USAHA
MENGAJARKAN PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
PENDAHULUAN
Program
pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk membimbing prilaku seseorang
melalui ketentuan standar yang telah ditetapkan, pendidikan karakter juga
menyediakan berbagai cara untuk memberikan pandangan-pandangan individu tentang
kehormatan dan nilai-nilai yang mewakili sekolah. Pendidikan karakter
menfokuskan diri pada akhir perubahan prilaku, tetapi praktek pendidikan
karakter melalui
penguatan perkembangan skill sosial siswa.
Pendidikan
karakter memakai mata pelajaran sekolah dan aktifitas pembelajaran untuk
mengajarkan nilai-nilai karakter di sekolah. Pemikiran positif memberi pengaruh
kuat pada interaksi sosial bagaimana murid
dapat mengenali prilaku mereka berdampak pada orang lain dan bagaimana
perbuatan mereka dapat menjadi baik maupun buruk. Pendidikan karakter dapat
memberi semangat baru dalam kehidupan di sekolah. Inspirasi-inspirasi guru
memberikan pemikiran baru yang berdampak pada siswa mereka. Pendidikan karakter
dapat menanamkan nilai-nilai positif di sekolah yang dapat diterima oleh setiap
orang. Lingkungan siswa membutuhkan support wawasan baru dari
komunitas sekolah dan orang tua agar terlibat didalamnya. Dengan demikian
murid-murid akan memiliki rasa hormat terhadap diri mereka sendiri dan teman
mereka.
Pendidikan
karakter dapat menjadi kunci untuk menjawab kebutuhan komunitas, meskipun
pendidikan karakter tidak menyediakan jawaban tunggal. Pendidikan karakter
sebagai tempat untuk mengawali, karena pendidikan karakter bermaksud agar
sekolah dapat memikirkan kembali sikap dan perbuatan dalam bentuk dasar
institusi mereka. Kunci sukses pendidikan karakter bersandar
pada usaha mengajarkan, jadi dalam hal ini sangat penting untuk merancang
berbagai kegiatan. Dalam artikel ini menawarkan berbagai usaha untuk
mengajarkan pendidikan karakter di sekolah sebagai berikut.[1]
A. USAHA MENGAJARKAN PENDIDIKAN
KARAKTER DI SEKOLAH
1. Tugas
Pendidikan karakter bisa diawali
oleh satu orang, kemudian dari seorang tersebut dapat membangun komunitas. Pendidikan karakter diawali
dengan meletakkan seperangkat karakter atau nilai-nilai inti yang sesuai dengan
prinsip-prinsip sekolah. Karakter-karakter ini dapat menjadi sifat dasar dalam
mengarahkan orientasi siswa kepada hal-hal positif seperti (rasa hormat,
tanggung jawab, jujur, tangguh). Pertama yang dilakukan adalah memasukkan
nilai-nilai karakter tersebut kedalam kurikulum. Idealnya, sifat-sifat tersebut
menjadi bagian dari kegiatan sehari-hari lembaga. Seperti contoh, didalam
pembelajaran perlu menampilkan nilai-nilai moral kepahlawanan dalam situasi
kehidupan nyata, kemudian siswa didorong untuk mengenali sifat-sifat tersebut
dalam kehidupan mereka sendiri.[2]
2. Belajar untuk memimpin
2. Belajar untuk memimpin
Usaha ini sebagai langkah
kepemimpinan seseorang untuk memotivasi orang lain dalam bekerja menuju tujuan
bersama, dengan visi jelas sebagai “pemenang”. Dengan pendidikan karakter inilah
mampu mewujudkan visi tersebut. Orang akan mampu mempengaruhi orang lain untuk
melakukan suatu pekerjaan karena mereka mampu menawarkan visi yang jelas untuk
kelompok mereka.
Dalam hal ini gaya kepemimpinan
merupakan norma perilaku yang digunakan oleh seseorang pada saat orang tersebut
mencoba mempengaruhi perilaku orang lain agar mau bekerjasama dan bekerja
secara produktif untuk mencapai tujuan bersama. Oleh
karena itu, usaha
menyelaraskan persepsi diantara orang yang akan mempengaruhi perilaku
dengan orang yang perilakunya akan dipengaruhi menjadi amat
penting kedudukannya.[3]
Berikut dua tipe kepemimpinan yang
layak dipertimbangkan:
a.
Kepemimpinan transformatif
Gaya kepemimpinan transformatif sifatnya lebih mengedepankan rasa sosial, perhatian, dan saling
memberikan penghormatan atau penghargaan antara pimpinan dan bawahan. Penghargaan atau
penghormatan terhadap setiap individu oleh pimpinan kepada bawahan dapat mendorong
bawahan untuk bekerja secara lebih baik. Pola interaksi inilah yang
kemudian akan menentukan derajat keberhasilan pemimpin.
Kepemimpinan transformasional didasarkan pada kemampuan pemimpin untuk membawa
perubahan yang signifikan.[4]
Kepemimpinan transformatif dapat juga didefinisikan sebagai kepemimpinan dimana
para pemimpin menggunakan kharisma mereka untuk melakukan transformasi dan
merevitalisasi organisasinya. Para pemimpin yang
transformatif lebih mementingkan revitalisasi para pengikut dan organisasinya
secara menyeluruh ketimbang memberikan instruksi-intruksi yang bersifat top
down. Pemimpin yang transformatif lebih memposisikan diri mereka sebagai
mentor yang bersedia menampung aspirasi para bawahannya. Secara lebih detil,
para pemimpin yang trasformatif memiliki ciri-ciri berikut:
1) Memiliki
kharisma
2) Membantu
dan mendorong para pengikutnya untuk mengenali ragam persoalan dan cara-cara
untuk memecahkannya.
3) Memberikan
dorongan, perhatian, dukungan kepada pengikutnya untuk melakukan hal yang
terbaik bagi dirinya sendiri dan komunitasnya.
4) Memberikan
motivasi yang memberikan inspirasi bagi pengikutnya dengan cara melakukan
komunikasi secara efektif dengan menggunakan simbol-simbol, tidak hanya
menggunakan bahasa verbal.
5) Berupaya
meningkatkan kapasitas para pengikutnya agar bisa mandiri, tidak selamanya
tergantung pada sang pemimpin.
6) Lebih
banyak memberikan contoh ketimbang banyak berbicara. Artinya, Ada sisi
keteladanan yang dihadirkan kepada para pengikutnya dengan lebih banyak
bekerja.[5]
b.
Kepemimpinan transaksional
Kepemimpinan transaksional didefinisikan sebagai gaya
kepemimpinan yang melibatkan nilai-nilai, tetapi nilai tersebut relevan dengan
proses pertukaran seperti kejujuran, keadilan, tanggung jawab dan timbal balik.
kepemimpinan transaksional sebagai kemampuan mengidentifikasi
keinginan bawahan dan membantunya mencapai tingkat prestasi yang lebih tinggi
dengan memberikan imbalan yang memuaskan. Proses
tersebut disertai pula dengan kejelasan tentang penyelesaian pekerjaan dan
besarnya imbalan yang akan diterima.[6]
3.
Mengenali
lingkungan
Lingkungan
merupakan salah satu faktor yang ikut membentuk kepribadian seseorang. Teori
Konvergensi menyatakan bahwa kepribadian seseorang terbentuk dari hasil
perpaduan antara dasar dan ajar, atau antara pembawaan dengan lingkungan.
Lingkungan mempengaruhi kehidupan manusia, baik secara individu maupun dalam
kehidupan organisasi. Dalam kehidupan organisasi dan manajemen, dikenal
lingkungan strategis yang meliputi lingkungan sosial, ekonomi, budaya, politik
dan hukum. Mengenali lingkungan, merupakan hal yang sangat penting bagi
kehidupan manusia, lebih-lebih bagi seorang pemimpin. Dengan mengenali lingkungannya, manusia dapat
lebih berkualitas dan bermakna dimuka bumi, antara lain:
a.
Meningkat
kesadarannya bahwa dirinya merupakan bagian dari ekosistem
b. Terdapat
hubungan timbal balik antara kehidupan makhluk hidup lainnya maupun dengan
lingkungannya
c. Berkembang
akal budi dan perasaannya sehingga menjadi orang yang cerdas, cepat tanggap,
rendah hati.
d.
Meningkat
kemampuannya, bukan saja untuk menghadapi berbagai tantangan lingkungan, tetapi
menjadi manusia seutuhnya, manusia yang berkualitas yang keberadaannya
diharapkan/dibutuhkan untuk keselamatan bersama.[7]
4.
Melakukan
bersama
Usaha ini penting untuk membantu guru, orang tua,
dan staf menilai kesiapan mereka dalam menanamkan pendidikan karakter,
dan untuk menyempurnakan keterampilan mereka dalam mengintegrasikan
pendidikan karakter dalam setiap pelajaran. Yang lebih penting, siswa harus
terlibat dalam pertemuan itu bersama-sama. Ini adalah kegiatan transformasi bagaimana
menunjukkan pendidikan karakter dengan model pelajaran pembangunan karakter.
Menanamkan
pendidikan karakter pada siswa diperlukan kerjasama antara individu maupun
dengan komunitas seperti kerjasama antara kepala sekolah, guru, staff, dan
orang tua siswa. Pendidikan karakter dipandang sebagai proses panjang dalam
membantu seseorang menemukan karakter yang baik dalam hal pemahaman,
kepedulian, maupun tindakan.[8]
5.
Memformulasikan strategi
Pendidikan
karakter untuk siswa bisa diintegrasikan dalam mapel, sebagai mapel tersendiri, dan lewat ekstra kulikuler. Dengan kegiatan
kurikuler,
pendidikan karakter dapat dimulai dengan antusias besar seperti ekstrakulikuler
pramuka, PMR, Pecinta alam, dan sebagainya. Jika siswa menjadi orang yang
berkarakter, mereka butuh panutan yang secara konsisten menunjukkan prilaku nyata
pada mereka. Pada waktu bersamaan, sekolah
harus bekerja dalam kelompok perencanaan alami mereka untuk mengkoordinasikan
kegiatan pendidikan karakter mereka. Sebagian besar sekolah memperkenalkan
nilai baru pada saat yang sama untuk seluruh sekolah (nilai baru setiap hari,
minggu, atau bulan, tergantung pada jumlah nilai-nilai inti).
Strategi pelaksanaan penanaman karakter dapat dilakukan dengan cara
mengintegrasikan karakter yang sudah ditentukan kedalam pembelajaran. Adapun
pengintegrasian karakter kedalam pembelajaran dapat dilakukan dengan cara,
sebagai berikut:
a. Menentukan karakter dengan cara mengkaji
Standar Komptensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) pada Standar Isi (SI) yang
didalamnya terkandung karakter yang ditananamkan.
b. Mengembangkan karakter yang terkandung dalam
SK dan KD kedalam indikator.
Adapun setiap mata palajaran mempunyai
nilai-nilai tersendiri yang akan ditanamkan dalam diri anak didik. Hal ini
disebabkan oleh adanya keutamaan fokus dari tiap mapel yang tentunya mempunyai
karakteristik yang berbeda-beda. Berikut beberapa
distribusi penanaman nilai-nilai
utama dalam tiap mata pelajaran:
a. Pendidikan Agama: Nilai utama yang
ditanamkan antara lain: religius, jujur, santun, disiplin, tanggung jawab,
cinta ilmu, ingin tahu, percaya diri, menghargai keberagaman, patuh pada
aturan, sosial, bergaya hidup sehat, sadar akan hak dan kewajiban, kerja keras,
dan adil.
b. Pendidikan Kewargaan Negara: Nasionalis,
patuh pada aturan sosial, demokratis, jujur, mengahargai keragaman, sadar akan
hak dan kewajiban diri dan orang lain.
c. Bahasa Indonesia: Berfikir logis, kritis,
kreatif dan inovatif, percaya diri, bertanggung jawab, ingin tahu, santun,
nasionalis.
d. Ilmu Pengetahuan Sosial: Nasionalis,
menghargai keberagaman, berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, peduli
sosial dan lingkungan, berjiwa wirausaha, jujur, kerja keras.
e. Ilmu Pengetahuan Alam: Ingin tahu, berpikir
logis, kritis, kreatif, dan inovatif, jujur, bergaya hidup sehat, percaya diri,
menghargai keberagaman, disiplin, mandiri, bertanggung jawab, peduli
lingkungan, cinta ilmu
f. Bahasa Inggris: Menghargai keberagaman,
santun, percaya diri, mandiri, bekerja sama, patuh pada aturan sosial
g. Seni Budaya: Menghargai keberagaman,
nasionalis, dan menghargai karya orang lain, ingin, jujur, disiplin, demokratis
h. Penjasorkes: Bergaya hidup sehat, kerja keras,
disiplin, jujur, percaya diri, mandiri, mengahrgai karya dan prestasi orang
lain
i. TIK/Ketrampilan: Berpikir logis, kritis,
kreatif, dan inovatif, mandiri, bertanggung jawab, dan menghargai karya orang
lain.
j. Muatan Lokal: Menghargai kebersamaan, menghargai
karya orang lain, nasional, peduli.[10]
Strategi
selanjutnya yang bisa dipakai dalam usaha pendidikan karakter ialah dengan
metodologi / pendekatan. Pendekatan
pendidikan karakter dengan cara memberikan pelajaran khusus, seperti ketika
masa Orde Baru melalui pelajaran wajib Pendidikan Moral Pancasila,
dikhawatirkan akan menjerumuskan pendidikan karakter pada indoktrinasi yang
mematikan nalar dan daya kritis siswa. Pendekatan pendidikan karakter bisa
dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti melalui mata pelajaran khusus,
integrasi pendidikan dalam setiap mata pelajaran, atau pendekatan integral yang
mempergunakan ruang-ruang pendidikan yang tersedia dalam keseluruhan dinamika
pendidikan di sekolah. Apapapun metodologi yang dipilih, setiap pendekatan pengembangan pendidikan karakter akan
memiliki konsekuensi berkaitan dengan kesiapan tenaga guru, prioritas nilai,
kesamaan visi antara anggota komunitas sekolah tentang pendidikan karakter,
struktur dan sistem pembelajaran, kebijakan sekolah, dan sebagainya.[11]
6.
Melibatkan
pihak lain (diluar sekolah)
Kegiatan yang tidak baik jika hanya melibatkan
satu orang untuk menginspirasi dan mengembangkan program pendidikan karakter. Kita membutuhkan bantuan orang lain
untuk mengembangkan pendidikan karakter. Kita memerlukan
peran orang tua, guru dan administrasi dalam proses pendidikan karakter. Kita juga
memerlukan konsultan, dimana konsultan diperlukan untuk membantu sekolah
menyesuaikan program mereka sendiri, atau paket kurikuler dapat dibeli yang
memiliki nilai inti dan rencana pelajaran siap untuk digunakan di dalam kelas.
Keluarga / rumahtangga / orang tua memiliki peran penting dalam pendidikan karakter,
keluarga sebagai lingkungan pembentukan watak dan pendidikan karakter pertama
dan utama mestilah diberdayakan. Keluarga hendaklah kembali menjadi “school
of love”, sekolah untuk kasih sayang. Dalam perspektif Islam, keluarga
sebagai “school of love” dapat disebut sebagai “madrasah mawaddah wa
rahmah”, tempat belajar yang penuh cinta sejati dan kasih sayang. Islam
memberikan perhatian yang sangat besar kepada pembinaan keluarga (usrah).
Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa) oleh karena itu keadaan
keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri.
Kemudian lingkungan masyarakat luas juga berpengaruh besar terhadap keberhasilan
penanaman nilai-nilai estetika dan etika untuk pembentukan karakter. Dari
perspektif Islam, situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya,
mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem
nilai dan pandangan mereka terbatas pada “kini dan di sini”, maka upaya dan
ambisinya terbatas pada kini dan di sini pula. Dalam konteks itu,
al-Qur’an dalam banyak ayatnya menekankan tentang kebersamaan anggota
masyarakat menyangkut pengalaman sejarah yang sama, tujuan bersama, gerak
langkah yang sama, solidaritas yang sama. Di sinilah, muncul gagasan dan ajaran
tentang amar ma`ruf dan nahy munkar; dan tanggung jawab bersama
dalam menegakkan nilai-nilai yang baik dan mencegah nilai-nilai yang buruk.[12]
7.
Memberdayakan siswa untuk
memimpin diri
Akhirnya,
sebuah kata harus diucapkan untuk suara yang sangat penting untuk arah seorang
siswa sekolah. kepemimpinan bagi pendidikan
karakter sering diharapkan datang dari guru, orang tua, dan administrator, tetapi
siswa yang penting untuk proses. tidak memerintah mereka keluar
atau meninggalkan mereka keluar! pendidikan karakter dimaksudkan untuk
menawarkan pahlawan moral kepada siswa, misalnya orang yang bertindak sesuai
dengan prinsip-prinsip, dan yang menampilkan komitmen untuk komunitas.
Pemerintah siswa adalah tanah subur misalnya keadilan dan keadilan, dan tim
atletik mampu berbicara tentang rasa hormat dan kerja sama tim.
Salah satu usaha dalam
memberdayakan siswa untuk belajar memimpin ialah dengan pelatihan LDK (latihan
dasar kepemimpinan). LDK merupakan wujud pembinaan bagi kalangan siswa untuk
menjadikannya sebagai pemimpin yang baik didalam suatu organisasi, mengajarkan
bagaimana cara berorganisasi yang baik, memupuk kemandirian dan kedisiplinan
siswa, menanamkan kesadaran saling menjaga sebagai calon pemimpin dan anggota
masyarakat, serta memberikan tuntunan dalam meningkatkan pola pikir, sikap dan
prilaku yang baik. LDK juga sebagai sarana melatih karakter
dan membangun kepercayaan diri siswa untuk bisa memimpin.[13]
B.
USAHA-USAHA
LAIN DALAM MENGAJARKAN PENDIDIKAN KARAKTER
1.
Usaha
mengajarkan pendidikan karakter di Jepang
Masalah karakter adalah masalah
mendasar. Karakter terbentuk dalam kurun waktu yang lama dan proses yang panjang. Ada beberapa
faktor yang menyebabkan Jepang menjadi bangsa yang berkarakter unggul, salah
satunya adalah mereka sangat memperhatikan pendidikan karakter. Melalui pendidikan moral atau pendidikan
karakter ini tercipta karakter bangsa Jepang yang terkenal sebagai bangsa yang
ulet, pekerja keras, gigih, jujur, memiliki rasa toleransi, dan rasa
kesetiakawanan yang tinggi. Pendidikan karakter di Jepang telah diintegrasikan ke dalam kurikulum pendidikan dan telah
menjadi bagian tak terpisahkan dalam mata pelajaran lainnya. Pendidikan
karkater sangat diutamakan baik di lembaga formal maupun non formal. Dari sejak
TK sampai perguruan tinggi mereka memperoleh pendidikan karakater yang kemudian
mereka terapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Pendidikan Jepang terdiri atas sistem
6-3-3-4 dimana siswa wajib mengemban 6 tahun SD (Shougakkou), 3 tahun
SMP (Chuugakkou), 3 tahun SMA (Koutougakkou), 4 tahun atau lebih
untuk jenjang Perguruan Tinggi (Daigaku). Kurikulum pendidikan di Jepang
terdiri atas tiga kategori: (1) mata pelajaran akademik (wajib dan pilihan),
(2) pendidikan moral / karakter, dan (3) kegiatan
khusus. Pendidikan karakter diberikan sebanyak
34 jam belajar pada tingkat awal, 35 jam pada tingkat kedua hingga 9 (kelas 2
SD hingga 3 SMP). Hal ini mewakili 3,3-4,0% dari total jam belajar setiap
tahunnya dari tiap tingkat. Dengan kata lain, terdapat satu jam pelajaran (45
menit untuk SD dan 30 menit untuk SMP) pendidikan karakter yang
diberikan setiap minggunya. Berikut beberapa usaha pendidikan karakter di
sekolah maupun di luar sekolah di Jepang.
a.
Usaha pendidikan
karakter di lembaga formal (sekolah)
1)
Pendidikan
moral di SD dan SMP diajarkan terintregasikan dalam semua mata pelajaran.
2) Pendidikan
karakter lebih mengutamakan realisasi / praktek dari pengajaran moral tersebut
dalam kehidupan sehari-hari, melalui metode learning by doing.
3) Pendidikan
karakter diajarkan dalam pelajaran seikatsu atau life skill atau pendidikan
kehidupan sehari-hari.
4)
Pendidikan
karakter mengajarkan tentang team work dan kepemimpinan.
5) Pendidikan
karakter diajarkan melalui program tokkatsu yaitu, setiap pelajar
terlibat aktif dalam kegiatan yang dirancang bersama-sama dimana semua anggota
kelompok memiliki tugas masing-masing.
b.
Usaha
pendidikan karakter di luar sekolah
Di lembaga non formal,
pendidikan karakter diajarkan di keluarga, masyarakat serta perusahaan.
1) Dalam
keluarga yang memegang peranan penting dalam mengajarkan karakter adalah ibu. Pendidikan
ibu (Kyoiku mama) merupakan salah satu program yang cukup berhasil dalam
mendidik karakter seorang anak dalam keluarga, dimana dalam program tersebut
seorang ibu di Jepang diberi tanggung jawab yang sangat besar untuk mendidik
anaknya menjadi seorang yang berhasil dalam masyarakat yang mempunyai karakter
unggul yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara.
2) Dalam masyarakat,
pendidikan karakter lebih mengacu kepada penanaman kedisiplinan agar masyarakat
patuh hukum, tidak melanggar norma dan aturan yang berlaku dalam masyarakat.
Untuk itu pemerintah banyak memasang poster atau gambar yang mendorong
masyarakat agar mempunyai karakter baik, disiplin, mempunyai budaya malu dan
bertanggung jawab. Para pejabat di Jepang memberi contoh dan ketauladanan dalam
hal mendidik masyarakatnya agar mempunyai karakter yang baik. Bila ada pejabat
yang melanggar aturan negara serta merugikan masyarakat umum mereka tidak segan
untuk segera mengundurkan diri tanpa menunggu pemecatan.
3) Di
perusahaan-perusahaan, pendidikan karakter juga diterapkan sehingga perusahaan-perusahaan
Jepang mempunyai pekerja yang rajin, disiplin, bertanggung jawab, mempunyai
loyalitas yang sangat tinggi. Pendidikan karakter di perusahaan Jepang
dilakukan secara langsung pada saat training maupun secara tidak langsung
pada saat bekerja setiap hari dengan mengacu kepada prinsip 5S (seiri
“ringkas”, seiton “rapih”, seisou “resik”, seiketsu
“rawat”, dan shitsuke “rajin”) yang menjadi ciri khas dari perusahaan
Jepang.[14]
2.
Usaha
mengajarkan pendidikan karakter di Indonesia melalui kearifan lokal
Kearifan lokal (local wisdom)
sebagai warisan masa lalu yang berasal dari leluhur adalah pandangan hidup dan
ilmu pengetahuan serta berbagai strategi kehidupan yang berwujud aktivitas yang
dilakukan oleh masyarakat lokal dalam menjawab berbagai masalah dalam pemenuhan
kebutuhan mereka. Kekayaan kearifan lokal di Indonesia sebenarnya berperan
dalam membentuk pendidikan karakter. Kearifan
lokal hanya akan abadi kalau kearifan lokal terimplementasikan dalam
kehidupan konkret sehari-hari baik di lingkungan sekolah maupun masyarakat
sehingga mampu merespons dan menjawab arus zaman yang telah berubah. Akhir-akhir
ini tampaknya karakter masyarakat Indonesia yang santun dalam berperilaku,
musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, toleransi dan gotong royong,
telah berubah wujud menjadi hegemoni kelompok-kelompok baru yang saling
mengalahkan. Kearifan
budaya lokal Indonesia dari Sabang sampai Merauke memiliki ciri khas yang
berbeda di masing-masing daerah namun memiliki peran dalam pendidikan karakter bangsa.
Berikut beberapa contoh kearifan lokal yang berkembang dan mampu dijadikan
landasan pendidikan karakter di sekolah-sekolah di Indonesia:
a.
Aceh: Udep
tsare mate syahid (hidup bahagia, meninggal diterima Allah Swt).
b.
Melayu
(Deli, Kalimantan Barat, Sibolga, Sumatra Barat): Lain lubuk lain ikannya, di
mana bumi diinjak di situ langit dijunjung.
c. Batak: Hasangapon,
hagabeon, hamoraon, sarimatua (kewibawaan, kekayaan, keturunan yang
menyebar, kesempurnaan hidup).
d. Wamena: Weak
Hano Lapukogo (susah senang sama-sama), Ninetaiken O’Pakeat (satu
hati satu rasa).
e.
Bugis: Sipakatau
(saling mengingatkan), Sipakalebbi (saling menghormati).
f. Minahasa: Torang
Samua Basudara (kita semua bersaudara), Mapalus (gotong royong), Tulude
Maengket (kerja bakti untuk rukun), Baku-baku bae, baku-baku sayang,
baku-baku tongka, baku-baku kase inga (saling berbaik-baik, sayang
menyayangi, tuntun-menuntun, dan ingat mengingatkan).
g. Bali: Manyama
braya (semua bersaudara), Tat Twam Asi (senasib sepenanggungan), Tri
Hita Karana (tiga penyebab kebahagiaan), yakni Pariangan (harmoni
dengan Tuhan), Pawongan (harmoni dengan sesama manusia), dan Palemahan
(harmoni dengan lingkungan alam).
h.
Jawa
Timur: Siro yo ingsun, ingsun yo siro(kesederajatan atau
egalitarianism), Antar-antaran ugo (persaudaraan).
i. Dayak
Bekati: Janji baba’s ando (janji harus ditepati), Janji pua’
take japu (jangan janji sekedar
kata-kata).
j. Sasak
(Lombok): Bareng anyong jari sekujung (bersama-sama lebur dalam satu), Embe
aning jarum ito aning benang (ke mana arah jarum ke situ arah benang).
k. DIY/Yogyakarta:
Alon-alon asal kelakon (biar pelan asal selamat, kehati-hatian), Sambatan
(saling membantu).
l. Sampang
(Madura): Lakona-lakone, kennengga kennengge (kerjakan dengan baik apa
yang menjadi pekerjaanmu dan tempati dengan baik pula apa yang telah ditetapkan
sebagai tempatmu), Ango’an poteo tolang, e tebang potea mata (lebih
baik putih tulang dari pada putih mata).[15]
ANALISA
JURNAL
Dari ketiga jurnal diatas yang
memuat usaha dalam mengajarkan pendidikan karakter, masing-masing memiliki
kelebihan dan kekurangan, sebagai berikut:
1.
Kelebihan
dan kekurangan
Pada jurnal pertama (Patricia J. Harned), pembahasan usaha
dalam mengajarkan pendidikan karakter di sekolah lebih subtansial, teoritis dan
runtut sesuai alur tahapan pertama hingga tahapan berikutnya, namun masih minim
dalam pemberian contoh sehingga pembaca merasa kesulitan dalam memahami dan mengaplikasikannya.
Pada jurnal yang kedua (Budi
Mulyadi), mengenai contoh dari usaha penerapan pendidikan karakter di sekolah
formal maupun non formal di Jepang mampu memberikan gambaran yang konkrit, dan
realistis sehingga mudah dipahami oleh pembaca dan membawa pembaca serasa masuk
dalam alur pikiran penulis jurnal. Namun penulis belum mampu memberikan
gambaran bagaimana teknik / strategi mengaplikasikan pendidikan karakter di
Indonesia.
Sedangkan dalam jurnal yang
ketiga (Ulfah Fajarini), penulis jurnal banyak
memberikan contoh-contoh kearifan lokal masing-masing daerah di Indonesia yang
mampu dijadikan pijakan dalam usaha mengajarkan pendidikan karakter di
Indonesia, namun penulis belum mampu memberikan gambaran konkrit bagaimana
langkah-langkah / cara dalam mengajarkan kearifan lokal tersebut dalam dunia
pendidikan.
2.
Kesamaan
dan perbedaan
Kesamaan dari ketiga jurnal
tersebut, sama-sama memberikan contoh usaha dalam mengimplementasikan
pendidikan karakter kepada siswa dilembaga pendidikan baik yang formal maupun
non formal. Sedangkan perbedaan dari ketiga jurnal terletak pada strategi /
teknik pendekatan yang di pilih dalam mengimplementasikan pendidikan karakter
kepada siswa.
KESIMPULAN
Pendidikan karakter di beberapa
negara sudah mendapatkan prioritas sejak pendidikan dasar dimulai. Namun di
Indonesia, pendidikan karakter masih dipandang sebagai wacana dan belum menjadi
bagian yang terintegrasi dalam pendidikan formal. Pendidikan karakter
mengajarkan kebiasaan cara berpikir dan perilaku yang membantu individu untuk
hidup dan bekerja bersama sebagai keluarga, masyarakat, dan bernegara serta
membantu mereka untuk membuat keputusan yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pendidikan karakter penting bagi pertumbuhan individu menjadi manusia yang
seutuhnya dan sebaiknya dilakukan sejak dini.
Dengan melihat pembahasan ketiga
jurnal diatas dapat kita tarik kesimpulan sebuah usaha yang dapat dijadikan acuan
dalam pembelajaran pendidikan karakter yang sesuai dengan tipologi masyarakat
Indonesia ialah dengan mengakomodir berbagai kearifan daerah untuk di
dimasukkan dalam rancangan usaha pendidikan karakter di masing-masing daerah
tersebut dengan melalui tahapan-tahapan sesuai jurnal pertama kemudian
disempurnakan dengan contoh usaha pendidikan karakter di Jepang.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Anam, Much Arif Saiful,
“Pendidikan Karakter: Upaya Membentuk Generasi Berkesadaran Moral, Jurnal
Pendidikan Agama Islam”, Volume. 02 Nomor. 02 November 2014.
Andrian, Ilda, “Gaya
Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Sekolah Unggul”, Jurnal Administrasi
Pendidikan Volume 2 Nomor 1, Juni 2014.
Fajarini, Ulfah, “Peranan
Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter”, Sosio Didaktika: Vol. 1, No.
2 Des 2014.
Fazri, Danar Aulia Tama,
“Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional dan Gaya Kepemimpinan
Transaksional Dengan Disiplin Kerja”, ejournal Psikologi, Volume 2,
Nomor 2, 2014.
Harned, Patricia J., Leading the Effort To Teach Character
in Schools, NASSP Bulletin, October 1999.
Italiani, Fanni Adhistya,
“Pengaruh Gaya Kepemimpinan Transformasional Dan Transaksional Terhadap Kinerja
Pegawai”, Jurnal Ilmu Manajemen, Volume 1 Nomor 2 Maret 2013.
Kurniawan, Machful Indra, “Mendidik Untuk
Membentuk Karakter Siswa Sekolah Dasar: Studi Analisis Tugas Guru Dalam
Mendidik Siswa Berkarakter Pribadi yang Baik”, Journal Pedagogia, Volume.
4, No. 2, Agustus 2015.
Mulyadi, Budi, “Model
Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat Jepang”, Jurnal Izumi, Volume 3, No
1, 2014.
[1] Patricia J. Harned, Leading the Effort To Teach Character in
Schools, NASSP Bulletin, October 1999, hlm. 25-26
[2] Loc. Cit., hlm. 26.
[3] Ilda Andrian, Gaya Kepemimpinan Kepala Sekolah Pada Sekolah Unggul,
Jurnal Administrasi Pendidikan Volume 2 Nomor 1, Juni 2014, hlm. 322.
[4] Danar Aulia Tama Fazri, Hubungan Gaya Kepemimpinan Transformasional
dan Gaya Kepemimpinan Transaksional Dengan Disiplin Kerja, ejournal
Psikologi, Volume 2, Nomor 2, 2014, hlm. 153.
[5]http://www.kompasiana.com/audiendro/kepemimpinantransformatif_55006e4fa33311926f5110e3, diakses 26 September 2016.
[6] Fanni Adhistya Italiani, Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Transformasional Dan Transaksional Terhadap Kinerja Pegawai, Jurnal Ilmu
Manajemen, Volume 1 Nomor 2 Maret 2013, hlm. 455.
[8] Much Arif Saiful Anam, Pendidikan Karakter: Upaya Membentuk
Generasi Berkesadaran Moral, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume. 02
Nomor. 02 November 2014, hlm. 401.
[9] Machful Indra Kurniawan, “Mendidik Untuk Membentuk Karakter
Siswa Sekolah Dasar: Studi Analisis Tugas Guru Dalam Mendidik Siswa Berkarakter
Pribadi yang Baik”, Journal Pedagogia, Volume. 4, No. 2, Agustus 2015,
hlm. 124.
[10] http://balitbangdiklat.kemenag.go.id, “Kurikulum Pendidikan Yang
Berkarakter”, diakses 4 Desember 2016.
[11] http://www.pendidikankarakter.org, Doni Koesoema A, “Kucing Hitam Pendidikan Karakter”,
diakses 4 Desember 2016
[12] http://www.erlangga.co.id, ” Pendidikan Karakter: Peran Sekolah
dan Keluarga”, diakses 4 Desember 2016.
[14] Budi Mulyadi, Model Pendidikan Karakter Dalam Masyarakat Jepang, Jurnal
Izumi, Volume 3, No 1, 2014, hlm. 69-79.
[15] Ulfah Fajarini, Peranan Kearifan Lokal Dalam Pendidikan Karakter, Sosio
Didaktika: Vol. 1, No. 2 Des 2014, hlm. 123-130.