatan soal agar diantara murid yang duduk berdekatan tidak terdapat
kesamaan soal, sedangkan untuk mengurangi beban psikologis siswa tentang
kelulusan UN, maka UN tidak lagi dijadikan penentu utama kelulusan siswa.[9] Senada dengan Jokowi, Wakil Presiden Jusuf Kalla juga
mengatakan tidak ada banyak perubahan terkait pelaksanaan Ujian Nasional. Ujian
Sekolah Berbasis Nasional (USBN) yang sebelumnya dipersiapkan untuk alternatif
UN, akan tetap ada dan berjalan berdampingan dengan UN.[10]
Kemudian
dalam rapat koordinasi persiapan UN dan USBN oleh Kemendikbud tanggal 22
Desember 2016 di tetapkan beberapa kebijakan, antara lain:
1. UN tetap dilaksanakan dengan Mapel sesuai jenjang
pendidikan, sebagai berikut: SMP (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, dan
IPA), SMA (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, dan satu Mapel sesuai
Jurusan), SMK (Matematika, Bhs. Indonesia, Bhs. Inggris, dan Kejuruan).
2. Ujian Sekolah (US) ditingkatkan mutunya menjadi USBN
dengan Mapel sesuai jenjang pendidikan, sebagai berikut: SMP (Pendidikan Agama,
PPKN, IPS), SMA (Pendidikan Agama, PPKN, Sejarah, dan tiga Mapel sesuai
jurusan), SMK (Pendidikan Agama, PPKN, dan Keterampilan komputer).
3. Memperluas pelaksanaan UN dan USBN berbasis komputer
(UNBK), dimana sudah terdapat 12.053 sekolah yang siap menggelar UNBK dengan
kapasitas 2.188.947 siswa. UNBK bisa di laksanakan apabila sekolah minimal
memiliki 20 buah komputer dan memiliki server serta dapat digunakan secara
bergantian dengan sekolah lainnya.[11]
Berdasarkan berbagai keterangan dan fakta diatas maka penulis dapat
mengemukakan beberapa pendapat sebagai berikut:
1. Hingga saat ini pelaksanaan UN memang penting dan perlu
dilestarikan keberadaanya, jadi tidak perlu adanya moratorium bahkan
penghapusan UN dari sistem pendidikan Nasional, karena UN mampu memberikan
motivasi bagi siswa, guru, sekolah, dan pihak terkait agar serius dalam
mengelola pendidikan dan semangat dalam kegiatan belajar mengajar. UN juga
dapat digunakan dalam pemetaan standarisasi pendidikan nasional dan bersaing
dengan Negara lain dalam kualitas peningkatan indeks pendidikan manusianya.
2. Dalam pelaksanaan UN perlu dilakukan berbagai evaluasi,
perbaikan dan peningkatan secara berkala, baik dari segi kebijakan, isi maupun
proses dengan berdasarkan bukti empiris berbagai kelemahan sepanjang
penyelenggaraan UN.
3. Hasil UN tidak sepenuhnya dijadikan penentu kelulusan, hendaknya
dipertahankan akan tetapi perlu juga diperkuat keberadaannya. Kelulusan
ditentukan oleh nilai gabungan (0,6 x nilai UN) + (0,4 x nilai sekolah). Hasil
UN tidak hanya dijadikan bahan evaluasi pencapaian standar kompetensi lulusan
dan dikaitkan dengan pemenuhan standar input dan proses oleh pemerintah, akan
tetapi hasil UN dijadikan tolak ukur dalam melanjutkan kejenjang selanjutnya
atau dalam mencari pekerjaan.
4.
Mengadakan UN dan USBN berbasis komputer yang memiliki keuntungan
sebagai berikut:
a. Meskipun diawal pengadaan UN dan USBN berbasis Komputer kelihatan berat
dan rumit karena membutuhkan tenaga ahli dalam menyiapkan/mengelola sistem dan
membutuhkan anggaran yang besar dalam pengadaan komputer dan perangkat
pendukung serta sarana prasarana lainnya. Akan tetapi dalam jangka panjang
kegiatan ini dapat menghemat biaya, tenaga, dan waktu jika dibandingkan dengan
pelaksaan UN dengan menggunakan kertas. Keberadaan perangkat komputer tersebut juga dapat
dijadikan sarana latihan ujian dan media pembelajaran siswa sehari-hari.
b. Dengan UN dan USBN berbasis Komputer dapat digunakan dalam peningkatan
mutu isi soal dengan menambahkan soal-soal berbasis animasi, audio, video,
gambar berwarna, dan sebagainya sehingga menjadikan siswa tertarik dan tidak
jenuh.
c. Untuk menjaga kejujuran dan kepercayaan siswa dalam mengerjakan
soal UN dan USBN berbasis Komputer dapat diprogram setiap komputer berbeda soal
dan dikasih waktu pengerjaan setiap soal secara proporsional. Ketika sudah
selesai mengerjakan soal maka siswa dapat langsung mengetahui nilainya.
5.
Mapel beserta kuantitas dan kualitas soal UN dan USBN perlu
dilakukan revisi, sebagai berikut:
a.
Untuk Mapel UN cukup tiga mapel saja yang diambil dari Mapel wajib
yang selalu ada disetiap jenjang pendidikan di Indonesia mulai dari TK sampai SLTA yaitu Bahasa
Indonesia, Matematika, dan Agama, ketiga mapel ini dapat diajarkan dalam
situasi dan sarana prasarana yang minim sehingga tidak memberatkan siswa di
daerah-daerah pelosok yang miskin, sedangkan untuk tingkat SLTA (SMA, MA, SMK,
STM) dapat ditambahi satu mapel pokok sesuai dengan jurusan masing-masing, adapun
penjelasannya sebagai berikut:
1)
Bahasa Indonesia, sebagai bahasa Nasional dengan kualitas soal yang
dibuat mencerminkan keterampilan tata bahasa, penalaran, dan kemampuan siswa dalam memahami, mencermati, dan mengasah kalimat dengan memberikan soal-soal yang bersifat wacana atau fakta-fakta aktual tentang pendidikan,
ekonomi, lingkungan, sosial, budaya, hukum, dan sebagainya dalam lingkup
nasional maupun global.
2)
Matematika, sebagai mapel yang mengasah ketelitian,
kecermatan, pola berfikir logis serta hafalan siswa. Soal yang diberikan
hendaknya diperbanyak di soal cerita berupa peristiwa yang sering terjadi dalam
kehidupan sehari-hari yang bersifat matematis.
3) Pendidikan agama dan Budi pekerti, meskipun
selama ini agama selalu mejadi mapel yang hanya diujikan dalam US/USBN tapi
menurut penulis seharusnya agama dan budi pekerti dijadikan mapel UN karena
sifatnya yang lebih penting dari pada bahasa Inggris. Kalau Bahasa Indonesia
dan Matematika lebih bersifat linguistik dan kognitif maka Agama bersifat
kerohanian (afeksi) dan sikap/tindakan (psikomotor) siswa, dimana agama dapat
menguatkan mental siswa, mengajarkan sikap/prilaku, moral, karakter, budi
pekerti, dan nilai-nilai yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari. Soal
yang diberikan berupa permasalahan kehidupan yang didesain mampu membawa siswa
masuk dalam permasalahan tersebut sehingga siswa dituntut mampu memahami,
merasakan, dan memberikan nilai-nilai dalam soal tersebut.
b. Untuk Mapel US/USBN berupa Bahasa Inggris,
IPA, IPS, PPKN, Sejarah, Komputer dan sebagainya yang mana mapel-mapel ini
membutuhkan sarana prasarana dan media pembelajaran yang sesuai untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Sehingga hanya sekolah-sekolah tertentu yang
lengkap sarana prasarana yang lebih baik dalam pembelajarannya yang
mengakibatkan kesenjangan tinggi antar sekolah yang maju dengan sekolah yang
tertinggal sarana prasarananya.
DAFTAR
PUSTAKA
Dhita Setiawan, “Delapan Alasan Moratorium UN Dilakukan”, http://www.pikiran-rakyat.com, 1 Desember 2016.
Doni Koesoema, “Keputusan Soal UN
Abaikan Fakta”, Suara Merdeka, Rabu, 21 Desember 2016.
Istman
M. P., “Wapres JK: UN dan USBN Akan Berjalan Berdampingan”, https://nasional.tempo.co, Selasa, 20 Desember 2016.
Jerome Wirawan, “Wacana Moratorium Ujian Nasional Menuai
Perdebatan”, www.bbc.com, 29 November 2016.
Keputusan Menteri Pendidikan
Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun Pelajaran 2003/2004.
Muntholi’ah, “Ujian Nasional,
Dulu, Kini dan yang Akan Datang: Tinjauan Normatif”, Nadwa Jurnal
Pendidikan Islam, Vol. 7, Nomor 1, April 2013.
Peraturan Badan Standar Nasional
Pendidikan Nomor: 0034/P/Bsnp/Xii/2015
Tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016.
Tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016.
Siskandar, “Kesiapan Daerah Dalam
Melaksanakan Ujian Nasional”, Jurnal Ekonomi & Pendidikan, Volume 5 Nomor
1, April 2008.
Tajuk rencana, “Ujian Nasional Jalan terus”, Suara
Merdeka, Rabu, 21 Desember 2016.
Tri Pujiati, “Menyambut sekolah
tanpa UN”, Wacana, Suara Merdeka, Jumat 2 Desember 2016.
[1] Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir Nasional Tahun
Pelajaran 2003/2004.
[2] Tri Pujiati, “Menyambut
sekolah tanpa UN”, Wacana, Suara Merdeka, Jumat 2 Desember 2016, hlm. 4.
[3] Doni
Koesoema, “Keputusan Soal UN Abaikan Fakta”, Suara Merdeka, Rabu, 21
Desember 2016, hlm. 1.
[4] Muntholi’ah, “Ujian
Nasional, Dulu, Kini dan yang Akan Datang: Tinjauan Normatif”, Nadwa |
Jurnal Pendidikan Islam, Vol. 7, Nomor 1, April 2013, hlm. 161-180.
[5] Siskandar, “Kesiapan
Daerah Dalam Melaksanakan Ujian Nasional”, Jurnal Ekonomi & Pendidikan,
Volume 5 Nomor 1, April 2008, hlm. 95-106.
[6] Peraturan
Badan Standar Nasional Pendidikan Nomor :
0034/P/Bsnp/Xii/2015Tentang Prosedur Operasional Standar Penyelenggaraan Ujian
Nasional Tahun Pelajaran 2015/2016.
[7] Jerome Wirawan, “Wacana Moratorium Ujian Nasional Menuai
Perdebatan”, www.bbc.com, 29 November 2016, diakses 29 Desember 2016.
[8] Dhita setiawan, “Delapan Alasan Moratorium UN Dilakukan”,
http://www.pikiran-rakyat.com, 1 Desember 2016 pukul 18:51, diakses 30 Desember 2016.
[9] Tajuk
rencana, “Ujian Nasional Jalan terus”, Suara Merdeka, Rabu, 21 Desember
2016, hlm. 4.
[10] Istman M. P., “Wapres JK: UN dan USBN Akan Berjalan
Berdampingan”, https://nasional.tempo.co, Selasa, 20 Desember 2016 pukul 15:48 WIB, diakses 30
Desember 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda