Selasa, 20 September 2016

PERAN AKAL DAN QOLBU DALAM MEMBENTUK AKHLAK MANUSIA



PERAN AKAL DAN QOLBU DALAM MEMBENTUK AKHLAK MANUSIA
Artikel
Disusun oleh : Mohammad Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana STAIN Pekalongan
Untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Pendidikan Spiritual dan Akhlak
Dosen Pengampu : Dr. H. Chusnan B. Djaenuri, M.A.

A.      PENDAHULUAN
Manusia seperti disebutkan dalam Al-Quran, diberikan kesempurnaan untuk menjadi Khalifah dimuka bumi ini. Kesempurnaan manusia itu telah di bekali oleh Allah dua hal yang saling bekerjasama, yaitu akal dan hati. Allah Swt menciptakan manusia dengan akal dan hati yang membuatnya berbeda dengan makhluk lainnya.
Akal dan hati ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Apa yang tidak dikuasai akal dapat dilakukan dengan hati, karena hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh akal. Dengan kata lain, ketajaman akal harus diimbangi dengan kecerdasan hati. Dalam menentukan sesuatu, keduanya harus terus berdialog tanpa putus. Jika salah satu tidak berfungsi, maka yang terjadi adalah ketersesatan hati dan keblingeran akal.
Akal dan Hati merupakan dua alat berfikir. Yang satu berfikir melalui logika rasio dan yang satu lagi berfikir melalui logika rasa, yang satu memilah salah dan benar sementara yang satu lagi memilah baik dan buruk, begitu kata Al-Ghazali. Dua-duanya merupakan alat dan sumber epistem pengetahuan, begitu kata Murtadha Muthahari. Yang tentu saja di samping alat Indra kita sebagai alat untuk menangkap realitas yang seterusnya ditafsir ulang oleh akal dan hati.
Kedua piranti dalam diri kita ini sangat dianjurkan untuk berjalan satu kata untuk tujuan keselarasan diri. Namun demikian, persoalannya adalah, kadang keduanya tidak seimbang. Penyebabnya banyak, bisa karena kurangnya pembekalan akal, atau juga kurangnya pembekalan hati. Apabila suatu saat terjadi kerusakan karena kelalaian salah satu dari keduanya maka akan terjadi ketidakseimbangan diri. Kekuatan utama kendali biasanya akal dan hati. Keduanya berupaya untuk menempatkan posisi dominan dalam diri kita. Sifat ragu muncul karena perbedaan pendapat antara akal dan hati.[1]

B.       RUMUSAN MASALAH
1. Hakekat akal dan hati manusia?
2. Pengaruh akal dan hati terhadap prilaku manusia?
3. Bagaimanakah mengkombinasikan peran akal dan hati untuk membentuk akhlak manusia?

C.      PEMBAHASAN

  1. 1.     Hakekat Akal dan Hati Manusia
a.    Akal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan melihat cara-cara memahami lingkungannya.  Ibnu  Bari mengartikan  akal  dalam  syairnya  sebagai  sesuatu  yang  memberikan  kesabaran  dan  wejangan (maw'izah)  bagi  orang  yang mempunyai  kebutuhan  (hâjah).  Sehingga  dikatakan,  al-'âqil  alladhî yahbisu nafsahu wa  yarudduhû  'an hawâhâ  (orang berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Akal pikiran adalah hasil kerja otak dan memori. Otak adalah pemroses hasil atau keluaran dari panca indera.  Pemahaman dengan akal pikiran adalah pemahaman secara logika atau pemahaman secara ilmiah. Seorang anak kecil yang belum baligh , mereka tidak dikatakan berakal walaupun mereka sudah dapat menggunakan logika/rasio/otaknya sebagaimana sabda Rasulallah SAW “Tidak dikenakan kewajiban atas tiga golongan orang, yaitu anak-anak sampai baligh, orang gila sampai sadar, dan orang tidur sampai terbangun” (HR.Bukhori, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthni, dan Ahmad).
Menurut tinjauan Al Qur’an akal adalah Hujjah atau dengan kata lain merupakan anugerah Allah SWT sebagai pembeda manusia dengan makhluk lain. Akal juga merupakan alat yang dapat menyampaikan kebenaran dan sekaligus sebagai pembukti dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, serta apa yang ditemukannya dapat dipastikan kebenarannya, asal saja persyaratan-persyaratan fungsi kerjanya dijaga dan tidak diabaikan. Dalam Al-Qur’an akal memiliki kedudukan yang mulia. Hal itu terbukti kata “akal” dalam Al-Qur’an disebut sebanyak 49 kali kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk kata kerja seperti dalam bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qilun terulang sebanyak 24 kali dan ya’qilun sebanyak 22 kali, sedangkan kata kerja a’qala, na’qilu dan ya’qilu masing-masing satu kali.[2]  Meskipun Al-Qur’an tidak menyebutkan “akal” dalam bentuknya sebagai ‘bagian tertentu dari diri manusia’ (جوهرا مستقلا فى النفس), yang menjadi sumber lahirnya segala perbuatan rasional, namun Al-Qur’an menyebutkan “akal” dalam maknanya sebagai ‘aktivitas menggunakan akal’ (عملية التعقل), yaitu seruan yang mengajak menggunakan akal sebagai jalan menuju kebenaran (التعقل), berpikir (التفكر), memperhatikan (النظر), memahami dan mempelajari (التفقه), mengambil hikmah dan pelajaran dari setiap kejadian (الاعتبار), dan semacamnya. Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menjunjung tinggi akal dan segala makna yang terkandung di dalamnya.
Akal merupakan salah satu bagian dari Nafs (Jiwa), dimana bagian-bagian lain dari jiwa adalah Ghadab (emosi) dan Syahwat (nafsu), akal merupakan penyeimbang dalam diri manusia, akal dinilai dapat meminimalisir kesalahan yang dilakukan manusia, akal sebagai penopang atau sebagai panduan manusia dalam menjalankan aktivitasnya sehari-hari, karena akal diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berfikir sehingga akal dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyimpan ilmu dimana manusia menggunakan ilmu tersebut sebagai tolak ukur dalam memandang, memahami serta melakukan aktivitas sesuai dengan syari’at dan ketentuan yang diberikan oleh Allah SWT. Dengan akal pula manusia mampu memahami petunjuk-petunjuk menuju jalan keselamatan yang ada dalam al-Qur’an.
Manusia adalah  makhluk yang sempurna di antara semua makhluk ciptaan Allah lantaran manusia di beri akal pikiran, inilah yang membuat manusia begitu sempurna. Bangsa jin diberi akal pikiran namun tidak sesempurna manusia, tapi mereka di beri kelebihan di dalam jasadnya, jasad mereka lepas dari ruang dan waktu sedangkan kita manusia memiliki kelebihan akal pikiran yang sempurna bahkan akal pikirannya mampu menembus ruang dan waktu, namun jasad manusia tidak mampu untuk menembus ruang dan waktu. Tumbuhan dan hewan, mereka tidak diberi akal pikiran dan jasad yang mampu menembus ruang dan waktu tersebut namun mereka di beri kelebihan roh, roh itu suci dan selamanya suci. Tumbuhan dan hewan bergerak berdasarkan  insting mereka karena rohnya yang suci dan mereka mampu merasakan keagungan dan kebesaran Allah SWT. Oleh sebab itu tumbuhan dan hewan tidak mempunyai dosa lantaran kesucian ruh tersebut.
Pada Al-Qur’an Allah berfirman tentang penggunaan akal ini yaitu terdapat di dalam surat Al An’am: 32
$tBur äo4quysø9$# !$uŠ÷R$!$# žwÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ׎öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)­Gtƒ 3 Ÿxsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ
Artinya: “dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.[3]
Di antara Ruh, Akal dan Jasad yang paling kuat adalah ruh kemudian akal pikiran baru yang terakhir jasad. Lalu yang jadi pertanyaan, kalau memang Ruh yang lebih kuat kenapa manusia yang memiliki kelebihan akal pikiran menjadi makhluk yang sempurna? karena dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan ruh dan jasad. Hal ini sudah terbukti secara ilmiah dan logis. Dalam Psikologi di ajarkan bagaimana cara mengoptimalkan akal pikiran manusia, sehingga manusia mampu menggunakan Hipnosis, Telephati dan sebagainya, hal itu bisa terjadi karena akal pikiran kita sudah bertemu dan berkomunikasi dengan ruh dan jasad kita. Kesadaran beragamapun merupakan salah satu hasil dari pengoptimalan akal pikiran. Manusia sering disebut dengan homoreligious (makhluk beragama).[4]
Dengan akal pikiran kita mampu mengendalikan 2 kemampuan makhluk lain (jin, hewan dan tumbuhan), membedakan mana yang baik dan mana yang benar dan dengan akal pikiran kita bisa mencapai Allah jauh lebih cepat dari kecepatan cahaya bahkan lebih. Apapun bisa kita lakukan dengan akal pikiran kita, kalau kita mau mempelajarinya lebih jauh lagi. Hal ini lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang sempurna di antara makhluk lain ciptaan Allah.
b.        Qolbu
Lafal al-qalbu memiliki dua makna.  Pertama, daging yang terdapat didalam dada disebelah kiri dan didalam rongganya terisi darah hitam. Ia adalah sumber roh dan tempat tinggalnya. Kedua, bisikan Rabbaniah Ruhaniah yang mempunyai suatu hubungan dengan daging ini. Bisikan inilah yang mengenal Allah dan memahami apa yang tidak dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan, dan itulah hakikat manusia dan dialah yang diseur.[5]
Meski dianggap memiliki hubungan misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh, sedangkan bagian terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila ketiga organ tersebut  telah disucikan sesuci-sucinya dan telah dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam, maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan. Qalbu dapat dianggap berpadanan dengan Ruh, yang memiliki aspek Rabbani sebagaimana aspek ciptaannya. Salah satu di atara simbol-simbol agung Ruh ialah matahari, yang merupakan hati alam semesta kita.[6]
Mengenai qalbu ini, Allah berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 63:
y#©9r&ur šú÷üt/ öNÍkÍ5qè=è% 4 öqs9 |Mø)xÿRr& $tB Îû ÇÚöF{$# $YèŠÏHsd !$¨B |Møÿ©9r& šú÷üt/ óOÎgÎ/qè=è% £`Å6»s9ur ©!$# y#©9r& öNæhuZ÷t/ 4 ¼çm¯RÎ) îƒÍtã ÒOŠÅ3ym ÇÏÌÈ
Artinya: “dan yang mempersatukan hati mereka (orang-orang yang beriman). walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha Bijaksana”.[7]
 óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw
yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ

Artinya : “maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )[8]

  1. 2.     Pengaruh Akal dan Hati terhadap Prilaku Manusia
Harun Nasution sangat menganjurkan umat Islam untuk berfikir dan menunjukan bahwa akal sendiri mempunyai kedudukan yang tinggi dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Manusia diangkat derajatnya oleh Allah karena kemampuan manusia dalam menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat Allah. Tapi pada saat yang sama, karena tak mampu menfungsikan akal dengan benar, manusia dapat terjerembab ke derajat yang paling hina, lebih rendah derajatnya dibanding hewan sebagaimana firnan-Nya: 
ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
Artinya: “Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raaf: 179).[9]
 Orang yang berakal adalah orang-orang yang mengingat (yadzkuruna) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka berpikir (yatafakkaruna) tentang penciptaan langit dan bumi sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Imran: 190-191
žcÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@øŠ©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tƒUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õtƒ ©!$# $VJ»uŠÏ% #YŠqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbr㍤6xÿtGtƒur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ­/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya :
190.  Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
191.  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka peliharalah kami dari siksa neraka.[10]
Hakikat akal adalah naluri yang dipergunakan untuk memahami pengetahuan –pengetahuan yang bersifat teoritis . seolah oleh akal itu adalah cahaya yang dimasukkan kedalam jiwa sehingga manusia siap memahami sesuatu dan ini berbeda–beda menurut perbedaan–perbedaan naluri. Jika akal kita dijadikan sebuah naluri yang luar biasa terhadap daya cipta dan karya kita. Menggunakan akal, yaitu pikiran / akal bukanlah sebuah wadah yang harus diisi melainkan api yang baru dinyalakan. Hormon–hormon yang ada dalam akal sangat mudah bereaksi, sehingga ketika kita berfikir untuk menjadi besar, maka benar-benar kita akan mendapatkan, tentunya melalui proses akal.[11]
Selain itu juga manusia juga memiliki getaran qalbu, sehingga getaran ini melahirkan sebuah kepahaman. getaran qalbu yang ada di jantung merupakan resonansi getaran yang berasal dari Sistem Limbik di otak tengah. Dengan kata lain, Qalbu merupakan cerminan apa yang terjadi di Sistem Limbik. Masalahnya, getaran apakah yang paling dominan sedang mengisi Sistem Limbik, maka itulah yang diresonansikan ke jantung. Memang dalam kaitan antara akal dan qalbu sering dilakukan oleh para ilmuwan–ilmuwan muslim, karena dalam proses diatas bahwa proses berfikir memang saling berhubungan dengan qalbu.
Allah akan melimpahkan nur cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci. Hati seperti itu diumpamakan oleh kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening. Pada saat itu cermin tersebut  akan dapat memantulkan gambar apa saja yang ada dihadapannya. Demikian juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni. Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui rahasi-rahasia Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian, memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia keTuhanan tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa batas, seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, "Cangkir teh tidak akan dapat menampung segala air yang ada di samudera."

  1. 3.      Mengkombinasikan Peran Akal dan Hati untuk Membentuk Akhlak Manusia
Allah memberikan kita akal agar digunakan sebagai hujjah dalam mencari kebenaran sesuai dengan syari’at Allah, adanya akal banyak hal yang dapat dilakukan agar manusia tidak terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan, diantaranya:
a.    Kajian Islami oleh para pemuda di masjid
Pemuda merupakan aset berharga dalam kehidupan bermasyarakat, pemuda sebagai ujung tombak dalam menciptakan generasi yang beriman harus di bimbing dan diarahka ke jalan yang baik dan benar, oleh karenanya dengan adanya kajian Islami ini dapat membuka wawasan ke-Islaman dan menambah pemahaman mereka terhadap Islam, sehingga akal yang dimiliki dapat terbimbing kearah yang benar.
b.    Realisasi Ilmu + akal = Budaya
Ilmu yang dimiliki harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari agar ilmu yang didapatkan tidak mubadzir dan dapat bermanfaat bagi orang lain, diantara merealisasikan ilmu, selain itu peranan ilmu dalam menjembatani antara idealisme dan realitas akan tercapai sesuai dengan kaidah dan syari’at, sehingga ilmu tersebut tidak hanya menjadi teoritikal semata tetapi dapat dijadikan budaya dalam berkehidupan.
Di dalam diri kita akal sebagai pusat logika sifatnya pasti dan kadang kaku tapi obyektif. Hati sebagai pusat nurani, rasa, terkadang ada keraguan, labil dan subyektif. Akal mempunyai peran yang sangat signifikan dalam memutuskan sesuatu. Dengan akal, manusia dapat berfikir, baik itu memikirkan dirinya, orang-orang disekitarnya juga alam semesta. Dengan akal, manusia berupaya mensejahterakan diri dan meningkatkan kualitas kehidupannya. Pentingnya mendayagunakan akal sangat dianjurkan oleh Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat Alqur’an dan Hadis Rasulullah saw, yang mendorong manusia untuk selalu berfikir dan merenung. Manusia tidak hanya disuruh memikirkan dirinya, tetapi juga dipanggil untuk memikirkan alam jagad raya. Dalam konteks Islam, memikirkan alam semesta akan mengantarkan manusia kepada kesadaran akan ke-Mahakuasaan Sang Pencipta (Allah Swt).
Sedangkan merujuk pada SQ-nya Danah Zohar jika Akal dan Hati telah sejalan digunakan untuk alat berfikirnya dalam menjalankan kehidupan termasuk juga dalam menjalankan kehidupan agama kita maka akan dicapai puncak spiritual dan itulah yang telah dilakukan oleh Ummul Ulama Al-Ghazali yang telah menyatukan antara filsafat dan tasawuf yang satu berbasis pada akal dan satu lagi berbasis pada hati. Oleh karena itulah ilmuwan sekelas Einstein pernah mengatakan bahwa kedua alat episteme tersebut harus selalu berjalan bareng dan beriringan. Ia mengatakan, Agama tanpa akal maka akan lumpuh dan Ilmu tanpa agama akan buta. Dalam pandangan saya pernyataan dari Einstein tersebut berkaitan dengan penggunaan kedua episteme tersebut.
Al-Qardlawi menyatakan bahwa akal dan hati dianggap sebagai wahana terpenting yang dapat membantu manusia menciptakan peradaban dibumi dan melaksanakan tugas kekhalifahan sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT. Kata kunci dari perkataaan Qardhawi tersebut adalah akal dan hati. Gabungannya bermuara kepada ilmu pengetahuan dan sains, baik dari segi ontologi, epistimologi maupun aksiologinya. Ontologi berkaitan dengan kajian tentang apa yang menjadi objek ilmu pengetahuan dan sains. Epistimologi berkaitan dengan kajian tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan dan sains itu. Dan aksiologi berkaitan dengan perihal penerapan keduanya dalam bentuk kehidupan manusia yang nyata.
Akal yang diciptakan Allah untuk berfikir dan mencari rahasia alam semesta yang indah dan penuh dengan ilmu pengetahuan yang harus dipelajari, digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia. Tanpa berfikir dan mempergunakan akal dan hatin,  manusia tidak akan berkembang sesuai dengan fitrahnya. Akal yang merupakan anugerah terindah, tertinggi dan terhebat bagi manusia, pembeda antara kita dengan hewan, sebuah alat yang difungsikan untuk berfikir, mengamati, mengolah data, menyimpan data dan lain-lain tak terhingga manfaatnya, benar-benar harus kita syukuri kepemilikan ini.
Ilmu cenderung diidentikan dengan eksplorasi akal untuk menemukan hukum-hukum Tuhan di alam raya ini, Sementara Agama pada sejarahnya yang konvensional berbicara pada masalah baik dan buruknya suatu perilaku dan sikap berkaitan dengan kehidupannya. Oleh karena itu Agama diidentikan dengan penggunaan hati yang dapat memilah antara yang baik dan buruk. Namun demikian merujuk pada sejarah peradaban manusia terkadang kita melihat pada satu pendapat tokoh, terlepas pendapatnya tersebut berangkat dari sporadic pendapatnya saja atau yang berpijak pada penelitian, cenderung seringkali mengagungkan satu alat episteme dan menghilangkan peran satu alat episteme lain. Ilmu Episteme yang kita kenal dengan epistemology atau ilmu yang mengulas bagaimana suatu ilmu itu didapatkan melaui cara seperti apa dan bagaimana merupakan pertentangan antara akal dan hati.
Dalam sejarah dunia modern, ribuan tahun setelah Sokrates, Aristoteles dan Plato hidup, atau setelah filsuf China Lao Tze dan Konfutze melahirkan peradaban seolah mengulang mbah moyangnya tersebut bahwa Dunia merupakan hasil pertentangan antara akal dan hati. Ingatkah kita akan pemujaan terhadap IQ? Bahwa IQ akan menentukan sukses seseorang, bukankah ini merupakan pemujaan terhadap Akal? Namun hasil penelitian tersebut sirna sudah setelah Daniel Goleman menerbitkan buku Kecerdasan Emosi yang berpijak pada alat episteme hati. Justeru menurut Goleman tersebut bahwa Kecerdasan Emosilah (bisa membedakan baik-buruk) yang dapat mendorong sukses seseorang, IQ menurutnya hanya menyumbangkan 6 % kesuksesan saja. Seorang yang ber-IQ tinggi jika tidak bisa bagaimana berprilaku dalam kehidupannya niscaya tidak akan pernah sukses.
Kini di Jaman keringnya hati yang telah dirasakan oleh sebagian kalangan Barat, karena terlalu memper-tuhankan Akal sebagai alat episteme/ basis manusia modern, ia pun melirik dunia Timur yang kaya dengan spiritual. Spiritual adalah penyatuan antara Akal dan Hati. Akal dan Hati saling menuntun agar yang satu tidak sesat dan yang lain tidak lumpuh. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging, Jika ia baik maka baiklah tubuh itu seluruhnya, dan anggota anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik, Ia adalah Hati”.
Dari hadits di atas bisa di pahami, bahwa dalam tubuh manusia yang paling pokok adalah hati. Ia adalah pemimpin yang di patuhi dalam dunia tubuh. Anggota tubuh lainya hanyalah bagikan rakyat yang saling dukung mendukung. Dengan demikian jika ingin meraih sukses sesuai dengan agama yang kita anut, tentu Akal dan Hati tidak boleh dipisah-pisahkan apalagi yang satunya dibuang jauh-jauh. Hanya menggunakan Akal, hati menjadi kering selalu berfikir benar-salah, sementara hanya berfikir dengan hati hanya mempertimbangkan baik dan buruk tanpa peduli benar dan salah. Yang Baik tentu harus benar dan sebaliknya yang benar tentu harus baik.
Cara yang terbaik adalah kita upayakan agar kedua piranti dalam diri kita tersebut diberikan porsi yang seimbang. Yaitu, kapan kita menggunakan akal, kapan kita menggunakan hati. Dari hal ini pun dapat dikemukakan bahwa bila akal tidak kuasa melakukan fungsinya, maka gunakan hati.
Pada akhirnya, akal dan hati harus dipadukan secara harmoni. Disamping pentingnya akal dalam menemukan suatu kebenaran juga diperlukan ilham atau petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia yang datang dari keheningan hati. Jika kedua ciptaan Allah tersebut dapat digabungkan, maka akan lahirlah seseorang yang berfikir rasional, filosof sekaligus sufi yang pikirannya tinggi mengentas galaksi namun rendah hati di bumi, seperti inilah sosok khalifah yang diamanatkan menjaga bumi.

D.      PENUTUP
1.      Kesimpulan
Definasi akal ialah kekuatan untuk melahirkan keputusan (Kesimpulan) tentang sesuatu realiti. Kesimpulannya, akal adalah berfikir ataupun berfikir adalah akal. Yang terhasil apabila berlaku, Perpindahan realiti yang telah diinderai oleh 5 pancaindera ke dalam otak dan kemudian dihubungkan dengan maklumat awal yang tersimpan di dalam otak itu. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang segala hal dikehidupan ini. Sedangkan qalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu.
Akal dan hati harus dipadukan secara harmoni. Disamping pentingnya akal dalam menemukan suatu kebenaran juga diperlukan ilham atau petunjuk Tuhan yang diberikan kepada manusia yang datang dari keheningan hati. Jika kedua ciptaan Allah tersebut dapat digabungkan, maka akan lahirlah seseorang yang berfikir rasional, filosof sekaligus sufi yang pikirannya tinggi mengentas galaksi namun rendah hati di bumi, seperti inilah sosok khalifah yang diamanatkan menjaga bumi.
2.      Kritik dan Saran
Dalam berusaha melengkapi makalah ini, tentu ada sesuatu yang kurang dan kami sebagai penulis baik dari pembahasan ataupun dari segi tulisan menyadari akan hal demikian. Maka dari itu kami akan berusaha lebih baik dengan selalu mengedapankan sumber-sumber yang lebih layak sebagai reverensi. Kami sangatlah mengharapkan masukan baik berupa kritik ataupun saran sehingga dapat menjadi sebuah instropeksi dari karya kami juga sebagai semangat dan landasan baru untuk terus berinovasi dalam berkarya. “Tiada ada yang sempurna, bila ketidak sempurnaan tak pernah ditemui dan disadari.” Walaupun demikian, kami sangat berharap karya ini dapat menjadi salah satu acuan dalam pembelajaran terutama sebagai reverensi untuk dalam mata kuliah Tasawuf.

E.       DAFTAR PUSTAKA   
Arifin, Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.
Yusuf Al-Qaradhawi, Al-‘Aqlu wal Ilmu fil Qur’an, Kairo, Maktabah Wahbah, 1996.
Yayasan Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-syarif, Madinah Al Munawarah, 1990.
Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Amani, Jakarta, 1995.
Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama, Al-Qur’an Mushaf Per Kata, Jabal, Bandung.


[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Al-‘Aqlu wal Ilmu fil Qur’an, Kairo, Maktabah Wahbah, 1996, hal. 12
[3] Yayasan Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-syarif, Madinah Al Munawarah, 1990, hlm. 191.
[4] Arifin, Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 83
[5] Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Amani, Jakarta, 1995, hlm. 159.
[6] Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987, hlm. 43
[7] Yayasan Pentafsir Al-Qur’an, Op.Cit, hlm. 271.
[8] Ibid, hlm. 519.
[9] Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama, Al-Qur’an Mushaf Per Kata, Jabal, Bandung, hlm. 174.
[10] Ibid. hlm. 75.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda