Selasa, 20 September 2016

BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN Prof. Dr. H. ABDUL MUKTI ALI



BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN Prof. Dr. H. ABDUL MUKTI ALI
Artikel
Disusun oleh : Mohammad Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Hasan Bisri, M.Ag.

A.      PENDAHULUAN
Seiring dengan perkembangan paradigma (cara berpikir) dalam masyarakat muncul pula berbagai metode pemikiran dalam memahami ajaran agama Islam baik itu yang tekstual maupun kontekstual, sekulari, pluralis dan sebagainya.  Dengan itu,  maka tak jarang dalam kehidupan bermasyarakat sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ajaran agama Islam dan pengaplikasiannya dalam masyarakat. Semua itu menjadi sebauah warna yang unik dalam perkembangan keilmuan agama Islam dari masa ke masa sejak zaman Nabi sampai zaman modern seperti saat ini.
Sebagai salah seorang yang berpengaruh karena beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama tentunya Mukti Ali juga banyak memberikan kontribusi pemikiran dan pendapat yang memberikan pencerahan dalam ranah pemikiran agama Islam. Diantaranya juga ada berbagai pendekatan yang dipakai yaitu naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Maka untuk menyikapi beberapa warna pemikiran ini perlu diadakan studi. Mukti Ali memberikan beberapa penawaran pemikiran agar dalam memahami ajaran agama Islam, umat tidak akan tersesat dan memahami ajaran agama Islam dengan benar.

B.       RUMUSAN MASALAH
1.      Biografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
2.      Apa hasil pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali ?
3.      Apa sajakah metode yang diutarakan Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali dalam pemikirannya ?
4.      Apa hikmah dibalik mengenal dan mempelajari autobiografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali?

C.      PEMBAHASAN
1.      Biografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
a.    Riwayat Hidup
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali lahir di Desa Balun Sudagaran Cepu tanggal 23 Agustus 1923, memiliki nama kecil Soedjono (Sujono), namun sumber lain menyebutkan Boedjono (Bujono), Sedangkan nama Abdul Mukti Ali ia dapat dari pemberian K.H. Abdul Hamid Pasuruan ketika menjadi gurunya. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara. Mukti Ali hidup di kalangan keluarga yang berkecukupan, ayahnya bernama Idris, atau Haji Abu Ali adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses. Sedangkan ibunya bernama Mutiah, atau Hj. Khodijah adalah seorang saudagar kain.
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali adalah Menteri Agama RI pertama yang bukan dari Parpol. Ia menjadi Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan I (11 September 1971-1973) dan II (1973-29 Maret 1978). Ketika menjadi Menteri Agama, ia melakukan banyak pembaruan dan muncul istilah “Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya”.[1]
Selain sebagai menteri Agama beliau juga aktif mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Islam, seperti PTAIN di Yogyakarta, Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta,  IAIN Jakarta, Universitas Islam Djakarta (UID), dan IKIP Muhammadiyah. Pada tahun 1960, ia diangkat menjadi sekretaris Fakultas Adab IAIN Jakarta sambil mengajar bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 1961, oleh Prof. H. Muchtar Yahya, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, diminta membuka Jurusan Perbandingan Agama selain Jurusan Pendidikan dan Filsafat yang lebih dahulu ada di Fakultas Ushuluddin, dengan ketua jurusan Mukti Ali sendiri. Setelah Jurusan Perbandingan Agama dibuka dan mulai berjalan  beberapa tahun, pada 1964, Mukti Ali diangkat menjadi wakil Rektor III bidang Publik. Kemudian ia dipercaya sebagai pembantu Rektor I bidang akademik, tahun 1968. Di sela-sela kesibukannya sebagai wakil Rektor I, Mukti Ali juga mengajar mata kuliah Timur Tengah Modern di Fakultas Sastra dan Budaya UGM  dan IKIP  Negeri Yogyakarta. Disamping itu, dia juga mengajar Ilmu Perbandingan Agama di Akademi AKABRI Magelang, serta di Akademi Udara Adisucipto dan juga di SESKAU Bandung.
b.   Riwayat Pendidikan
Pada tahun 1931 di usia delapan tahun, Mukti Ali menempuh pendidikan formal di HIS (Hollandsch Inlandsche School), sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda setingkat Sekolah Dasar. Di samping itu, ketika sore hari ia mengaji di Madrasah Diniyah di Cepu. Setelah menyelesaikan pendidikannya di HIS dan mendapat sertifikat pegawai pemerintah Belanda (Klein Ambtenar Examen), Mukti Ali melanjutkan ke Ponpes di Cepu untuk belajar al-Qur'an kepada Kiai Usman. Di bawah asuhan Kiai Usman yang terkenal tegas, Mukti Ali belajar membaca al-Qur'an dengan fasih dan tartil menurut kaidah ilmu tajwid.
Pada pertengahan tahun 1940, Mukti Ali belajar di Ponpes Termas, Pacitan, di bawah asuhan K.H. Dimyati dan puteranya K.H. Abdul Hamid Dimyati. Ia intensif mempelajari berbagai kitab klasik seperti Nahwul Wadlih, Balaghatul Wadhihah, Jurumiyah, Alfiyah, Taqrib, Iqna', 'Mustalah Hadis', 'Jam'ul Jawami', dan lain-lain.  Di pesantren tradisional ini, Mukti Ali banyak belajar dan berdiskusi dengan para seniornya. Di antara para senior Mukti Ali adalah K.H. Abdul Hamid (asal Lasem yang kemudian menetap di Pasuruan) dan K.H. Ali Ma'sum (Rais Aam Syuriyah PBNU 1981-1984). Di Pesantren ini juga Mukti Ali bersama K.H. Ali Ma'sum sempat merintis berdirinya madrasah yang kemudian K.H. Ali Ma'sum menjadi kepala sekolah dan Mukti Ali menjadi wakilnya.[2]
Setelah selesai belajar agama di Pesantren Termas, Mukti Ali malanjutkan pendidikan agamanya di Pesantren Hidayah, Saditan, Lasem, Rembang di bawah asuhan K.H. Maksum, ayah dari K.H. Ali Ma'sum, sahabat dan gurunya di pesantren Termas. Meskipun kedua pesantren yang pernah ia singgahi untuk belajar tersebut berbasis Nahdlatul Ulama, namun Mukti Ali tumbuh dan berkembang menjadi ulama intelektual dan ulama pembaharu yang berpengaruh.
Setelah menuntaskan pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali melanjutkan pendidikannya di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta yang saat itu baru saja berdiri. Ia memilih Fakultas Agama sebagai pilhannya. STI inilah yang sekarang dikenal sebagai Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada tahun 1950, Mukti Ali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selanjutnya, ia memutuskan untuk pergi ke Karachi, Pakistan. Dengan kemampuan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris yang baik, Mukti Ali diterima di program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab, Universitas Karachi, Ia mengambil program Sejarah Islam sebagai bidang spesialisasinya. Lima tahun kemudian, Mukti Ali mampu menamatkan program tingkat sarjana mudanya sekaligus melanjutkan program Ph.D di universitas yang sama. Pada bulan Agustrus 1955, ia ke Montreal, Kanada, untuk melanjutkan belajarnya di Universitas Mc Gill dengan mengambil spesialisasi Ilmu Perbandingan Agama.[3]
c.          Karya-Karya Mukti Ali
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku antara lain :
1)             Pemberontakan Ahmad Uarabi dan Perjuangan Konstitusi di Mesir dan Gerakan Imam Mahdi di Sudan Yogyakarta: Media, 1969.
2)   Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan Tentang Metodos dan Sistema, Yogyakarta: yayasan Nida, 1965.
3)             Keesaan Tuhan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: yayasan Nida, 1972.
4)             Asal-Usul Agama, Yogyakarta: yayasan Nida, 1970.
5)           Etika Agama dalam Pembinaan Kepribadian Nasional dan  Pemberantasan Kemiskinan dari Segi Agama Islam, Yogyakarta; yayasan Nisa, 1971.
6)    Masalah Komunikasi Ilmu Pengetahuan dalam Rangka Pembangunan  Nasional , Yogyakarta, Yayasan Nida, 1971.
7)             Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida, 2970.
8)             Beberapa Masalah Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971.
9)             Faktor-Faktor Penyiaran Islam di Indonesia, Yogyakarta: Nida, 1971.
10)         Relegion And Development in Indonesia, Yogyakarta: Nida, 1971.
11)         Seni, Ilmu dan Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1972
12)          Laboratorium Hisab dan Ru’yah.
13)         Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali press, 1981.
14)         Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia, Bandung: Mizan, 1988.
15)         Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Jakarta, 1990. 
16)         Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan  Muhammad Iqbal , Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
17)      Ta’limul Muta’allim Versi Imam Zarkasyi, Suatu Pembahasan Perbandingan Tentang Metodologi Pendidikan Agama di Abad  Pertengahan dan di Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo.
18)         Ensiklopedi Islam di Indonesia, 3 jilid (sebagai anggota dewan redaksi)
19)         Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulang Bintang, 1991.
20)         Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam, Bandung: Mizan, 1991.
21)         Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mizan, 1992.
22)         Islam dan Sekularisme di Turki Modern, Jakarta: Djambatan, 1994.
23)         Alam Pikiran Islam Modern: di Timur Tengah, Jakarta, 1995.
24)         Ibnu Khaldun dan Asal Usul Sosiologi, Yogyakarta: Nida, 1997.
25)     Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer , Yogyakarta: Yayasan Nida, 1997.
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta. Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.

2.      Pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
a.      Mengintegrasi studi keilmuan Islam dengan keilmuan lainnya.
Metode mempelajari islam yang berlaku di Indonesia masih terbagi- bagi menjadi tauhid, fiqih, akhlak, tasawuf, tarikh, tafsir, hadis, dan sebagainya. Tiap cabang ilmu itu diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar, lebih tinggi tingkatannya, lebih luas uraiannya. Hasilnya adalah pengetahuan tentang Islam yang tidak bulat, orang yang mendalami tasawuf seringkali menganggap remeh tentang fiqih, dan orang yang ahli fiqih tidak jarang merendahkan tasawuf. Begitu juga orang yang mendalami filsafat seringkali merendahkan antropologi, sosiologi, dan sebagainya, dan tidak jarang orang yang mendalami antropologi dan sosiologi memicingkan mata sebelah terhadap fiqih, hadis, dan sebagainya.
Begitu juga pendekatan terhadap agama Islam masih sangat pincang. Ahli-ahli Ilmu pengetahuan termasuk dalam hal ini para orientalis, mendekati Islam dengan Metode Ilmiah saja. Akibatnya ialah bahwa penelitiannya itu menarik tapi sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh. Yang mereka ketahui hanya eksternalitis (segi-segi luar) dari Islam saja. Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran islam dengan doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan kenyataan-kenyataan hidup dalam  masyarakat. Akibatnya ialah penafsirannya itu tidak dapat diterapkan dimasyarakat. Inilah sebabnya orang memiliki kesan bahwa Islam sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan alam pembangunan ini.
Menurut Mukti Ali hal ini tidak boleh terjadi. Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena itu, bagi metode studi Islam yang sudah terlanjur hendaknya  diajarkan Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif.  Dengan demikian kita dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat dan utuh. Mukti Ali yakin bahwa dengan itu kita akan dapat meletakkan dasar yang paling kokoh untuk ekspansi dan perkembangan pemikiran islam selain itu, dengan pengertian yang utuh terhadap islam akan membawa kita untuk memahami masyarakat secara utuh pula, dengan meluaskan jalan kearah pengokohan ummatan wahiddin, ummatut tauhid.
b.      Metode penelitian dan cara memandang sesuatu dengan benar
Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu. Untuk ini kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad 14, 15 dan 16 Masehi. Aristoteles (384-322 SM) sudah tentu jauh lebih jenius dari Francis Bacon (1561-1626), dan plato (366-347 SM) adalah lebih jenius dari Roger Bacon (1214-1294). Dalam hal tersebut dua orang Bacon itu menjadi faktor dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan stagnasi dan kemandegan.
Ada pertanyaan mengapa orang-orang jenius menyebabkan kemandegan dan stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang yang biasa-biasa saja dapat membawa kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya, maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya.  Uraian tersebut sama sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan yang ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilih metode yang akan digunakan untuk kerjanya dalam bidang pengetahuan. Metode yang tepat adalah masalah pertama yang harus diusahakan dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode yang paling tepat untuk riset dan penelitiannya. Selain itu penguasaan metode yang tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya. Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu, dan bukan menjadi produsen.[4]
c.       Pemikiran Pendidikan Moral
Secara umum, Mukti Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun tulisan.
Sedangkan kepada golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk mengatasi persoalan-persoalan empirik.
d.      Pemikiran keagamaan Mukti Ali dan Perbandingan agama
Drs. A. Singgih Basuki, MA., (56 tahun) mengatakan, Mukti Ali adalah seorang pemikir Islam Indonesia (1923-2004) yang berkarakter kuat, berpikiran modern ,dan konsisten. Sosoknya sangat fenomenal di kalangan akademisi Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam sampai saat ini. Prestasi Akademiknya, berhasil mengembangkan Ilmu Perbandingan Agama dengan membuka Jurusan Perbandingan Agama pada Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Di Jurusan inilah semua agama dipelajari dan diperbandingkan agar umat manusia dapat saling menghargai perbedaan agama secara wajar. Usaha Mukti Ali mengembangkan Perbandingan Agama sebagai salah satu kajian utama di IAIN, telah memberikan dampak yang signifikan bagi berkembangnya wacana dialog antar agama di Indonesia.
Bagaimana sesungguhnya pemikiran keagamaan Mukti Ali, Singgih Basuki mengungkapnya kembali melalui studi riset, yang kemudian diangkatnya menjadi karya disertasi untuk meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga. Karya disertasi Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga ini, dipertahankan dihadapan tim penguji antara lain Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA., Prof.Dr. H.M. Bahri Ghozali. MA.,dan Prof. Dr. H. Machasin, MA.,Prof. Dr. Banawiratma ,Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA.,(Promotor merangkap penguji) serta Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA.,(Promotor merangkap penguji), bertempat di Gedung Convension Hall kampus setempat, Jum’at,19 Oktober 2012.
Dalam karya riset disertasi yang mengangkat judul “Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali”, Putra kelahiran Ngawi ini antara lain memaparkan bahwa, ide dasar pemikiran Mukti Ali diantaranya: agama (Khususnya Islam) mengandung nilai kebenaran, keselamatan dan kesejahteraan lahir batin untuk seluruh umat manusia yang kekal dan universal, sehingga relevan sepanjang Zaman. Ajaraan Islam ini di turunkan kepada seluruh umat manusia dalam konteks ruang dan waktu apapun. Oleh karenanya, sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berhenti berfirman setelah Al- Qur’an. Allah SWT terus-menerus menyatakan kehendak-Nya sepanjang zaman. Untuk memahami kehendak Allah SWT sampai akhir zaman ini, agama harus senantiasa diaktualisasikan agar dapat member inisiatif dan pandangan yang dinamis serta kreatif pada pergaulan hidup seluruh umat manusia.
Sementara itu mengacu pada tiga konsep orientasi agama Allport dan Ross, yang memandang agama sebagai tujuan akhir, agama sebagai alat dan agama sebagai pencarian, maka orientasi pemikiran Mukti Ali, memposisikan agama sebagai proses pencarian kreatif dalam kehidupan untuk menemukan tujuan hidup yang mulia, sesuai yang dikehendaki Allah SWT, tertanam dalam qolbu manusia, yang harus terus diasah dan diperjuangkan oleh semua umat manusia. Maka Menurut Mukti Ali melalui agama, khususnya Islam, setiap manusia akan bersikap kritis dan sensitif terhadap agama. Setiap manusia akan belajar dan berfikir untuk menemukan hakekat terdalam dari pesan-pesan agama.
Bentuk pemikiran keagamaan Mukti Ali terbangun atas tiga etos: Keilmuan, Kemanusiaan dan Kebangsaan.
1.    Etos keilmuannya bertumpu pada poros metodologi tiga arus yang disebut scientific-cum-doctrinaire. Etos keilmuan Mukti Aliscientific-cum-doctrinaire memperkenalkan pemahaman agama secara multidimensi sehingga pemahaman terhadap agama menjadi utuh, bersesuaian dengan tradisi yang hidup di masyarakat, universal dan dalam batas-batas tertentu, pesan-pesan agama akan mengalami perubahan karena menyesuaikan lingkungan yang terus berubah. Demikian juga pendekatan agama juga akan mengalami persesuaian agar tercipta sikap yang terbuka,saling menghormati dan toleransi yang tinggi baik antar sesama agama yang sama maupun antar umat beda agama.
2.    Etos kemanusiaan Mukti Ali memposisikan peran agama dalam mendorong pembangunan bangsa dan Negara. Konsep Mukti Ali tentang pembangunan manusia seutuhnya menjadi tumpuan yang mengawal proses pembangunan di Indonesia sejak masa Orde Baru. Melalui konsep Mukti Ali inilah nilai-nilai agama mampu menjadi motivator dalam berbagai program pembangunan di Indonesia.
3.    Etos kerukunan dan dialog Mukti Ali bernafaskan konsepagree in disegeement yang dikembangkan di Indonesia sampai sekarang. Pemikirannya tentang kerukunan hidup antar umat beragama dan dialog juga sampai saat ini terus digelorakan di seluruh wilayah Indonesia, lebih-lebih dengan semakin banyaknya konflik antar umat beragama di negeri ini, demikian jelas Singgih Basuki.[5]
e.       Pemikiran pendidikan di Indonesia
Ketika menjadi menteri Agama Mukti Ali melakukan banyak pembaruan, pada masa itu muncul istilah, “Pembanguan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya”. Konsep “ pembangunan manusia seutuhnya”, bertitik berat pada aspek manusia dengan religiositasnya. Dalam pandangan Mukti Ali, menekankan pembangunan ekonomi saja akan menyebabkan tumbuh suburnya kapitalisme dan imperialisme, sedangkan dengan konsep “pembangunan masyarakat seutuhnya” diharapkan diskriminasi pembangunan antar kelompok etnik dan daerah dapat dihindari.
Selain itu, gagasan dan pemikiran Mukti Ali memasuki wilayah dialog dan penciptaan kerukunan antarumat beragama serta pembersihan citra Kementrian Agama sebagai alat perjuangan politik golongan Islam tertentu, serta membentuk Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada akhir tahun 1975. Mukti Ali juga memiliki gagasan yang terkait dengan pembaruan di IAIN, dalam berbagai forum ia menggugat beberapa kelemahan IAIN, yakni dalam penguasaan bahasa asing selain Arab (khususnya Inggris), minat ilmu, dan metode penelitian ilmu Islam.[6]
Empat poin pemikiran dan kebijakan Mukti Ali, khususnya yang  berkaitan dengan pengembangan pendidikan Islam sebagai berikut.
1.      Kebijakan tentang pembenahan lembaga pendidikan Islam.
Upaya ini dilakukan dengan mengambil inisiatif bekerjasama dengan departemen lain, khususnya departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Setelah melalui proses panjang dan hati-hati, lahirlah surat keputusan  bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri P&K dan Menteri Dalam Negeri atau yang dikenal SKB tiga menteri, No.6 Tahun 1975, dan No. 037/U/a975. Dalam SKB tiga menteri tersebut ditegaskan: (1) agar ijazah madrasah dalam semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum. (2) agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih di atas. (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat, maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% pelajaran umum, dan 30% pelajaran agama.
2.      Kebijakan tentang modernisasi lembaga pesantren.
Meskipun Mukti Ali menjaga kemandirian pesantren dengan mempertahankan sistem atau bahkan kurikulum yang sudah berjalan, keinginannya untuk membawa  pesantren ke pusat perhatian Orde Baru sangat besar. Melalui SKB Mentri Agama dengan Menteri Pertanian No. 34 A Tahun 1972, mengadakan program bersama dengan Departemen Pertanian untuk mengadakan pembinaan Ponpes dalam bidang pertanian dan  perikanan. Kerja sama itu juga dilakukan dengan departemen-departemen lain, yang intinya ditujukan untuk memberi pembinaan-pembinaan manajerial  bagi pengelolaan lembaga pendidikan Islam.
3.      Kebijakan tentang pembenahan IAIN.
Segera setelah Departemen Agama mencanangkan perluasan pendidikan tinggi bagi umat Islam, sebagaimana tercantum dalam Repelita I Tahun 1969-1973, umat Islam secara beramai-ramai entah atas nama yayasan agama, organisasi,  pesantren atau pribadi, mendirikan IAIN. Menurut laporan Departemen Agama, disebutkan bahwa pada  pertengahan tahun 1973, jumlah lembaga pendidikan tinggi Islam se Indonesia ada sekitar 112 IAIN, tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ada yang di kota besar, dan ada juga yang di kota kecamatan, bahkan di pedesaan. Mempertimbangkan perkembangan ini, Mukti Ali kemudian meneliti kelayakan IAIN yang berjumlah besar itu. Hasilnya berdasarkan Keputusan Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama (Bimperta) No. 32 Tahun 1975, dari 112 IAIN itu hanya 13, semuanya terdapat di kota provinsi, dan yang memenuhi syarat-syarat menjadi lembaga pendidikan tinggi agama, diberi izin untuk beroperasi, selebihnya ditutup. Sementara IAIN yang berada di kota kabupaten, seperti Cirebon, Serang, Malang, dan mataram, yang dipandang memenuhi syarat dijadikan IAIN cabang yang secara administratif  berada di bawah supervisi IAIN yang di kota provinsi.
4.      Kebijakan peningkatan mutu IAIN.
Kebijakan ini dilakukan dengan cara meningkatkan mutu tenaga pengajar di IAIN. Dalam kaitan ini, Departemen Agama mulai mengirimkan dosen-dosen untuk belajar ke luar negeri, antara lain Timur Tengah, Amerika Serikat, Belanda, dan Kanada. Menurut catatan Departemen Agama, hingga 1972, jumlah dosen IAIN dan  pejabat Departemen Agama yang dikirim ke Barat ada sekitar 55 orang. [7]

3.      Metode Pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Jika kita mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka ada tiga cara yang digunakan. Tiga cara pendekatan itu adalah naqli (tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Tiga pendekatan ini sudah ada dalam pikiran Nabi Muhammad saw., dan terus dipergunakan oleh ulama-ulama Islam setelah beliau wafat. Kadang-kadang ada pendekatan yang sangat menonjol pada suatu ketika, kemudian surut dan diganti dengan pendekatan lain, tetapi bagaimana pun juga, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda, tiga pendekatan itu terdapat dalam cara ulama-ulama Islam berusaha memahami agama Islam.
Adapun metode pendekatan yang digunakan Mukti Ali dalam memahami ajaran Agama Islam, diantaranya yaitu:
a.         Metode Scientific Cum Doktriner
Dalam mempelajari dan mengetahui Islam kita kenal metode orang-orang Barat yang meneliti Islam, yaitu metode naturalis, psikologis, dan sosiologis. Kita harus mempelajari metode-metode ilmiah yang digunakan oleh orang-orang Barat itu, akan tetapi bukan merupakan suatu keharusan untuk mengikuti metode-metode itu. Dewasa ini metode-metode ilmiah dalam segala cabang ilmu pengetahuan telah mengalami perubahan, dan pendekatan-pendekatan baru telah ditemukan. Jadi metode-metode baru harus dipilih dalam penyelidikan tentang agama.
Islam adalah agama yang bukan mono- dimensi, oleh karena itu satu metode saja tidak cukup untuk mempelajari Islam. Islam bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini hanya merupakan salah satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi ini, metode filosofis harus digunakan, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas dalam filsafat, dalam artian pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk memahami dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk masyarakat dan peradaban . Untuk mempelajari dimensi ini maka metode sejarah dan sosiologi harus dipergunakan. Selain itu karena Islam adalah suatu agama maka metode-metode tersebut harus ditambah dengan  doktriner.[8]
b.        Metodologi Sosio-Historis
Banyak tulisan Mukti Ali yang menggunakan pendekatan sejarah, menurutnya sejarah itu penting untuk mengetahui dan memahami masyarakat dengan perubahan-perubahannya. Sedangkan aspek sosial dalam masyarakat sangat efektif menggunakan pendekatan sosiologis, sehingga beliau menawarkan menggunakan pendekatan sosio-historis.
Pendekatan sosio-historis dimaksudkan suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan, ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam Islam sebenarnya metode ini sudah ada dalam asbabun nuzul dan asbabul wurud untuk memahami Al-Qur’an dan Hadits. Penggunaan metode sosio-historis dalam memahami ajaran Islam berarti menguraikan dan merumuskan ajaran Islam dan sumber dasarnya Al-Qur’an Hadits, sifat dan kebudayaan arab sebelum dan sesudah Islam lahir.[9]
c.         Metode Tipologi
Metode ini oleh banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai tipe yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana-sarjana Barat untuk memahami ilmu-ilmu manusia.[10] Dalam hal Agama Islam, juga agama-agama lain kita dapat mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama-agama lain :
1)   Aspek Ketuhanan
Agar dapat mengetahui lebih luas tentang Islam, yang perlu kita ketahui pertama adalah Tuhan. Untuk mengenal dengan betul ciri-ciri Tuhan, kita harus kembali kepada Al-Quran yang telah menerangkan dengan jelas sifat-sifat Tuhan, dan hadis Nabi, serta keterangan dari pemikir-pemikir besar Muslim dalam bidang itu. Lalu kita bandingkan konsepsi tentang Allah itu dengan tuhan dalam agama-agama lain.
2)   Aspek Kitab Suci
Tingkat kedua untuk mengetahui Islam adalah mempelajari Kitab sucinya yaitu Al-Qur’an. Orang harus mengetahui Al-Qur’an itu kitab apa dan masalah-masalah apa saja yang digarap oleh Al-Qur’an itu dan bagaimana caranya. Setelah itu kita bandingkan Al-Qur’an dengan kitab-kitab  suci agama lain.
3)   Aspek Kenabian
Tingkat ketiga dalam usaha untuk memahami agama Islam adalah mempelajari pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan membandingkannya dengan nabi-nabi dan pendiri-pendiri agama lain.
4)   Aspek Suasana dan Situasi dimana Nabi bangkit
Tingkat keempat untuk memahami Agama Islam adalah dengan meneliti waktu, suasana, dan situasi bangkitnya seorang nabi. Setelah itu membandingkan dengan situasi dan kondisi turunnya Nabi pada agama lain.
5)   Aspek Orang- orang terkemuka
Tingkat kelima dalam memahami agama Islam adalah dengan meneliti orang-orang terkemuka, atau individu-individu terpilih yang dihasilkan oleh agama itu. Misalnya keempat sahabat Nabi Muhammad saw. Dengan mempelajari kehidupan dan ide-ide empat orang tersebut kurang lebih dapat mewakili corak dan tingkatan masyarakat yang pertama kali didakwahi oleh Nabi. Orang dapat memahami akibat-akibat yang ditimbulkan oleh risalah Nabi Muhammad.

4.      Hikmah dan kritik mempelajari Autobiografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Setelah kita mempelajari biografi, sejarah hidup, karya, dan pemikiran Mukti Ali kita akan menemukan beberapa kenyataan pemikiran dan sudut pandang baru yang dapat kita renungkan, pelajari dan mencoba untuk merealisasikannya. Hikmah dan kritik pemikiran itu antara lain :
a.   Dengan bercermin pada riwayat pendidikan Mukti Ali, setidaknya kita perlu mencontoh bahwa untuk meningkatkan pengetahuan dan membuka wawasan /cakrawala hidup, kita tidak boleh fanatik dengan suatu bidang keilmuan saja atau orang/tokoh dan lembaga pendidikan tertentu, hendaknya kita mencari dan mengkombinasikan berbagai ilmu/pengetahuan itu dari manapun, siapapun asalkan dengan niat, cara dan metode yang benar.
b.   Pola pemikiran seseorang ditentukan oleh perjalanan dan pengalaman hidupnya, semakin banyak seseorang bergaul dengan siapapun dan berhijrah dari berbagai tempat semakin ia mampu menghargai dan menghormati berbagai perbedaan dan mengambil pelajaran dari perbedaan itu untuk bahan peningkatan keilmuannya.
c.  Keberhasilan suatu pekerjaan tidak semata-mata ditentukan oleh tingkat kepandaian / kecerdasan IQ seseorang, melainkan faktor pengalaman dalam menerapkan berbagai strategi dan metodologi yang tepat terhadap suatu situasi yang berbedalah yang sangat menentukan keberhasilan suatu pekerjaan itu.
d.   Untuk mendapatkan pengetahuan tentang Islam secara keseluruhan maka kita harus berani berfikir dan sejenak melepaskan diri dari belenggu doktrin-doktrin kemudian mengkombinasikan berbagai bidang keilmuan baik yang bernuansa Islam, sains, sejarah, sosiologis bahkan membandingkan dengan agama dan kepercayaan lainnya.
e. Kita belajar tidak hanya sekedar menjadi konsumen ilmu namun diharapkan mampu menjadi produsen ilmu, dalam artian kita tidak harus kaku dalam berfikir dan terlalu teoritis serta hanya menghafalkan atau memakai suatu ilmu, namun yang diharapkan umat Islam mampu berfikir kritis, mandiri, tepat guna untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang ada sesuai dengan tuntutan zaman.
f. Kritik terhadap Mukti Ali berkaitan dengan kurikulum di madrasah yang mana kurikulumnya menciptakan output yang setengah-setengah dan beban belajar siswanya berat karena terlalu banyak mapel dan materi serta tidak terfokus.
g. Sebagai menteri agama Mukti Ali tidak berani menggabungkan pendidikan formal keagamaan dalam satu naungan kementerian yang bergerak dalam bidang pendidikan, sehingga sampai sekarang terjadi dualisme sistem pendidikan di Indonesia yang menyebabkan pendidikan di Indonesia sampai sekarang masih carut marut konsepnya.
h. Konsep integrasi ilmu yang ditawarkan Mukti Ali disisi lain membuka wawasan dan cakrawala pengetahuan namun disisi lain mengaburkan kefokusan suatu ilmu sehingga sulit menciptakan ilmuan-ilmuan yang pakai guna. Karena adakalanya integrasi keilmuan yang mampu membawa perubahan dan menciptakan sesuatu yang berdaya guna lebih pada menjalin hubungan/interaksi dan kerjasama antar ilmuan yang menguasai dan fokus pada bidangnya masing-masing untuk saling melengkapi dalam menciptakan/memproduksi sesuatu.

D.      KESIMPULAN
1.    Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali lahir di Desa Balun Sudagaran Cepu tanggal 23 Agustus 1923, ayahnya bernama Idris (Haji Abu Ali) ibunya bernama Mutiah (Hj. Khodijah), Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan I (11 September 1971-1973) dan II (1973-29 Maret 1978) dengan programnya “Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya”.
2.    Pendidikan Mukti Ali Antara lain : HIS (Hollandsch Inlandsche School), Madrasah Diniyah di Cepu, Ponpes Termas, Pacitan, di bawah asuhan K.H. Dimyati dan puteranya K.H. Abdul Hamid Dimyati, Ponpes Hidayah, Saditan, Lasem, Rembang di bawah asuhan K.H. Maksum, ayah dari K.H. Ali Ma'sum, Sekolah Tinggi Islam (STI)/UII Yogyakarta, Universitas Karachi Pakistan, Universitas Mc Gill Kanada.
3.    Buku karya Mukti Ali Antara lain : Asal-Usul Agama, Dialog Antar Agama, Metode Memahami Agama Islam,  Seni, Ilmu dan Agama.
4.    Hasil pemikiran Mukti Ali Antara Lain :
a.    Mengintegrasikan studi keilmuan Islam dengan keilmuan lainnya.
b.    Metode penelitian dan cara memandang sesuatu dengan benar.
c.    Pendidikan moral.
d.   Pemikiran tentang agama/keagamaan (perbandingan agama).
e.    Pemikiran pendidikan di Indonesia.
5.    Metode pemikiran yang digunakan Mukti Ali dalam memahami ajaran agama Islam antara lain metode Scientific Cum Doktriner, Sosio-Historis, Tipologi.

E.       DAFTAR PUSTAKA
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam,  PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2005.
Azyumardi Azra , Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI : Biografi Sosial Politik,Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat,  Jakarta, 1998.
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
Moh Damami, Saefan Nur, dkk, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Makalah Pemikiran Pendidikan Abdul Mukti Ali, Misjaya, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A., Program Pasca Sarjana Ibnu Khaldum Bogor, 2013.
Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991.
Mukti Ali, Beberapa Permasalahan Agama Dewasa Ini, INIS, Jakarta, 1990.





[1] Van Hoeve, Ensiklopedi Islam,  PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2005, hlm. 99
[2] Azyumardi Azra , Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI : Biografi Sosial Politik,Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat,  Jakarta, 1998, hlm. 272-274.
[4] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Rajawali Pers, Jakarta, 2009,  hlm. 152-153
[6] Moh Damami, Saefan Nur, dkk, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm. 262-264.
[7] Makalah Pemikiran Pendidikan Abdul Mukti Ali, Misjaya, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A., Program Pasca Sarjana Ibnu Khaldum Bogor, 2013.
[8] Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991,  hlm. Vii.
[9] Mukti Ali, Beberapa Permasalahan Agama Dewasa Ini, INIS, Jakarta, 1990, hlm. 323.
[10] Mukti Ali, Op.Cit,  hlm. 37.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda