Selasa, 20 September 2016

POLA PENDIDIKAN ISLAM PADA PERIODE AL-KHULAFA AL-RASYIDIN




POLA PENDIDIKAN ISLAM PADA PERIODE
AL-KHULAFA AL-RASYIDIN
Disusun oleh : Mohammad Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan

Abstrak
Pada masa Nabi Muhammad SAW pendidikan Islam berpusat di Madinah dan materi pendidikan yang dicontohkan oleh Rasulallah SAW  adalah pendidikan tauhid, ibadah, adab / sopan  santun  dalam  keluarga  maupun  bermasyarakat, kepribadian, ekonomi, politik, HAM, dan pendidikan hukum, yang kesemuanya bersumber dari ajaran Al-Qur’an. Setelah Rasulallah SAW wafat kekuasaan pemerintahan Islam di pegang oleh Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar, Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini wilayah Islam telah meluas diluar jazirah Arab, namun pola pendidikan Islam pada periode khulafaur Rasyidin tetap berorientasi pada pengalaman  pendidikan  masa  Rasulallah SAW serta memusatkan perhatiannya pada pendidikan keagamaan, syiar agama dan kokohnya pendidikan Islam.
Kata kunci :  Khulafaur Rasyidin, Pola Pendidikan Islam

PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu yang essensial bagi manusia. Dengan pendidikan, manusia bisa belajar memahami alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin Islam. Hal tersebut di buktikan dalam al-Qur’an dan Hadits yang banyak menjelaskan tentang arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam sebagai hamba Allah.[1] Pendidikan Islam ialah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya ( Al-Qur’an dan Hadits ), sedangkan pendidikan dalam Islam ialah proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.[2]
Terlepas dari paradigma pendidikan Islam diatas, pada masa Nabi Muhammad SAW, Negara Islam meliputi seluruh Jazirah Arab dan pendidikan Islam waktu itu berpusat di Madinah sekaligus sebagai pusat pemerintahan serta kota tempat menetapnya Rasulallah SAW, keluarga beliau beserta sahabat-sahabat Nabi SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat kekuasaan pemerintahan Islam dipegang oleh Khulafaur Rasyidin dan wilayah Islam telah meluas hingga di luar jazirah Arab meliputi Palestina, Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Para khalifah ini tidak hanya memperhatikan syiar agama dengan perluasan ekspansi militer dan penataan administrasi pemerintahan demi kokohnya negara Islam, namun juga meningkatkan kualitas peradaban umat Islam dengan memperhatikan pola pendidikan masyarakat Islam waktu itu.
Untuk itu tema makalah ini layak untuk dibahas, karena sebagai khasanah pengembangan pendidikan Islam di Indonesia yang diadopsi dari pendidikan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.

PEMBAHASAN
Sejarah adalah pengalaman hidup manusia pada masa lalu dan akan berlangsung terus sepanjang hidup manusia. Mempelajari sejarah bertujuan agar pengalaman manusia pada masa lampau dapat menjadi pelajaran, pengingat, inspirasi, sekaligus motivasi dalam menjalani kehidupan di masa sekarang dan mendatang. Dengan belajar sejarah dapat menghindarkan diri dari mengulang kesalahan masa lalu. [3] Dengan  mengkaji  sejarah  pendidikan  akan  bisa  memperoleh  informasi  tentang  pelaksanaan  pendidikan  Islam  dari  zaman  Rasulullah  sampai  sekarang,  mulai dari pertumbuhan, perkembangan,  kemajuan, kemunduran, dan kebangkitan  kembali.  Oleh  karena  itu,  sejarah  pada  dasarnya  tidak hanya  sekedar  memberikan  romantisme  tetapi  juga  refleksi historis.  Dengan  mempelajari  sejarah  pendidikan  Islam  dapat  memberikan semangat  (back  projecting  theory)  untuk  membuka  lembaran  dan  mengukir kejayaan  dan  kemajuan  pendidikan  Islam  yang  baru  dan  lebih  baik.
Sejarah  pendidikan  Islam  memiliki  kegunaan  tersendiri  di  antaranya sebagai faktor keteladanan, cermin, pembanding, dan perbaikan keadaan. Masa  perkembangan  pendidikan  Islam  ditandai  dengan  munculnya  kota pendidikan, tokoh-tokoh, dan pemikiran-pemikiran mereka dalam mengembangkan agama Islam.  Ajaran  yang  dibawa  Rasul  yang  bersumber  dari  al-Qur’an serta mempraktekkan sendiri untuk jadi pedoman bagi sahabat, dan seluruh umat sampai saat  ini.  Masa  ini  diprakarsai  oleh Khulafaur Rasyidin  (632-661M/12-41H), yang melanjutkan perjuangan Nabi mendidik manusia dengan ajaran Islam selama 29 tahun. Dengan  demikian,  pendidikan  Islami  merupakan  pembentukan  diri  dan prilaku  yang  tidak  bisa  didapatkan  dalam  waktu  sekejap.  Butuh  kesinambungan proses  baik  transfer  maupun  kontrol  terhadap  hasilnya.[4]

A.      SEJARAH KHULAFAUR RASYIDIN DAN PERKEMBANGAN  PENDIDIKAN ISLAM
Khulafaur Rasyidin berasal dari kata khulafa’ dan ar-rasyidin.  Kata khulafa, merupakan jamak dari kata khalifah artinya pengganti sedangkan kata  ar-rasyidin artinya mendapat petunjuk.  Jadi Khulafaur Rasyidin menurut bahasa adalah orang yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin atau penguasa yang selalu mendapat petunjuk dari Allah SWT. Khulafaur Rasyidin menurut istilah adalah pemimpin umat dan kepala negara yang telah mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW.[5]
Masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin adalah empat khalifah sesudah wafatnya Rasulullah SAW sebagai berikut :
1.    Abu Bakar Ash-Shidiq (573 - 634 M)
Abu Bakar menjadi khalifah tahun 632 - 634 M (2 tahun), Ia adalah sahabat Nabi yang paling setia dan terdepan dalam membela Nabi Muhammad dan para pemeluk Islam. Ia juga orang yang ditunjuk Nabi SAW untuk menemani hijrah ke Yatsrib (Madinah).  Ketika Nabi SAW sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang ditunjuk untuk menggantikan beliau sebagai imam dalam shalat.  Karena hal ini kemudian dianggap sebagai petunjuk agar Abu Bakar nantinya yang akan menggantikan kepemimpinan Islam sesudah Nabi SAW wafat. Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar, masyarakat mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah kekuasaan Islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.[6]
Masa awal kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan, masa pemerintahan Abu Bakar sangat singkat (632-634) tetapi sangat penting. Dia terutama berperan melawan Riddah (Kemurtadan) ketika beberapa suku mencoba melepaskan diri dari umat dan menegaskan lagi kemerdekaan mereka. Pemberontakan yang terjadi benar-benar murni Politis dan Ekonomis. Orang yang mengaku sebagai Nabi seperti Musailamah al-Kadzab dan orang-orang yang enggan membayar pajak. Abu Bakar memusatkan perhatian untuk memerangi para pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan mempengaruhi orang-orang Islam yang masih lemah imannya. Dikirimlah pasukan ke Yamamah, dalam penumpasan ini banyak umat Islam yang gugur, terdiri dari para sahabat Rasulullah dan hafidz Alquran. Karena itu Umar ibn Khattab menyarankan kepada khalifah Abu Bakar untuk mengumpulkan ayat Alquran.
Pola pendidikan Islam yang dilakukan oleh Abu Bakar, masih sama seperti pola pendidikan yang dilakukan oleh Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga pendidikannya. Dilihat dari segi materi pendidikan Islam, yang dilakukan oleh Abu Bakar berupa pendidikan tauhid (keimanan), akhlak, ibadah, kesehatan, serta kehidupan sosial-kemasyarakatan, keagamaan dan kehidupan bernegara. [7]
Pada masa ini didirikan lembaga pendidikan berupa Kuttab  yang  dibentuk setelah  masjid. Kota pusat pendidikan adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai para pendidik adalah para sahabat Rasul yang terdekat. Masa pemerintahan Abu Bakar tidak lama, tapi beliau telah berhasil memberikan dasar-dasar  kekuatan  bagi  perjuangan  perluasan  dakwah  dan  pendidikan  Islam. Materi  pendidikan  yang  paling  utama  adalah keimanan  apalagi  menghadapi  orang-orang  yang  riddah,  dalam  hal  ini  Alquran menjelaskan  bahwa  yang  memberikan  Hidayah  adalah  Allah  QS.28: 56,  Rasul uswatun hasanah QS.33: 21, merupakan pendidikan akhlak, selanjutnya QS.31:13-17 berisi tentang nasehat Luqman kepada anaknya untuk  bertauhid, berbuat baik kepada orang tua, melaksanakan shalat, amar ma’ruf nahi munkar, bersabar terhadap apa yang menimpa.[8]
2.    Umar bin Khattab (586 - 644 M)
Umar bin Khattab menjadi khalifah tahun 634 - 644 M (10 tahun), pengangkatan Umar berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khattab sebagai penggantinya dengan maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat yang segera beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Umar dikenal sebagai sahabat Nabi yang senang berijtihad, ijtihad Umar di kalangan ahli fiqih, misalnya, mengusulkan penyelenggaraan salat tarawih berjamaah, penambahan kalimat as-salâtu khairun minan-naum (salat lebih baik dari pada tidur) dalam azan subuh, ide tentang perlunya pengumpulan ayat-ayat Alquran, dan penentuan kalender Hijrah. Dalam hal pendidikan Umar membangun tempat-tempat pendidikan (sekolah), juga menggaji guru-guru, imam, muazzin dari dana baitul mal.
Di zaman Umar gelombang ekspansi terjadi, ibu kota Syria (Damaskus) jatuh tahun 635 M dan setahun kemudian setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran Yarmuk, seluruh daerah Syria menjadi wilayah Islam. Kemudian ekspansi diteruskan ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria) ibu kota Mesir ditaklukkan tahun 641 M. Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Iraq jatuh pada tahun 637 M. Dari sana serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia (al-Madain) yang jatuh pada tahun 637 M. Pada tahun 641 M Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan Umar r.a, wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria, sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[9]
Karena perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang di Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi yaitu Makkah, Madinah, Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen didirikan dan pada masa ini mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan kepolisian dibentuk, demikian pula jawatan pekerjaan umum, Bait al-Mal, menempa mata uang, dan membuat tahun Hijriah.[10]
Panglima  dan gubernur yang diangkat Umar adalah para sahabat Rasul yang telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, mereka juga adalah ulama. Seperti Abu Musa Al-Asy’ari gubernur Basrah adalah seorang ahli fiqh, ahli hadits dan ahli Qur’an. Ibnu Mas’ud  dikirim oleh Umar sebagai guru, ia adalah seorang ahli dalam tafsir dan fiqh, juga ia meriwayatkan hadits. Muaz bin Jabal, ‘Ubadah, dan Abu Darda’ dikirim ke Damsyik untuk mengajarkan ilmu agama dan Alquran. Muaz bin Jabal mengajar di Palestina, Ubadah di Hims dan Abu Darda di Damsyik, Amru Ibnu Al-Ash seorang panglima dari khalifah Umar berhasil mengalahkan Mesir. Ia adalah seorang yang memiliki keahlian dalam hadis, terkenal sebagai pencatat hadis Nabi. Sedang di Madinah gudangnya ulama, seperti Umar sendiri seorang ahli hukum dan pemerintahan, memiliki keberanian dan kecakapan dalam melakukan ijtihad. Abdullah bin Umar adalah pengumpul hadis. Ibnu Abbas ahli tafsir Alquran dan ilmu faraid,  Ibnu Mas’ud ahli Alquran dan hadis. Ali ahli hukum juga tafsir.
Pada masa Khalifah Umar, para sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah, tidak diberi izin oleh Umar untuk keluar dari Madinah. Sehingga penyebaran ilmu para sahabat besar berpusat di Madinah dan kota tersebut menjadi pusat keilmuan agama. Pada masa Umar lahirlah pembidangan disiplin ilmu pengetahuan agama di antaranya, ilmu tafsir, hadits, fiqih, dan sebagainya, sehingga orang yang baru masuk Islam dari daerah-daerah yang ditaklukkan, harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar mendalami ilmu pengetahuan. Pendidikan yang berkembang pada masa Umar telah memberikan nuansa baru terhadap perkembangan pendidikan Islam bagi umat Islam, sebab selama Umar menjabat, negara dalam keadan stabil dan aman, masjid dibangun sebagai pusat pendidikan, begitu juga setiap kota yang ditaklukkan pusat pendidikan di fokuskan di masjid.
3.    Utsman bin Affan (573 – 655 M)
Utsman bin Affan menjadi khalifah tahun 644-655 M (11 tahun), Ustman diangkat menjadi khalifah setelah diadakan musyawarah oleh para sahabat yang ditunjuk oleh Umar melalui surat wasiatnya.  Hal tersebut dilakukan setelah Umar tidak dapat memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi Persia, Umar menunjuk enam orang Sahabat (Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abu Waqash, Thalhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib) sebagai Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru.
Pada masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes, dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil ditaklukan. Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi, tidak tegas terhadap kesalahan bawahan. Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun jalan, jembatan, memperluas masjid Nabawi, mendirikan satuan polisi, mendirikan gedung pengadilan, dan membentuk armada laut.[11]
Pada masa Usman pelaksanaan pendidikan Islam tidak berbeda dangan masa sebelumnya. Pendidikan di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada. Namun, ada sedikit perbedaan dari khalifah sebelumnya (Umar) yaitu para sahabat diizinkan keluar dari kota Madinah untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah yang dikuasai. Proses pelaksanaan pendidikan Islam pada masa Usman lebih ringan dari sebelumnya. Karena para peserta didik tidak lagi menempuh jarak yang jauh, seperti masa Umar yang menganjurkan peserta didik datang ke Madinah. Berkat inisiatif yang dilakukan oleh Usman para sahabat dapat memilih untuk memberikan pendidikan kepada masyarakat.[12] Pada masa ini, Usman tidak mengangkat guru-guru untuk mengajarkan agama Islam, tetapi guru-guru (para pendidik) sendiri yang melaksanakan tugasnya dengan harapan mendapat keridhaan Allah SWT semata.
Pada masa Usman ada suatu usaha yang berbeda dengan khalifah sebelumnya dalam pendidikan Islam yaitu usaha pengumpulan dan penulisan mushaf, yang disebabkan karena terjadi perselisihan dalam bacaan al-Qur’an, sehingga Usman mengintruksikan kepada tim penyusunan mushaf yaitu, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin Ash, Abdurrahman bin Harist, Ubay bin Ka’ab, Anas bin Malik, Abdullah bin Abas, Malik bin Abi Amir, dan Katsir bin Aflah untuk mengumpulkan dan menulis kembali mushaf Al-Qur’an sebanyak 5 buah dan kemudian di kirim ke Mekah, Syria, Basrah, Kufah dan Madinah.[13]
Sedangkan obyek pendidikan pada masa Usman bin Affan meliputi:
a.       Orang dewasa dan orang tua yang baru masuk Islam
b.      Orang dewasa dan orang tua yang telah lama masuk Islam
c.       Anak-anak, dari orang tua yang baru maupun telah lama memeluk Islam.
d.      Orang yang mengkhususkan dirinya untuk menuntut agama Islam secara luas dan mendalam.
Tempat mereka belajar dan mendalami ajaran Islam dipusatkan di Masjid, kuttab dan rumah-rumah yang disediakan pemerintah.[14]
4.    Ali bin Abi Thalib (599 – 661 M)
Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah tahun 655 - 661 M (6 tahun) dan memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah. Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Kemudian timbullah persoalan ketika Ali mengeluarkan kebijakan berupa menonaktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabatnya, dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam sebagaimana pernah diterapkan Umar. Tanggal 24/01/661 M Ali di bunuh oleh orang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam.[15]
Ali adalah orang yang pertama-tama beriman terhadap kerasulan Rasulullah dari kalangan anak-anak. Keimanannya membuatnya semakin dekat dengan Rasulullah. Ada beberapa pendapat mengenai umur Ali ketika masuk Islam. Ada yang mengatakan tujuh tahun, delapan tahun, sepuluh tahun dan ada pula yang mengatakan bahwa pada waktu itu Ali berumur enam belas tahun. Pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang menyatakan sepuluh tahun. Karena pada saat itulah dakwah Islam dimulai. Kepribadian Ali banyak dipengaruhi oleh pola asuh Rasulullah karena semenjak kecil Ali sudah tinggal bersarna beliau. Keluhuran pribadi Rasulullah menjadikan Ali terkenal dengan budi pekerinya yang luhur, keshalihan, keadilan dan kebesaran jiwanya. Ali menimba pengetahuan, budi pekerti dan kebesaran jiwa Rasulullah sampai pada akhirnya Rasulullah wafat. Adapun kepribadian yang dicontoh Ali dari Rasulullah yaitu loyalitas yang tinggi terhadap Islam, konsisten dalam melaksanakan hukum Islam, berani membela kebenaran, sederhana 'dan jujur, serta menguasai ilmu Al-Qur'an dan Hadits.[16]
Pendidikan Islam pada masa Ali bin Abi Thalib sangat di sayangkan, karena pada masa ini terjadi pemberontakan dan perpecahan umat Islam, sehingga masalah pendidikan Islam ditinggalkan karena sibuk berebut kekuasaan serta jabatan. Pada masa pemerintahannya diguncang dengan peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta Talhah dan Abdurrahma bin Zubair, karena kesalahpahaman dalam menyikapi pembunuhan terhadap Usman. Kemudian terjadi lagi perselihan antara Ali dengan Muawiyah, yang disebut dengan perang shiffin. Muawiyah adalah gubernur  Damaskus yang memberontak untuk mengulingkan Ali. Sebenarnya saat peperangan itu berlangsung pihak Ali sudah pasti memenangkan peperangan. Kemudian Muawiyah mengambil siasat untuk mengadakan tahkim. Semula Ali menolak dengan tawaran tersebut, tetapi karena sebagian tentara Ali mendesak untuk melakukan tahkim, akhirnya Ali pun menerimanya. Namun, tahkim tersebut bukan malah memperbaiki keadaan tetapi memperburuk keadaan, sehingga tentara-tentara Ali pun berpencar dan terpecah belah, yang di sebut dengan khawarij.[17]

B.       KOMPONEN PENDIDIKAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Pendidikan pada masa Rasulallah SAW telah memberi contoh terhadap umat ke depanya, baik dari segi sosial, tanggung jawab, serta kepemimpinan beliau sebagai panutan umat dalam mendidik kaumnya ke arah yang lebih baik. Sejak masa Khulafaur Rasyidin para pemimpin Islam memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Mereka mendirikan dan menghidupkan berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan pendidikan termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah yang menjadi model pendidikan Islam ketika Nabi berada di Madinah hingga tersebar luas keluar Madinah sejalan dengan perluasan wilayah Islam dan penyebaran Masjid, sangat diperhatikan oleh Khulafaur Rasyidin seperti Umar bin Khattab dengan mengangkat sahabat Rasul yang memiliki ilmu pengetahuan agama luas sebagai panglima dan gubernur sehingga mereka banyak mendirikan masjid diwilayah kekuasaan masing-masing dengan as-Suffah di dalamnya.[18]
1.    Tujuan pendidikan Islam
 Tujuan pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin masih belum berbeda dengan tujuan pendidikan pada zaman Rasulullah SAW yaitu pembentukan masyarakat Islam dengan asas pembinaan berupa persaudaraan, persatuan, toleransi, tolong menolong, musyawarah dan keadilan.[19]
2.    Kurikulum dan materi pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan masa Khulafaur Rasyidi meliputi membaca, menulis, membaca dan menghafal Al-Qur’an, pokok-pokok agama Islam seperti cara wudhu, sholat dan puasa, berenang, mengendarai unta dan kuda, memanah, membaca dan menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa, al-Qur’an dan tafsirnya, Hadits dan pengumpulannya, Fiqh.[20]  
Materi pendidikan di Madinah selain berisi materi pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan (Al-Qur’an, Al-Hadis, Hukum Islam) juga pendidikan kemasyarakatan, kewarganegaraan, pertahanan dan kesejahteraan.[21]Pada masa Umar digalakan pendidikan keterampilan hal ini termaktub dalam intruksi Umar bin Khattab yang dikirimkan kepada penduduk-penduduk kota yang isinya ajarkanlah kepada anak-anak kamu berenang, kepandaian menunggang kuda, dan tuturkanlah kepada mereka pepatah-pepatah yang masyhur dan syair-syair yang baik.[22]Tuntutan untuk belajar bahasa arab juga nampak dalam pendidikan Islam pada masa Khalifah Umar. Dikuasainya wilayah-wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya keinginan untuk belajar bahasa arab sebagai bahasa pengantar di wilayah-wilayah tersebut. Orang-orang yang baru masuk Islam di daerah-daerah yang ditaklukkan, harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami pengetahuan Islam. Oleh karena itu, masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa Arab.
3.    Tenaga pendidik dan peserta didik
 Yang menjadi pendidik di zaman Khulafaur Rasydin adalah para sahabat sendiri dan sahabat besar yang lebih dekat kepada Rasulullah SAW dan memiliki pengaruh yang besar.  Mereka antara lain:
a.         Ahli tafsir yaitu Ali bin abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubaiy bin Ka’ab.
b.         Sahabat yang meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah (5374 hadis), Aisyah (2210 hadis), Abdullah bin Umar (-+ 2210 hadis), Jabir bin Abbas (-+ 1500 hadis), Anas bin Malik  (-+ 2210 hadis), Umar bin Khattab (-+ 537 hadis).
c.         Ahli fiqih antara lain Abu Bakar, Umar bin khattab, Ali bin Abi Thalib, Ubaiy bin Ka’ab, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa bin Al-Asy’ari, Abdullah bin Abbas.[23]
Peserta didik terdiri dari masyarakat  Makkah, Madinah dan masyarakat dari daerah-daerah yang berhasil di taklukan.
4.    Metode pembelajaran
 Adapun metode dalam mengajar antara lain dengan bentuk halaqah, yakni guru duduk disebagian ruangan masjid kemudian dikelilingi oleh para siswa. Menyampaikan ajaran kata demi kata dengan artinya dan kemudian menjelaskan kandunganya. Sementara para siswa menyimak, mencatat, dan mengulanginya apa yang dikemukakan oleh gurunya.
5.    Lembaga pendidikan Islam
 Lembaga pendidikan pada masa Khulfaur Rasyidin adalam kuttab, Masjid dan Suffah. Kuttab adalah sebuah lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan cara membaca dan menulis kepada anak-anak atau remaja, kemudian meningkat pada pengajaran pengetahuan Al-Qur’an dan pengetahuan dasar.[24] Masjid sebagai pusat pendidikan umat Islam seperti yang dilakukan Khalifah Ali bin Abi Thalib, beliau menjadikan Masjid sebagai pusat pendidikan dan pencerahan keislaman serta melakukan diskusi ilmiah.[25] Suffah adalah ruangan yang bersambung dengan masjid yang digunakan juga sebagai tempat pengajaran dan pembelajaran.[26]
6.    Kota pusat pendidikan Islam dan tokoh pendidiknya.
 Adapun pusat pendidikan Islam pada masa Khulfaur Rasyidin di antaranya :
a.      Mekkah, guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan al-Qur’an dan Fiqih.
b.     Madinah, sahabat yang terkenal antara lain, Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta sahabat-sahabat lainnya.
c.       Basrah, sahabat yang masyhur antara lain, Abu Musa al-Asy’ary, dia adalah seorang ahli Fiqih dan Al-Qur’an.
d.     Kuffah, sahabat yang masyhur di antaranya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud mengajarkan al-Qur’an, ia ahli Tafsir, Fiqih dan Hadits.
e.    Damsyik (Damaskus / Syam), setelah Syam (Syiria) menjadi bagian negara Islam dan penduduknya banyak beragama Islam. Maka khalifah Umar mengirim tiga orang guru ke negera itu yaitu, Mu’az bin Jabal, Ubaidah, dan Abu Darda’. Ketiganya mengajar di Syam pada tempat yang berbeda. Abu Darda’ di Damsyik, Mu’az di Palestina, dan Ubaidah di Hims.
f.          Mesir, sahabat yang mula-mula mendirikan madarah dan menjadi guru di Mesir adalah Abdullah bin Amru bin Ash, ia adalah seorang ahli Hadits.[27]

KESIMPULAN
Pola pendidikan Islam pada masa Khulfaur Rasyidin tidak jauh berbeda dengan masa Nabi yang menekan pada pengajaran baca tulis Al- Qur’an dan ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadist Nabi. Pola pendidikan Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab sedikit lebih meningkat, para pengajar sudah digaji yang diambilkan dari baitulmal dan banyak daerah yang ditaklukkan. Poal pendidikan Islam pada masa Utsman bin Affan pendidikan tidak terpusat di Madinah saja, sebab para pengajar sudah diperbolehkan memilih tempat yang disukai kemudian mengembangkan keilmuannya di daerah tersebut. Pola pendidikan Islam masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak mengalami perubahan sebab banyak terjadi pemberontakan, sehingga Ali tidak sempat memikirkan pendidikan di negaranya.
Kurikulum pendidikan di Madinah berisi materi pelajaran Al-Qur’an, Al-Hadis, Hukum Islam, kemasyarakatan, kewarganegaraan, pertahanan dan kesejahteraan. Tenaga pendidik terdiri dari kalangan sahabat senior dan peserta didik berasal dari sahabat yunior dan masyarakat dari wilayah yang ditaklukan Islam. Tempat pendidikan berada di Kuttab, Masjid dan Suffah. Di antara pusat-pusat pendidikan pada masa Khulfaur Rasyidin adalah Mekkah, Madinah, Mesir, Kuffah, dan Basrah.

PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami sampaikan. Tentunya dalam makalah ini kami masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan. Untuk itu sudilah kiranya samudera maaf dari pembaca buka untuk kami. Saran dan kritik yang membangun demi kesempurnan makalah ini sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…………….

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam; Dari Masa Rasulallah hingga Reformasi di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2015
Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Media group, Jakarta, 2011.
Chaeruddin, “Pendidikan Islam Masa Rasulallah”, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1 No. 3, Desember 2013.
Fatikhah, Sejarah Peradaban Islam, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2011.
Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999.
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, Teras, Yogjakarta, 2011.
Ita Rostiana, “Dukungan Ali bin Abi Thalib terhadap Dakwah Rasulallah”, Jurnal DAKWAH, Vol. X No. 2, Juli-Desember 2009.
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-Dinasti Islam, Teras, Yogyakarta, 2012.
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, STAIN Salatiga Press, Salatiga, 2007.
M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, Prenada Media Group, Jakarta, 2014.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Hidaya Karya Agung, Jakarta,1989.
Nina Aminah, “Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin”, JURNAL TARBIYA Volume: 1 No: 1 2015 (31-47).
Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,   Kencana,  Jakarta,  2007.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009.
Suriana, “Dimensi Historis Pendidikan Islam: Masa Pertumbuhan, Perkembangan, Kejayaan dan Kemunduran”, Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember 2013.
Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmu, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Citra Risalah, Yogyakarta, 2012.
Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Amzah, Jakarta, 2006.


[1] Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999, hlm. 2.
[2] Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, STAIN Salatiga Press, Salatiga, 2007, hlm.119-120.
[3] M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, Prenada Media Group, Jakarta, 2014, hlm. 1.
[4] Suriana, “Dimensi Historis Pendidikan Islam: Masa Pertumbuhan, Perkembangan, Kejayaan dan Kemunduran”, Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1, Juli-Desember 2013,  hlm. 85-91
[7] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Hidaya Karya Agung, Jakarta,1989, hlm. 18.
[8] Nina Aminah, “Pola Pendidikan Islam Periode Khulafaur Rasyidin”, JURNAL TARBIYA Volume: 1 No: 1 2015 (31-47), hlm. 35-36.
[9] Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, Teras, Yogjakarta, 2011, Hlm. 37-38.
[10] Ibid, hlm. 41.
[11] Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmu, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Citra Risalah, Yogyakarta, 2012, hlm. 419.
[12] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,   Kencana,  Jakarta,  2007, hlm. 49.
[13] Fatikhah, Sejarah Peradaban Islam, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2011, hlm. 138.
[14] Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Amzah, Jakarta, 2006, hlm. 96.
[15] Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab Sebelum Islam Hingga Dinasti-Dinasti Islam, Teras, Yogyakarta, 2012, hlm. 62-64.
[16] Ita Rostiana, “Dukungan Ali bin Abi Thalib terhadap Dakwah Rasulallah”, Jurnal DAKWAH, Vol. X No. 2, Juli-Desember 2009, hlm. 135-136.
[17] Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 49-50.
[18] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 218.
[19] Chaeruddin, “Pendidikan Islam Masa Rasulallah”, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1 No. 3, Desember 2013, hlm. 427.
[20] Suriana, Op.Cit,  hlm. 93.
[21] Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Media group, Jakarta, 2011, hlm. 118-121
[22] Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 1997
[23] Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, PT. Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hlm. 41-43.
[24] Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam; Dari Masa Rasulallah hingga Reformasi di Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 43-44
[25] Ibid, Hlm. 78.
[26] Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 197.
[27] Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 51.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda