Selasa, 20 September 2016

PEMIKIRAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN



PEMIKIRAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN

Disusun oleh : Mohammad Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
Abstrak
Constructivism is a term that should be used with caution. It is widely used in many disciplines. This entry is about constructivism in education. But even in the more limited area of education, it is obvious that the term constructivism is used with very different meanings. It is used to describe learning and teaching as well as curricula and assessment. It is also used in a more philosophical or epistemological meaning. This entry will try to describe some of these different meanings. It will take an historical perspective, since this may shed light on the development of the use of the term constructivism, and some of the origins for the current, somewhat confusing situation. Particular emphasis will be given to education, mainly because the influence has been largest in these fields.
Kata kunci :  Constructivism, education
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu yang essensial bagi manusia. Dengan pendidikan, manusia bisa belajar memahami alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Karena pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin Islam. Hal tersebut di buktikan dalam al-Qur’an dan Hadits yang banyak menjelaskan tentang arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam sebagai hamba Allah.[1] Pendidikan Islam yang ada sekarang ini masih  tertinggal dari model pendidikan lainnya sehingga indeks SDM yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan Islam sulit bersaing dalam persaingan global.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, terlebih dahulu kita pahami bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek peristiwa yang dijumpai selama kehidupannya. Secara naluri, manusia akan mencari dan menggunakan hal atau peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri, karena pengetahuan seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Yang mana istilah konstruksi merupakan hasil pemikiran dari filsafat konstruktivisme. Sehingga pada makalah ini akan kita bahas mengenai peran kontruktivisme dalam pendidikan.
A.      FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
1.    Sejarah Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giovan Battista / Giambatista Vico (23 Juni 1668 – 23 Januari 1744), seorang epistemologi Italia.[2] Ia dipandang sebagai cikal bakal lahirnya Konstruktivisme, Ia mengatakan bahwa Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu. Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Menurut Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang di bentuk, pengetahuan tidak bisa lepas dari subyek yang mengetahui. Kemudian aliran ini dikembangkan oleh Jean Piaget melalui teori perkembangan kognitif, Piaget mengemukakan pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu dengan lingkungannya dan perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses dasar asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi.[3]
2.    Pengertian Konstruktivisme
Istilah constructivism (konstruksivisme) berasal dari kata kerja Inggris "to construct", kata ini merupakan serapan dari bahasa Latin "con struere" yang berarti menyusun atau membuat struktur. Konsep inti konstruktivisme adalah proses penstrukturan atau pengorganisasian. Secara istilah, konstruktivisme merupakan suatu aliran filsafat ilmu, psikologi dan teori belajar mengajar yang menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Dalam jurnal berbahasa Inggris, para ahli mendifinisikan konstruksivisme sebagai berikut:
·           (The mind can) "put together those ideas it has, and make new complex ones." (Lock, 1947, p. 65).
·    "It is assumed that learners have to construct their own knowledge-- individually and collectively.  Each learner has a tool kit of concepts and skills with which he or she must construct knowledge to solve problems presented by the environment.  The role of the community other learners and teacher is to provide the setting, pose the challenges, and offer the support that will encourage mathematical construction."   (Davis, Maher, Noddings, 1990, p. 3).
·        "Constructivism is not a theory about teaching it is a theory about knowledge and learning the theory defines knowledge as temporary, developmental, socially and culturally mediated, and thus, nonobjective."  (Brooks & Brooks, 1993, p. vii).
·        "The doctrine it self holds that 'language users must individually construct the meaning of words, phrases, sentences and texts.'"  (Suchting, 1998, p. 61-62;  von Glasersfeld, 1989, p. 132).
·        "Constructivists allege that it is we who constitute or construct, on the basis of our theorizing or experience, the allegedly unobservable items postulated in our theories."  (Nola, 1998, p. 32).
·     "The central principles of this approach are that learners can only make sense of new situations in terms of their existing understanding.  Learning involves an active process in which learners construct meaning by linking new ideas with their existing knowledge." (Naylor & Keogh, 1999, p.93).
·        "Constructivists of different persuasion (hold a) commitment to the idea that the development of understanding requires active engagement on the part of the learner."  (Jenkins, 2000, p.601).[4]
3.    Pengetahuan menurut Konstruktivisme
Menurut pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan pengetahuan mereka sendiri.
4.    Ciri-ciri Konstruktivisme
Aliran Konstruktivisme memiliki beberapa pendapat sebagai ciri dasar aliran ini diantaranya :
a.  Pengetahuan mutlak diperoleh dari konstruksi kognitif dalam diri seseorang, melalui pengalaman yang diterima lewat pancaindra.
b.    Menolak adanya transfer pengetahuan yang dilakukan dari seseorang kepada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan barang yang bisa dipindahkan.
c.         Pembelajaran ditunjukkan untuk menggali pengalaman bukan menstransfer ilmu.[5]
B.       TEORI PENDIDIKAN KONSTRUKTIVISME
Dalam bidang pendidikan, Konstruktivisme membahas tentang proses pembelajaran yang mana pengetahuan siswa dibangun oleh dirinya sendiri atas dasar pengalaman, pemahaman, persepsi, dan perasaan siswa. Pengetahuan bukan dibangun atau diberikan oleh orang lain, sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengontruksi bukan menerima pengetahuan. Dengan demikian siswa mampu membangun sendiri pengetahuan mereka lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Teori pendidikan Konstruktivisme menjadi salah satu komponen utama CTL (Contektual Teaching and Learning) sebagai salah satu teori pendidikan modern.[6]
Teori pendidikan konstruksionisme memuat dua proses pembelajaran, yakni kegiatan belajar dan mengajar (learning and teaching process). Bagian berikut akan memaparkan pandangan konstruktivisme tentang proses belajar dan mengajar.
1.    Belajar menurut Konstruktivisme
Dalam kerangka konstruktivis, belajar dimaknai sebagai suatu upaya pengkonstruksian pengetahuan oleh individu sebagai pemberian makna atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya. Proses belajar lebih diarahkan pada terbentuknya makna pada diri pelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan dan pemahaman mereka sebelumnya. Dalam proses ini lebih ditekankan pada terbentuknya hubungan makna antara pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan baru dengan fasilitasi kreativitas guru selaku mediator pembelajaran. Model konstruktivis memandang belajar itu sebagai sebuah proses modifikasi ide dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh siswa menuju terbentuknya pengetahuan baru. Dalam proses ini siswa secara aktif terlibat dalam upaya penemuan makna dari apa yang dipelajarinya, sehingga secara langsung berdampak pada tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir siswa selama pembelajaran berlangsung.[7]
Dalam proses belajar ada beberapa komponen utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu kegiatan belajar berdasarkan pandangan konstruktivis yaitu:
a.    Peran guru
Pendidik / guru adalah elemen yang amat penting dalam pendidikan, sebab pendidik berfungsi sebagai sentral dari seluruh aktivitas pendidikan khususnya proses belajar mengajar. Hampir semua faktor pendidikan yang disebut dalam teori pendidikan operasionalnya tergantung ditangan pendidik seperti, metode, bahan pelajaran dan alat pendidikan. Ditangan pendidik kurikulum akan hidup dan bermakna, metode penyajian menjadi hidup dan menarik, alat pendidikan akan lebih bermanfaat.[8]
Seorang guru tidak boleh beranggapan bahwa cara berpikir siswa itu salah. Guru perlu belajar dan mengerti cara berpikir mereka sehingga dapat membantu mereka memodifikasinya. Guru konstruktivis tidak akan membenarkan ajarannya dengan mengklaim bahwa “ini satu-satunya yang benar”, guru tidak dapat berkata lebih daripada “ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, ini adalah jalan yang terefektif untuk soal ini sekarang”.
Dalam pandangan konstruktivis guru berperan sebagai berikut :
1)        Guru sebagai mediator dan fasilitator, dalam beberapa tugas :
·      Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan penelitian.
·      Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir secara produktif.
·      memotivasi siswa dan menyediakan pengalaman konflik.
·      Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan kesimpulan siswa.
2)        Penguasaan bahan, pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak.[9]
b.   Peran siswa
Dalam pandangan konstruktivis siswa dianggap sebagai anak yang aktif, bukan pasif yang hanya menanti guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai informasi. Siswa adalah anak yang dinamis yang secara alami ingin belajar.[10] Kita pahami bersama proses belajar mengajar konvensional umumnya berlangsung satu arah yang merupakan proses transfer atau pengalihan pengetahuan, informasi, norma, nilai, dan lain-lainnya dari seorang guru kepada peserta didik. Proses seperti itu dibangun atas dasar anggapan bahwa siswa ibarat bejana kosong atau kertas putih. Gurulah yang harus mengisi bejana tersebut atau menulis apapun di atas kertas putih tersebut. Pandangan ini bertolak belakang dengan pendapat konstruktivis yang menganggap siswa sebagai individu yang telah memiliki pengetahuan dan guru hanya sebagai mediator.
Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di mana pelajar membangun sendiri pengetahuannya dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Pelajar sendirilah yang bertanggung jawab atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengetahuan lama dalam situasi belajar yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui.
2) Pelajar harus punya pengalaman dengan membuat hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan untuk membentuk konstruksi yang baru.
3)   Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.[11]
2.    Mengajar menurut Konstruktivisme
Menurut pandangan konstruktivis Mengajar adalah proses membantu seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid), melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya lewat kegiatannya terhadap fenomen dan objek yang ingin di ketahui. Dalam hal ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis perlu dikembangkan.
Dalam pandangan konstruktivis ada beberapa kegiatan yang perlu dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh guru ketika mengajar antara lain :
a.  Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
b.  Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa terlibat.
c.   Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan berpartisipasi sebagai siswa di tengah siswa lainnya.
d.   Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang sedang berjuang dan belajar.
e.    Guru perlu memiliki pemikiran yang fleksibel untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Kemudian konstruktivisme memiliki beberapa Aspek pengajaran yaitu:
a.  Adaptasi (adaptation), adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan akomodasi.
b.    Konsep pada lingkungan (the concept of environment)
c.    Pembentukan makna (the construction of meaning).[12]
C.      TUJUAN DAN TAHAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Tujuan pembelajaran melalui pendekatan konstruktivisme adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman baik dalam arti kemampuan berfikirnya), kemandirian (kemampuan menilai proses dan hasil belajar sendiri), tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang terus menerus untuk menemukan diri sendiri, yaitu suatu proses Learn To Be serta mampu melakukan kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan kejayaan bangsa.[13]
Adapun tahapan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme adalah sebagai berikut :
1.        Advance Organizer, yaitu statement perkenalan yang menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh murid dengan informasi yang baru berupa materi pelajaran. Tujuan dari proses pertama ini adalah memberi arahan bagi siswa untuk mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan dipelajari, memberikan penguatan terhadap pengetahuan yang telah diperoleh.
2.      Menyampaikan tugas  belajar, yaitu dengan menyampaikan persamaan dan perbedaan dengan contoh yang sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru murid perlu mengetahui persamaan dan perbedaan materi yang akan dipelajari dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Untuk proses ini bisa menggunakan metode belajar diskusi, ceramah, film  dan tugas  belajar.
3.     Penguatan organisasi, yaitu usaha guru untuk mengawal pelajaran dimulai dengan membantu murid untuk mengamati bagaimana setiap detail informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar / umum dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengemukakan pemahamannya tentang informasi apa yang baru mereka pelajari dan menambahkan informasi baru kedalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran.[14]
D.      KARAKTERISTIK DAN PRINSIP KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN
Beberapa karakteristik pembelajaran yang dimiliki menurut pandangan konstruktivisme antara lain :
1.        Membebaskan murid dari belenggu kurikulum yang berisi fakta  lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2.        Menempatkan murid sebagai kekuatan timbulnya interes, untuk membuat hubungan di antara ide  atau gagasannya, memformulasikan kembali ide  tersebut, serta membuat kesimpulan.
3.     Guru bersama  murid mengkaji pesan  penting bahwa dunia adalah kompleks, didalamnya terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari berbagai interpretasi.[15]
Sedangkan prinsip pembelajaran yang diterapkan menurut konstruktivisme sebagai berikut:
1.     Berpusat pada siswa, setiap siswa pada dasarnya berbeda dan telah ada dalam dirinya minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style).
2.     Pembalikan makna belajar, yang dulunya makna belajar sebagai transfer of knowledge yaitu siswa hanya menerima pengetahuan, sekarang dibalik siswa yang lebih aktif mengorganisir pengetahuan itu.
3.    Belajar dengan melakukan, yaitu aktivitas siswa dilakukan dengan kegiatan nyata yang melibatkan dirinya dengan cara mencari, menemukan dan mempraktekannya sendiri sehingga siswa akan selalu teringat dan tertanam dalam hati. Kegiatan ini bisa dilaksanakan dengan menggunakan metode belajar Ingkuiry dan Discovery Learning.
4.      Mengembangkan kemampuan sosial, kognitif dan emosional, dalam pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana interaksi dengan orang lain seperti antar siswa, antar siswa dengan guru, dan siswa dengan masyarakat.
5.    Mengembangkan kreativitas, keingintahuan, imajinasi dan fitrah, kegiatan pembelajaran diarahkan kepada pengembangan potensi dan bakat siswa sesuai dengan tingkatan usia.
6.        Mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, dalam pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang siswa untuk mencari dan menemukan masalah, serta melakukan pemecahan dan mengambil kesimpulan. Kegiatan ini bisa dijalankan menggunakan metode belajar Problem Solving.
7.   Mengembangkan kemampuan menggunakan Iptek, guru mengenalkan dan mempraktekkan kepada siswa fungsi dan pemakaian Iptek dalam pembelajaran sehingga siswa tidak gagap dengan perkembangan Iptek yang sangat cepat.
8.    Belajar sepanjang hayat, pembelajaran diarahkan agar siswa  berfikir positif mengenai siapa dirinya dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta mensyukuri atas segala yang dia dapatkan.[16]
Dalam sebuah jurnal internasional dijelaskan beberapa spesifikasi asumsi  atau prinsip konstruktivis dan relevansinya terhadap desain pendidikan sebagai berikut:
1.   An emphasis on the identifi cation of the context in which the skills will be learned and subsequently applied (anchoring learning in meaningful contexts).
2.     An emphasis on learner control and the capability of the learner to manipulate information (actively using what is learned).
3.        The need for information to be presented in a variety of diff erent ways (revisiting content at diff erent times, in rearranged contexts, for diff erent purposes, and from diff erent conceptual perspectives).
4.       Supporting the use of problem solving skills that allow learners to go “beyond the information given” (developing pattern-recognition skills, presenting alternative ways of representing problems).
5.        Assessment focused on transfer of knowledge and skills (presenting new problems and situations that diff er from the conditions of the initial instruction).[17]
E.       KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Dalam setiap teori atau konsep pemikiran manusia tentang segala sesuatu pasti memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, begitu juga dalam pemikiran konstruktivisme pendidikan. Adapun kelebihan dan kekurangan pemikiran konstruktivisme akan dijelaskan sebagai berikut:
1.        Kelebihan
·           Murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, mengungkapkan ide dan membuat keputusan.
·        Murid menjadi paham karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan baru, dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi sehingga mereka akan ingat lebih lama semua konsep.
·     Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina pengetahuan baru.
·           Adanya motivasi bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa sendiri.
·    Mengembangkan kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
·           Membantu siswa mengembangkan pemahaman konsep secara lengkap.
·           Mengembangkan kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
·           Lebih menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu. [18]
2.        Kelemahan dan kendala
Dalam bahasan kekurangan atau kelemahan, bisa kita analisa sebagai berikut:
·           Peran guru sebagai pendidik kurang begitu mendukung.
·           Siswa berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
·           Pembelajaran konstruktivistik tidak cocok untuk siswa pasif.
·           Dalam pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada.
Adapun kendala yang dihadapi dalam penerapan pemikiran konstruktivisme dalam pendidikan antara lain:
·           Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru
·     Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran berbasis konstruktivisme.
·       Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam pembelajaran akan memakan waktu dan tenaga yang cukup besar.
·           Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir.
·           Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru.
F.       TOKOH KONSTRUKTIVISME PENDIDIKAN
Aliran filsafat konstruktivisme yang berasal dan berkembang pesat di dunia barat memiliki beberapa tokoh penting yaitu : John Dewey (1859–1952), Maria Montessori (1870–1952), Władysław Strzemiński (1893–1952), Jean Piaget (1896–1980), Lev Vygotsky (1896–1934), Heinz von Foerster (1911–2002), George Kelly (1905–1967), Jerome Bruner (1915), Herbert Simon (1916–2001), Paul Watzlawick (1921–2007), Ernst von Glasersfeld (1917–2010), Edgar Morin (1921), Humberto Maturana (1928).[19] Dari beberapa tokoh tersebut, ada yang namanya sangat familiar dengan konsep konstruktivisme di bidang pendidikan yaitu :
1.        Jean Piaget
Jean Piaget (9 Agustus 1896 – 16 September 1980) menjelaskan pentingnya beberapa faktor internal seseorang dalam proses belajar. Faktor-kator tersebut adalah tingkat kemampuan berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan keyakinan. Faktor internal tersebut menunjukkan kehidupan psikologis seseorang, serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif serta emosinya.
 Kemudian Piaget menjelaskan bahwa perkembangan kognitif manusia sesuai dengan aturan tertentu. Kemampuan berpikir pada satu tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan sebelumnya. Pada tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema berpikir. Menurut Piaget, berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling berhubungan yaitu : mengorganisasikan (organizing) dan mengadaptasi/mengubah.
Ketika mengorganisasikan pengetahuan, yang dilakukan seseorang adalah membedakan informasi yang penting dari yang tidak penting, atau konsep utama dengan jabarannya, sertas melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Di samping itu, seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika belajar, yaitu melalui asimilasi (mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur kognitif yang telah dimiliki) atau melalui proses akomodasi terhadap pengetahuan baru, dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki.[20]
2.        Lev Vygotsky
Vygotsky (17 November 1896 – 11 Juni 1934) adalah seorang psikolog dari Rusia yang juga penganjur konstruktivisme selain Piaget. Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan dibangun secara sosial, dalam arti bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu pengetahuan. Dengan demikian, proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan konteks kulturalnya.
 Proses dan konteks cultural yang beragam juga menghasilkan belajar yang beragam pula. Misalnya, seorang anak yang mendengarkan cerita dari orang tuanya sebelum tidur akan berbeda dengan anak yang lebih mengandalkan tayangan televisi dalam memahami nilai-nilai tertentu. Besar kemungkinan pemahaman anak terhadap suatu nilai sebagai hasil belajar tidak akan sama melalui kedua proses yang berbeda tersebut.
G.      PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP KONSTRUKTIVISME
1.    Dari aspek Ontologi
Ontologi merupakan salah satu ajaran filsafat tentang sesuatu yang berada, atau ontologi dapat dinyatakan sebagai ilmu yang mencari esensi dari eksistensi terdalam dan terakhir.[21] Secara ringkas ontologi membahas realitas hakikat yang “ada” dan membahas kebenaran suatu fakta. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Dalam mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan antara lain; “Apakah yang ada itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah yang ada itu? (How is being?)”, dan “Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.
Dari aspek ontologis, pendidikan Islam menekankan bahwa setiap manusia pada dasarnya memiliki fitrah ke Tuhanan yang sama, akan tetapi memiliki potensi, bakat dan pengalaman hidup berbeda yang dibawa sejak dalam kandungan hingga meninggal dunia. Aspek fitrah ke Tuhanan manusia perlu mendapat bimbingan dan pendidikan untuk menyempurnakan kejadiannya. Sedangkan aspek bakat, potensi dan pengalaman hidup manusia perlu mendapatkan pembelajaran, pengarahan dan pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia. Dalam hal inilah filsafat pendidikan Islam menguatkan teori kontruktivisme yang mengakui adanya fitrah, kemampuan, bakat, pengalaman hidup dan pengetahuan seseorang yang dimiliki dan diusahakan sebelumnya. Sebagaimana firman Allah tentang fitrah manusia yang terdapat dalam surat Ar-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui
2.    Dari aspek epistemologi
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas tentang tata cara, teknik, atau prosedur untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.[22] Epistemologi berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Dari aspek epistemologi, pendidikan Islam memberikan pendekatan pendidikan yang tidak memaksa dengan memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi sesuai kemampuan dan pengalaman hidupnya dengan menggunakan metode pembelajaran yang menyenangkan untuk mengembangkan pengetahuan/ pengalaman hidup yang telah dimiliki peserta didik. Adapun guru berperan sebagai fasilitator dan penjelas. Dalam hal ini filsafat pendidikan Islam menguatkan pendapat konstruktivisme yang tidak memaksakan pengetahuan kepada orang lain dan mendayagunakan pengalaman hidup siswa dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengembangkan potensinya, serta pendidik sebagai fasilitator. Sebagaimana firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 39 sebagai berikut:
ö@è% ÉQöqs)»tƒ (#qè=yJôã$# 4n?tã öNà6ÏGtR%s3tB ÎoTÎ) ×@ÏJ»tã ( t$öq|¡sù šcqßJn=÷ès? ÇÌÒÈ
Katakanlah: "Hai kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya Aku akan bekerja (pula), Maka kelak kamu akan mengetahui
Serta dalam surat Al-Baqarah ayat 256 yang melarang memaksa seseorang untuk masuk dan belajar agama Islam sebagai berikut;
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3tƒ ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãƒur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# Ÿw tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿxœ îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui
3.    Dari aspek aksiologi
Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh.[23] Aksiologi menjawab, untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral?.
Dari segi aksiologi pendidikan Islam diarahkan kepada pemberian pemahaman nilai-nilai dan pengalaman hidup yang bernuansa rahmatan lil alamin dan nantinya berguna bagi kebahagiaan hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Disini pemahaman filsafat pendidikan Islam memiliki kesamaan dengan konstruktivisme yang mempunyai pemahaman pola pendidikan menyenangkan dan menghargai proses pendidikan yang beranekaragam. Dalam hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107 sebagai berikut;
!$tBur š»oYù=yör& žwÎ) ZptHôqy šúüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
H.      RELEVANSI KONSTRUKTIVISME DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Pada dasarnya praktik pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme sudah dikenal di dunia Islam sejak zaman Rasulallah SAW yaitu lebih dari 1.400 tahun yang lalu, sebagaimana dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 76-79 yang menceritakan tentang proses pencarian nabi Ibrahim akan Tuhannya.
 $£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% Iw =Ïmé& šúüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù Ÿ@sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u žúsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$žÒ9$# ÇÐÐÈ $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çŽt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»tƒ ÎoTÎ) Öäü̍t/ $£JÏiB tbqä.ÎŽô³è@ ÇÐÑÈ ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# šßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& šÆÏB šúüÏ.ÎŽô³ßJø9$# ÇÐÒÈ
Artinya ;
76.  Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata: "inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
77.  Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: "inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: "sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah Aku termasuk orang yang sesat."
78.  Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: "inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya Aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan.
79.  Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Begitu juga firman Allah swt dalam surat Ar-Ra’ad ayat 11 yang memerintahkan manusia untuk senantiasa berbuat dalam hidupnya, ayatnya sebagai berikut:
3 žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sŒÎ)ur yŠ#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß Ÿxsù ¨ŠttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrߊ `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya :“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.

Juga dalam sabda Rasulallah SAW yang artinya: Dari Abu Hurairah  ia berkata, Rasulullah  bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbutan kalian.” (HR. Muslim)
Dari beberapa ayat Al-Qur’an dan Hadits diatas menjelaskan bagaimana proses manusia mencari dan mendapatkan ilmu pengetahuan serta belajar dari pengalaman dan perbuatan hidupnya sebagai proses pembelajaran yang sangat menentukan. Dalam proses belajar inilah ajaran Islam sesuai dengan pemikiran konstruktivisme yang mengedepankan pengalaman hidup dan perbuatan dari peserta didik sebagai pondasi awal dalam mengembangkan pembelajaran kedepannya. Untuk itulah Pendidikan Agama Islam (PAI) memanfaatkan beberapa seruan konstruksionis, misalnya :
1.    Perlunya peserta didik berpartisipasi aktif dalam proses pembelajaran.
2.    Perlunya peserta didik mengembangkan kemampuan belajar mandiri.
3.    Perlunya peserta didik memiliki kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
4.    Perlunya peran guru sebagai fasilitator, mediator, dan manajer pembelajaran.
Mengingat teori konstruktivisme terlahir dari pemikir  barat non-Muslim, maka sebelum diterapkan dalam praktik pembelajaran PAI, perlu dikaji relevansinya dengan teori  pembelajaran dalam pendidikan Islam. Yang dimaksudkan relevansi disini adalah sejauhmana kesesuaian antara teori konstruktivisme dengan teori pendidikan Islam tentang proses pembelajaran yang mencakup dua kegiatan yaitu proses belajar dan mengajar (teaching and learning process).
Dalam pandangan konstruktivisme, konsep belajar lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan pemahaman yang mendalam dari pada sekedar pembentukan perilaku atau keterampilan. Menurutnya belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi pengertian dan pemahaman. Belajar bukan suatu perwujudan hubungan stimulus-respon. Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan struktur konseptual melalui refleksi dan abstraksi.
Sedangkan dalam pandangan pendidikan Islam, belajar atau ta'lim mencakup kegiatan yang luas, tidak sekedar terkait pengembangan pengetahuan saja, melainkan juga pengembangan keterampilan, pembentukan sikap dan perilaku yang baik. Belajar tidak hanya mencakup aspek pengetahuan yang sempit, namun juga meliputi berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang tercermin jelas dalam perilaku manusia di setiap aspek kehidupan dan setiap tindakan. Di sini terlihat bahwa pendidikan Islam tidak hanya bertumpu pada satu jenis aliran psikologi belajar tertentu, behavioristik, kognitif, atau humanistik saja, namun mencakup semuanya. Konstruktivisme lebih fokus kepada aliran psikologi kognitif. Sedangkan pendidikan Islam lebih bersifat komprehensif dan universal.
Pandangan konstruktivisme tentang belajar tersebut ada kesesuaiannya dengan pandangan pendidikan Islam terkait dengan pengembangan aspek pengetahuan (aspek kognitif). Meskipun dalam batas-batas tertentu antara keduanya juga berbeda. Konsep pengetahuan dalam Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.        Al-'ilm yang menunjuk kepada pengetahuan yang hanya dapat diterima oleh manusia dengan daya usaha kerja, amal ibadah serta kesucian hidupnya, yakni dengan keihlasan dan khidmat ibadah kepada Allah Swt dan bergantung kepada kehendak dan karunia Allah Swt.
2.        'ilm bentuk jamaknya 'ulum adalah pengetahuan yang diperoleh sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha akliah melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar akali dan pemerhatian, penyelidikan, dan pengkajian. Pengetahuan ini berdasar pada pengumpulan kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi. Pencapaian pengetahuan jenis kedua ini ditempuh melalui proses penginderaan terhadap objek luar serta pengolahan lewat akal pikiran. Di sini indera dan akal manusia merupakan alat yang memegang peranan yang cukup vital dalam pencapaian pengetahuan. Indera merupakan pintu gerbang dalam pencapaian pengetahuan dan akal yang akan memprosesnya lebih lanjut sehingga menjadi pola-pola pengetahuan.
Konsep belajar untuk pencapaian pengetahuan yang kedua tersebut yang ada kesesuaiannya dengan konsep belajar menurut pandangan konstruktivisme, sedangkan konsep belajar untuk mencapai pengetahuan yang pertama konstruktivisme tidak memilikinya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep belajar untuk pengembangan aspek pengetahuan (kognitif) saja ternyata sebenaranya konsep pendidikan Islam jangkauannya melebihi konsep konstruktivisme.
Kesesuaiannya antara konstruktivisme dan pendidikan Islam, terletak pada konsep dasar mengajar. Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar kepada si belajar (siswa). Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak lagi sebagai transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator dan motivator bagi perkembangan potensi si belajar.
Sedang perbedaan antara keduanya adalah bahwa mengajar dalam pandangan pendidikan Islam tidak hanya memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga memfasilitasi perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini kemudian juga berimplikasi kepada peran guru dimana di samping sebagai fasilitator dan motivator, dalam pendidikan Islam guru juga harus memerankan diri sebagai model (role model) perilaku yang baik bagi si bclajar. Oleh karena itu, menurut pandangan pendidikan Islam, guru atau pendidik dituntut untuk memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam sehingga benar-benar dapat dijadikan model (uswah hasanah) bagi para peserta didiknya.[24] 
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa, konstruktivisme merupakan aliran filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi kita sendiri. Pembelajaan menurut konstruktivisme yaitu kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya, siswa mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah ada dalam pikiran mereka. Pendekatan pembelajaran yang berasaskan Konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaidah pembelajaran yang sesuai dan murid dapat menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk memperoleh suatu konsep atau pengetahuan.
Mengingat teori konstruktivisme terlahir dari pemikir Barat non-Muslim, maka sebelum diterapkan dalam pembelajaran PAI, perlu dikaji relevansinya dengan teori pembelajaran dalam pendidikan Islam. Kesesuaian antara konstruktivisme dan pendidikan Islam, terletak pada konsep dasar mengajar. Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar kepada si belajar (siswa). Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak lagi sebagai transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator dan motivator bagi perkembangan potensi si belajar. Sedang perbedaan antara keduanya adalah bahwa mengajar dalam pandangan pendidikan Islam tidak hanya memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga memfasilitasi perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang mencakup potensi kognitif, afektif dan psikomotor.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrasi-Interkoneksi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, Hlm. 174.
Bajongga Silaban, “Implikasi Konstruktivis Terhadap Pembelajaran Kooperatif”, Jurnal UDA.
Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999.
Ida Bagus Putrayasa, Landasan Pembelajaran, Undiksha Press, Singaraja, 2013.
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat Pendidikan Islam, Genta Press, Jogjakarta, 2008.
Jujun S. Suriasumantri. “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer” , PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 2010.
M. Gail Jones, Laura Brader-Araje, “The Impact of Constructivism on Education:  Language, Discourse, and Meaning”, American Communication Journal, Volume 5, Issue 3, Spring 2002.
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, STAIN Salatiga Press, Salatiga, 2007.
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, epistemology, Aksiologi dan logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.
Peggy A. Ertmer and Timothy J. Newby , “Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical Features From an Instructional Design Perspective”, Performance Improvement Quarterly Journal, Volume 26, Number 2 / 2013.
Sukiman, “Teori Pembelajaran dalam Pandangan Konstruktivisme  dan Pendidikan Islam”, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2008.
Waston, “Epistimologi Konstruktivisme dan Pengaruhnya Terhadap Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 2, Nopember 2014.
Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2013.





[1] Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam, Logos, Jakarta, 1999, hlm. 2.
[3] Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2013, hlm. 58.
[4] M. Gail Jones, Laura Brader Araje, “The Impact of Constructivism on Education:  Language, Discourse, and Meaning”,  American Communication Journal, Volume 5, Issue 3, Spring 2002.
[5] Wiji Suwarno, Op.Cit,  hlm. 58-59.
[6]Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm. 174.
[7] Ida Bagus Putrayasa, Landasan Pembelajaran, Undiksha Press, Singaraja, 2013, hlm. 82.
[8] Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm. 178.
[9] Bajongga Silaban, “Implikasi Konstruktivis Terhadap Pembelajaran Kooperatif”, Jurnal UDA, hlm. 8-10
[10] Abd Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrasi-Interkoneksi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 113.
[11] Waston, “Epistimologi Konstruktivisme dan Pengaruhnya Terhadap Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 2, Nopember 2014, hlm. 125-126.
[12] Ida Bagus Putrayasa , Op. Cit., hlm. 86.
[13] Abdul Majid, Op.Cit., hlm. 194.
[14] Ibid, hlm. 195-196.
[15] Ibid, Hlm. 195.
[16] Ibid, hlm. 197-200.
[17] Peggy A. Ertmer and Timothy J. Newby , “Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical Features From an Instructional Design Perspective”, Performance Improvement Quarterly Journal, Volume 26, Number 2 / 2013, hlm. 58.
[20] Ida Bagus Putrayasa , Op. Cit., hlm. 90-91
[21]Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hlm. 101.
[22]Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, epistemology, Aksiologi dan logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011, hlm. 74.
[23]Jujun S. Suriasumantri. “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer” , PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 2010, hlm. 50.
[24] Sukiman, “Teori Pembelajaran dalam Pandangan Konstruktivisme  dan Pendidikan Islam”, Jurnal Kependidikan Islam, Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2008, hlm. 66-68.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda