POLA PENDIDIKAN ISLAM PADA PERIODE
AL-KHULAFA AL-RASYIDIN
Disusun oleh : Mohammad
Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana
STAIN Pekalongan
Abstrak
Pada
masa Nabi Muhammad SAW pendidikan Islam berpusat di Madinah dan materi
pendidikan yang dicontohkan oleh Rasulallah SAW
adalah pendidikan tauhid, ibadah, adab / sopan santun
dalam keluarga maupun
bermasyarakat, kepribadian, ekonomi, politik, HAM, dan pendidikan hukum,
yang kesemuanya bersumber dari ajaran Al-Qur’an. Setelah Rasulallah SAW wafat
kekuasaan pemerintahan Islam di pegang oleh Khulafaur Rasyidin yaitu Abu Bakar,
Umar bin Khatab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Pada masa ini wilayah
Islam telah meluas diluar jazirah Arab, namun pola pendidikan Islam pada
periode khulafaur Rasyidin tetap berorientasi pada pengalaman pendidikan
masa Rasulallah SAW serta
memusatkan perhatiannya pada pendidikan keagamaan, syiar agama dan kokohnya
pendidikan Islam.
Kata kunci : Khulafaur Rasyidin, Pola Pendidikan
Islam
PENDAHULUAN
Pendidikan
adalah suatu yang essensial bagi manusia. Dengan pendidikan, manusia
bisa belajar memahami alam semesta demi mempertahankan kehidupannya. Karena
pentingnya pendidikan, Islam menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting
dan tinggi dalam doktrin Islam. Hal tersebut di buktikan dalam al-Qur’an dan Hadits
yang banyak menjelaskan tentang arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam
sebagai hamba Allah.[1] Pendidikan Islam ialah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan
nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya ( Al-Qur’an dan
Hadits ), sedangkan pendidikan dalam Islam ialah proses dan praktik
penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam.[2]
Terlepas dari paradigma pendidikan Islam
diatas, pada masa Nabi Muhammad SAW, Negara Islam meliputi seluruh Jazirah Arab
dan pendidikan Islam waktu itu berpusat di Madinah sekaligus sebagai pusat
pemerintahan serta kota tempat menetapnya Rasulallah SAW, keluarga beliau beserta
sahabat-sahabat Nabi SAW. Setelah Rasulullah SAW wafat kekuasaan pemerintahan
Islam dipegang oleh Khulafaur Rasyidin
dan wilayah Islam telah meluas hingga di luar jazirah Arab meliputi Palestina,
Suriah, Irak, Persia, dan Mesir. Para khalifah ini tidak hanya memperhatikan
syiar agama dengan perluasan ekspansi militer dan penataan administrasi
pemerintahan demi kokohnya negara Islam, namun juga meningkatkan kualitas peradaban
umat Islam dengan memperhatikan pola pendidikan masyarakat Islam waktu itu.
Untuk itu tema makalah ini layak untuk
dibahas, karena sebagai khasanah pengembangan pendidikan Islam di Indonesia
yang diadopsi dari pendidikan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin.
PEMBAHASAN
Sejarah adalah pengalaman hidup manusia pada masa
lalu dan akan berlangsung terus sepanjang hidup manusia. Mempelajari sejarah
bertujuan agar pengalaman manusia pada masa lampau dapat menjadi pelajaran,
pengingat, inspirasi, sekaligus motivasi dalam menjalani kehidupan di masa
sekarang dan mendatang. Dengan belajar sejarah dapat menghindarkan diri dari
mengulang kesalahan masa lalu. [3] Dengan mengkaji
sejarah pendidikan akan
bisa memperoleh informasi tentang
pelaksanaan pendidikan Islam
dari zaman Rasulullah
sampai sekarang, mulai dari pertumbuhan, perkembangan, kemajuan, kemunduran, dan kebangkitan kembali.
Oleh karena itu,
sejarah pada dasarnya
tidak hanya sekedar memberikan
romantisme tetapi juga
refleksi historis. Dengan mempelajari
sejarah pendidikan Islam
dapat memberikan semangat (back projecting
theory) untuk membuka
lembaran dan mengukir kejayaan dan
kemajuan pendidikan Islam
yang baru dan
lebih baik.
Sejarah
pendidikan Islam memiliki
kegunaan tersendiri di
antaranya sebagai faktor keteladanan, cermin, pembanding, dan perbaikan
keadaan. Masa perkembangan pendidikan
Islam ditandai dengan
munculnya kota pendidikan,
tokoh-tokoh, dan pemikiran-pemikiran mereka dalam mengembangkan agama Islam. Ajaran
yang dibawa Rasul
yang bersumber dari
al-Qur’an serta mempraktekkan sendiri untuk jadi pedoman bagi sahabat,
dan seluruh umat sampai saat ini. Masa ini diprakarsai
oleh Khulafaur
Rasyidin
(632-661M/12-41H), yang melanjutkan perjuangan Nabi mendidik manusia
dengan ajaran Islam selama 29 tahun. Dengan demikian,
pendidikan Islami merupakan
pembentukan diri dan prilaku
yang tidak bisa
didapatkan dalam waktu
sekejap. Butuh kesinambungan proses baik
transfer maupun kontrol
terhadap hasilnya.[4]
A.
SEJARAH KHULAFAUR RASYIDIN DAN PERKEMBANGAN PENDIDIKAN ISLAM
Khulafaur
Rasyidin
berasal dari kata khulafa’ dan ar-rasyidin. Kata khulafa, merupakan jamak dari kata
khalifah artinya pengganti sedangkan kata
ar-rasyidin artinya mendapat petunjuk. Jadi Khulafaur Rasyidin menurut bahasa adalah
orang yang ditunjuk sebagai pengganti, pemimpin atau penguasa yang selalu
mendapat petunjuk dari Allah SWT. Khulafaur
Rasyidin menurut istilah adalah pemimpin umat dan kepala negara yang telah
mendapat petunjuk dari Allah SWT untuk meneruskan perjuangan Nabi Muhammad SAW.[5]
Masa
pemerintahan Khulafaur Rasyidin
adalah empat khalifah sesudah wafatnya Rasulullah SAW sebagai berikut :
1. Abu Bakar Ash-Shidiq (573 - 634 M)
Abu
Bakar menjadi khalifah tahun 632 - 634 M (2 tahun), Ia adalah sahabat Nabi yang
paling setia dan terdepan dalam membela Nabi Muhammad dan para pemeluk Islam.
Ia juga orang yang ditunjuk Nabi SAW untuk menemani hijrah ke Yatsrib
(Madinah). Ketika Nabi SAW sakit keras, Abu Bakar adalah orang yang
ditunjuk untuk menggantikan beliau sebagai imam dalam shalat. Karena hal
ini kemudian dianggap sebagai petunjuk agar Abu Bakar nantinya yang akan
menggantikan kepemimpinan Islam sesudah Nabi SAW wafat. Selama dua tahun masa kepemimpinan Abu Bakar,
masyarakat mengalami kemajuan pesat dalam bidang sosial, budaya dan penegakan
hukum. Selama masa kepemimpinannya pula, Abu bakar berhasil memperluas daerah
kekuasaan Islam ke Persia, sebagian Jazirah Arab hingga menaklukkan sebagian
daerah kekaisaran Bizantium. Abu Bakar meninggal saat berusia 61 tahun pada
tahun 634 M akibat sakit yang dialaminya.[6]
Masa
awal kekhalifahan Abu Bakar diguncang pemberontakan, masa pemerintahan Abu
Bakar sangat singkat (632-634) tetapi sangat penting. Dia terutama berperan
melawan Riddah (Kemurtadan) ketika
beberapa suku mencoba melepaskan diri dari umat dan menegaskan lagi kemerdekaan
mereka. Pemberontakan yang terjadi benar-benar murni Politis dan Ekonomis. Orang
yang mengaku sebagai Nabi seperti Musailamah al-Kadzab dan orang-orang yang
enggan membayar pajak. Abu Bakar memusatkan perhatian untuk memerangi para
pemberontak yang dapat mengacaukan keamanan dan mempengaruhi orang-orang Islam
yang masih lemah imannya. Dikirimlah pasukan ke Yamamah, dalam penumpasan ini
banyak umat Islam yang gugur, terdiri dari para sahabat Rasulullah dan hafidz
Alquran. Karena itu Umar ibn Khattab menyarankan kepada khalifah Abu Bakar
untuk mengumpulkan ayat Alquran.
Pola pendidikan Islam yang dilakukan oleh Abu Bakar, masih sama seperti pola
pendidikan yang dilakukan oleh Nabi, baik dari segi materi maupun lembaga
pendidikannya. Dilihat dari segi materi pendidikan Islam, yang dilakukan oleh
Abu Bakar berupa pendidikan tauhid (keimanan), akhlak, ibadah, kesehatan, serta
kehidupan sosial-kemasyarakatan, keagamaan dan kehidupan bernegara. [7]
Pada masa ini
didirikan lembaga pendidikan berupa Kuttab yang
dibentuk setelah masjid. Kota pusat
pendidikan adalah Madinah, sedangkan yang bertindak sebagai para pendidik adalah
para sahabat Rasul yang terdekat. Masa pemerintahan Abu Bakar tidak lama, tapi
beliau telah berhasil memberikan dasar-dasar
kekuatan bagi perjuangan
perluasan dakwah dan
pendidikan Islam. Materi pendidikan
yang paling utama
adalah keimanan apalagi menghadapi
orang-orang yang riddah, dalam
hal ini Alquran menjelaskan bahwa
yang memberikan Hidayah
adalah Allah QS.28: 56,
Rasul uswatun hasanah QS.33:
21, merupakan pendidikan akhlak, selanjutnya QS.31:13-17 berisi tentang nasehat
Luqman kepada anaknya untuk bertauhid,
berbuat baik kepada orang tua, melaksanakan shalat, amar ma’ruf nahi munkar, bersabar terhadap apa yang menimpa.[8]
2. Umar bin Khattab (586 - 644 M)
Umar
bin Khattab menjadi khalifah tahun 634 - 644 M (10 tahun), pengangkatan Umar
berdasarkan surat wasiat yang ditinggalkan oleh Abu Bakar. Ketika Abu Bakar
sakit dan merasa ajalnya sudah dekat, ia bermusyawarah dengan para pemuka
sahabat, kemudian mengangkat Umar ibn Khattab sebagai penggantinya dengan
maksud untuk mencegah kemungkinan terjadinya perselisihan dan perpecahan di
kalangan umat Islam. Kebijaksanaan Abu Bakar tersebut ternyata diterima masyarakat
yang segera beramai-ramai membaiat Umar. Umar menyebut dirinya Khalifah Rasulillah (pengganti dari
Rasulullah). Ia juga memperkenalkan istilah Amir
al-Mu'minin (petinggi orang-orang yang beriman).
Umar
dikenal sebagai sahabat Nabi yang senang berijtihad, ijtihad Umar di kalangan
ahli fiqih, misalnya, mengusulkan penyelenggaraan salat tarawih berjamaah,
penambahan kalimat as-salâtu khairun
minan-naum (salat lebih baik dari pada tidur) dalam azan subuh, ide tentang
perlunya pengumpulan ayat-ayat Alquran, dan penentuan kalender Hijrah. Dalam
hal pendidikan Umar membangun tempat-tempat pendidikan (sekolah), juga menggaji
guru-guru, imam, muazzin dari dana baitul
mal.
Di
zaman Umar gelombang ekspansi terjadi, ibu kota Syria (Damaskus) jatuh tahun
635 M dan setahun kemudian setelah tentara Bizantium kalah di pertempuran
Yarmuk, seluruh daerah Syria menjadi wilayah Islam. Kemudian ekspansi diteruskan
ke Mesir di bawah pimpinan Amr bin 'Ash dan ke Irak di bawah pimpinan Sa'ad bin
Abi Waqqash. Iskandariah (Alexandria) ibu kota Mesir ditaklukkan tahun 641 M.
Al-Qadisiyah sebuah kota dekat Hirah di Iraq jatuh pada tahun 637 M. Dari sana
serangan dilanjutkan ke ibu kota Persia (al-Madain) yang jatuh pada tahun 637 M.
Pada tahun 641 M Moshul dapat dikuasai. Dengan demikian, pada masa kepemimpinan
Umar r.a, wilayah kekuasaan Islam meliputi Jazirah Arabia, Palestina, Syria,
sebagian besar wilayah Persia, dan Mesir.[9]
Karena
perluasan daerah terjadi dengan cepat, Umar segera mengatur administrasi negara
dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang di Persia. Administrasi
pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah propinsi yaitu Makkah, Madinah,
Syria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan Mesir. Beberapa departemen
didirikan dan pada masa ini mulai diatur dan ditertibkan sistem pembayaran gaji
dan pajak tanah. Pengadilan didirikan dalam rangka memisahkan lembaga yudikatif
dengan lembaga eksekutif. Untuk menjaga keamanan dan ketertiban, jawatan
kepolisian dibentuk, demikian pula jawatan pekerjaan umum, Bait al-Mal,
menempa mata uang, dan membuat tahun Hijriah.[10]
Panglima dan gubernur yang diangkat Umar adalah para
sahabat Rasul yang telah memiliki ilmu pengetahuan agama yang luas, mereka juga
adalah ulama. Seperti Abu Musa Al-Asy’ari gubernur Basrah adalah seorang ahli
fiqh, ahli hadits dan ahli Qur’an. Ibnu Mas’ud
dikirim oleh Umar sebagai guru, ia adalah seorang ahli dalam tafsir dan
fiqh, juga ia meriwayatkan hadits. Muaz bin Jabal, ‘Ubadah, dan Abu Darda’
dikirim ke Damsyik untuk mengajarkan ilmu agama dan Alquran. Muaz bin Jabal
mengajar di Palestina, Ubadah di Hims dan Abu Darda di Damsyik, Amru Ibnu
Al-Ash seorang panglima dari khalifah Umar berhasil mengalahkan Mesir. Ia
adalah seorang yang memiliki keahlian dalam hadis, terkenal sebagai pencatat
hadis Nabi. Sedang di Madinah gudangnya ulama, seperti Umar sendiri seorang
ahli hukum dan pemerintahan, memiliki keberanian dan kecakapan dalam melakukan
ijtihad. Abdullah bin Umar adalah pengumpul hadis. Ibnu Abbas ahli tafsir
Alquran dan ilmu faraid, Ibnu Mas’ud
ahli Alquran dan hadis. Ali ahli hukum juga tafsir.
Pada masa
Khalifah Umar, para sahabat-sahabat yang dekat dengan Rasulullah, tidak diberi
izin oleh Umar untuk keluar dari Madinah. Sehingga penyebaran ilmu para sahabat
besar berpusat di Madinah dan kota tersebut menjadi pusat keilmuan agama. Pada
masa Umar lahirlah pembidangan disiplin ilmu pengetahuan agama di antaranya,
ilmu tafsir, hadits, fiqih, dan sebagainya, sehingga orang yang baru masuk Islam
dari daerah-daerah yang ditaklukkan, harus belajar bahasa Arab jika mereka
ingin belajar mendalami ilmu pengetahuan. Pendidikan yang berkembang pada masa
Umar telah memberikan nuansa baru terhadap perkembangan pendidikan Islam bagi
umat Islam, sebab selama Umar menjabat, negara dalam keadan stabil dan aman,
masjid dibangun sebagai pusat pendidikan, begitu juga setiap kota yang
ditaklukkan pusat pendidikan di fokuskan di masjid.
3. Utsman bin Affan (573 – 655 M)
Utsman
bin Affan menjadi khalifah tahun 644-655 M (11 tahun), Ustman diangkat menjadi
khalifah setelah diadakan musyawarah oleh para sahabat yang ditunjuk oleh Umar
melalui surat wasiatnya. Hal tersebut dilakukan setelah Umar tidak dapat
memutuskan bagaimana cara terbaik menentukan khalifah penggantinya. Segera
setelah peristiwa penikaman dirinya oleh Fairuz, seorang majusi Persia, Umar
menunjuk enam orang Sahabat (Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abu Waqash, Thalhah
bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Tholib) sebagai
Dewan Formatur yang bertugas memilih Khalifah baru.
Pada
masa pemerintahan Utsman, Armenia, Tunisia, Cyprus, Rhodes,
dan bagian yang tersisa dari Persia, Transoxania, dan Tabaristan berhasil ditaklukan.
Ekspansi Islam pertama berhenti sampai di sini. Salah satu faktor yang menyebabkan banyak
rakyat berburuk sangka terhadap kepemimpinan Utsman adalah kebijaksanaannya
mengangkat keluarga dalam kedudukan tinggi, tidak tegas terhadap kesalahan
bawahan. Utsman tercatat paling berjasa membangun bendungan untuk menjaga arus
banjir yang besar dan mengatur pembagian air ke kota-kota. Dia juga membangun
jalan, jembatan, memperluas masjid Nabawi, mendirikan satuan polisi, mendirikan
gedung pengadilan, dan membentuk armada laut.[11]
Pada masa Usman
pelaksanaan pendidikan Islam tidak berbeda dangan masa sebelumnya. Pendidikan
di masa ini hanya melanjutkan apa yang telah ada. Namun, ada sedikit perbedaan
dari khalifah sebelumnya (Umar) yaitu para sahabat diizinkan keluar dari kota
Madinah untuk menyebarkan agama Islam ke wilayah yang dikuasai. Proses
pelaksanaan pendidikan Islam pada masa Usman lebih ringan dari sebelumnya.
Karena para peserta didik tidak lagi menempuh jarak yang jauh, seperti masa
Umar yang menganjurkan peserta didik datang ke Madinah. Berkat inisiatif yang
dilakukan oleh Usman para sahabat dapat memilih untuk memberikan pendidikan
kepada masyarakat.[12] Pada
masa ini, Usman tidak mengangkat guru-guru untuk mengajarkan agama Islam,
tetapi guru-guru (para pendidik) sendiri yang melaksanakan tugasnya dengan
harapan mendapat keridhaan Allah SWT semata.
Pada masa Usman
ada suatu usaha yang berbeda dengan khalifah sebelumnya dalam pendidikan Islam yaitu
usaha pengumpulan dan penulisan mushaf, yang disebabkan karena terjadi
perselisihan dalam bacaan al-Qur’an, sehingga Usman mengintruksikan kepada tim
penyusunan mushaf yaitu, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’ad bin
Ash, Abdurrahman bin Harist, Ubay bin Ka’ab, Anas bin Malik, Abdullah bin Abas,
Malik bin Abi Amir, dan Katsir bin Aflah untuk mengumpulkan dan menulis kembali
mushaf Al-Qur’an sebanyak 5 buah dan kemudian di kirim ke Mekah, Syria, Basrah,
Kufah dan Madinah.[13]
Sedangkan obyek
pendidikan pada masa Usman bin Affan meliputi:
a.
Orang dewasa dan orang tua yang baru masuk Islam
b.
Orang dewasa dan orang tua yang telah lama masuk Islam
c.
Anak-anak, dari orang tua yang baru maupun telah lama memeluk
Islam.
d.
Orang yang mengkhususkan dirinya untuk menuntut agama Islam secara
luas dan mendalam.
Tempat
mereka belajar dan mendalami ajaran Islam dipusatkan di Masjid, kuttab dan
rumah-rumah yang disediakan pemerintah.[14]
4. Ali bin Abi Thalib (599 – 661 M)
Ali bin
Abi Thalib menjadi khalifah tahun 655 - 661 M (6 tahun) dan memindahkan pusat
pemerintahan ke Kufah. Setelah Utsman wafat, masyarakat beramai-ramai membaiat
Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah. Kemudian timbullah persoalan ketika Ali mengeluarkan
kebijakan berupa menonaktifkan para gubernur yang diangkat oleh Utsman. Dia
juga menarik kembali tanah yang dihadiahkan Utsman kepada keluarga dan kerabatnya,
dan memakai kembali sistem distribusi pajak tahunan di antara orang-orang Islam
sebagaimana pernah diterapkan Umar. Tanggal 24/01/661 M Ali di bunuh oleh orang Khawarij, Abdurrahman bin Muljam.[15]
Ali
adalah orang yang pertama-tama beriman terhadap kerasulan Rasulullah dari
kalangan anak-anak. Keimanannya membuatnya semakin dekat dengan Rasulullah. Ada
beberapa pendapat mengenai umur Ali ketika masuk Islam. Ada yang mengatakan
tujuh tahun, delapan tahun, sepuluh tahun dan ada pula yang mengatakan bahwa
pada waktu itu Ali berumur enam belas tahun. Pendapat yang paling kuat adalah
pendapat yang menyatakan sepuluh tahun. Karena pada saat itulah dakwah Islam
dimulai. Kepribadian Ali banyak dipengaruhi oleh pola asuh Rasulullah karena
semenjak kecil Ali sudah tinggal bersarna beliau. Keluhuran pribadi Rasulullah
menjadikan Ali terkenal dengan budi pekerinya yang luhur, keshalihan, keadilan
dan kebesaran jiwanya. Ali menimba pengetahuan, budi pekerti dan kebesaran jiwa
Rasulullah sampai pada akhirnya Rasulullah wafat. Adapun kepribadian yang dicontoh
Ali dari Rasulullah yaitu loyalitas yang tinggi terhadap Islam, konsisten dalam
melaksanakan hukum Islam, berani membela kebenaran, sederhana 'dan jujur, serta
menguasai ilmu Al-Qur'an dan Hadits.[16]
Pendidikan Islam
pada masa Ali bin Abi Thalib sangat di sayangkan, karena pada masa ini terjadi
pemberontakan dan perpecahan umat Islam, sehingga masalah pendidikan Islam
ditinggalkan karena sibuk berebut kekuasaan serta jabatan. Pada masa
pemerintahannya diguncang dengan peperangan dengan Aisyah (istri Nabi) beserta
Talhah dan Abdurrahma bin Zubair, karena kesalahpahaman dalam menyikapi
pembunuhan terhadap Usman. Kemudian terjadi lagi perselihan antara Ali dengan
Muawiyah, yang disebut dengan perang shiffin. Muawiyah adalah gubernur Damaskus yang memberontak untuk mengulingkan
Ali. Sebenarnya saat peperangan itu berlangsung pihak Ali sudah pasti
memenangkan peperangan. Kemudian Muawiyah mengambil siasat untuk mengadakan tahkim.
Semula Ali menolak dengan tawaran tersebut, tetapi karena sebagian tentara Ali
mendesak untuk melakukan tahkim, akhirnya Ali pun menerimanya. Namun, tahkim
tersebut bukan malah memperbaiki keadaan tetapi memperburuk keadaan, sehingga
tentara-tentara Ali pun berpencar dan terpecah belah, yang di sebut dengan khawarij.[17]
B. KOMPONEN
PENDIDIKAN ISLAM MASA KHULAFAUR RASYIDIN
Pendidikan pada masa Rasulallah SAW telah memberi contoh terhadap
umat ke depanya, baik dari segi sosial, tanggung jawab, serta kepemimpinan
beliau sebagai panutan umat dalam mendidik kaumnya ke arah yang lebih baik.
Sejak masa Khulafaur Rasyidin para
pemimpin Islam memiliki perhatian yang besar terhadap ilmu pengetahuan. Mereka
mendirikan dan menghidupkan berbagai sarana penunjang ilmu pengetahuan dan
pendidikan termasuk lembaga-lembaganya. As-Suffah
yang menjadi model pendidikan Islam ketika Nabi berada di Madinah hingga
tersebar luas keluar Madinah sejalan dengan perluasan wilayah Islam dan
penyebaran Masjid, sangat diperhatikan oleh Khulafaur
Rasyidin seperti Umar bin Khattab dengan mengangkat sahabat Rasul yang
memiliki ilmu pengetahuan agama luas sebagai panglima dan gubernur sehingga mereka
banyak mendirikan masjid diwilayah kekuasaan masing-masing dengan as-Suffah di dalamnya.[18]
1.
Tujuan
pendidikan Islam
Tujuan pendidikan pada masa Khulafaur Rasyidin masih belum berbeda
dengan tujuan pendidikan pada zaman
Rasulullah SAW yaitu pembentukan
masyarakat Islam dengan asas pembinaan berupa persaudaraan, persatuan,
toleransi, tolong menolong, musyawarah dan keadilan.[19]
2.
Kurikulum dan materi pendidikan Islam
Kurikulum pendidikan masa
Khulafaur Rasyidi meliputi membaca, menulis, membaca dan menghafal Al-Qur’an,
pokok-pokok agama Islam seperti cara wudhu, sholat dan puasa, berenang,
mengendarai unta dan kuda, memanah, membaca dan menghafal syair-syair yang
mudah dan peribahasa, al-Qur’an dan tafsirnya, Hadits dan pengumpulannya, Fiqh.[20]
Materi
pendidikan di Madinah selain
berisi materi pelajaran yang berkaitan dengan pendidikan keagamaan (Al-Qur’an,
Al-Hadis, Hukum Islam) juga pendidikan kemasyarakatan, kewarganegaraan, pertahanan
dan kesejahteraan.[21]Pada
masa Umar digalakan pendidikan keterampilan hal ini termaktub dalam intruksi
Umar bin Khattab yang dikirimkan kepada penduduk-penduduk kota yang isinya ajarkanlah
kepada anak-anak kamu berenang, kepandaian menunggang kuda, dan tuturkanlah kepada
mereka pepatah-pepatah yang masyhur dan syair-syair yang baik.[22]Tuntutan
untuk belajar bahasa arab juga nampak dalam pendidikan Islam pada masa Khalifah
Umar. Dikuasainya wilayah-wilayah baru oleh Islam, menyebabkan munculnya
keinginan untuk belajar bahasa arab sebagai bahasa pengantar di wilayah-wilayah
tersebut. Orang-orang yang baru masuk Islam di daerah-daerah yang ditaklukkan,
harus belajar bahasa Arab jika mereka ingin belajar dan mendalami pengetahuan
Islam. Oleh karena itu, masa ini sudah terdapat pengajaran bahasa Arab.
3.
Tenaga pendidik dan peserta didik
Yang
menjadi pendidik di zaman Khulafaur
Rasydin adalah para sahabat sendiri dan sahabat besar yang lebih dekat
kepada Rasulullah SAW dan memiliki pengaruh yang besar. Mereka antara
lain:
a.
Ahli
tafsir yaitu Ali bin abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud, Ubaiy
bin Ka’ab.
b.
Sahabat
yang meriwayatkan hadis ialah Abu Hurairah (5374 hadis), Aisyah (2210 hadis), Abdullah
bin Umar (-+ 2210 hadis), Jabir bin Abbas (-+ 1500 hadis), Anas bin Malik
(-+ 2210 hadis), Umar bin Khattab (-+ 537 hadis).
c.
Ahli
fiqih antara lain Abu Bakar, Umar bin khattab, Ali bin Abi Thalib, Ubaiy bin
Ka’ab, Mu’az bin Jabal, Abdullah bin Mas’ud, Abu Musa bin Al-Asy’ari, Abdullah
bin Abbas.[23]
Peserta didik terdiri dari
masyarakat Makkah, Madinah dan masyarakat
dari daerah-daerah yang berhasil di taklukan.
4.
Metode pembelajaran
Adapun
metode dalam mengajar antara lain dengan bentuk halaqah, yakni guru duduk disebagian ruangan masjid kemudian
dikelilingi oleh para siswa. Menyampaikan ajaran kata demi kata dengan artinya
dan kemudian menjelaskan kandunganya. Sementara para siswa menyimak, mencatat,
dan mengulanginya apa yang dikemukakan oleh gurunya.
5.
Lembaga pendidikan Islam
Lembaga
pendidikan pada masa Khulfaur Rasyidin
adalam kuttab, Masjid dan Suffah. Kuttab adalah sebuah
lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan cara membaca dan menulis kepada
anak-anak atau remaja, kemudian meningkat pada pengajaran pengetahuan Al-Qur’an
dan pengetahuan dasar.[24] Masjid
sebagai pusat pendidikan umat Islam seperti yang dilakukan Khalifah Ali bin Abi
Thalib, beliau menjadikan Masjid sebagai pusat pendidikan dan pencerahan
keislaman serta melakukan diskusi ilmiah.[25] Suffah adalah ruangan yang bersambung
dengan masjid yang digunakan juga sebagai tempat pengajaran dan pembelajaran.[26]
6.
Kota pusat pendidikan Islam dan tokoh pendidiknya.
Adapun pusat pendidikan Islam pada masa Khulfaur Rasyidin di antaranya :
a. Mekkah, guru pertama di Mekkah adalah Muaz bin Jabal yang mengajarkan
al-Qur’an dan Fiqih.
b. Madinah, sahabat yang terkenal antara lain, Abu Bakar, Umar bin
Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib, serta sahabat-sahabat
lainnya.
c. Basrah, sahabat yang masyhur antara lain, Abu Musa al-Asy’ary, dia
adalah seorang ahli Fiqih dan Al-Qur’an.
d. Kuffah, sahabat yang masyhur di antaranya, Ali bin Abi Thalib, Abdullah
bin Mas’ud. Abdullah bin Mas’ud mengajarkan al-Qur’an, ia ahli Tafsir, Fiqih
dan Hadits.
e. Damsyik (Damaskus / Syam), setelah Syam (Syiria) menjadi bagian negara
Islam dan penduduknya banyak beragama Islam. Maka khalifah Umar mengirim tiga
orang guru ke negera itu yaitu, Mu’az bin Jabal, Ubaidah, dan Abu Darda’.
Ketiganya mengajar di Syam pada tempat yang berbeda. Abu Darda’ di Damsyik,
Mu’az di Palestina, dan Ubaidah di Hims.
f.
Mesir, sahabat yang mula-mula mendirikan madarah dan menjadi guru
di Mesir adalah Abdullah bin Amru bin Ash, ia adalah seorang ahli Hadits.[27]
KESIMPULAN
Pola
pendidikan Islam pada masa Khulfaur Rasyidin tidak jauh
berbeda dengan masa Nabi yang menekan pada pengajaran baca tulis Al- Qur’an dan
ajaran Islam yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadist Nabi. Pola pendidikan
Islam pada masa khalifah Umar bin Khattab sedikit lebih meningkat, para
pengajar sudah digaji yang diambilkan dari baitulmal dan banyak daerah yang
ditaklukkan. Poal pendidikan Islam pada masa Utsman bin Affan pendidikan tidak
terpusat di Madinah saja, sebab para pengajar sudah diperbolehkan memilih
tempat yang disukai kemudian mengembangkan keilmuannya di daerah tersebut. Pola
pendidikan Islam masa khalifah Ali bin Abi Thalib tidak
mengalami perubahan sebab banyak terjadi pemberontakan, sehingga Ali tidak
sempat memikirkan pendidikan di negaranya.
Kurikulum pendidikan di Madinah berisi
materi pelajaran Al-Qur’an, Al-Hadis, Hukum Islam, kemasyarakatan,
kewarganegaraan, pertahanan dan kesejahteraan. Tenaga pendidik terdiri dari
kalangan sahabat senior dan peserta didik berasal dari sahabat yunior dan
masyarakat dari wilayah yang ditaklukan Islam. Tempat pendidikan berada di Kuttab, Masjid dan Suffah. Di antara
pusat-pusat pendidikan pada masa Khulfaur Rasyidin adalah
Mekkah, Madinah, Mesir, Kuffah, dan Basrah.
PENUTUP
Demikianlah makalah yang dapat kami
sampaikan. Tentunya dalam makalah ini kami masih banyak kekurangan dan
kesalahan dalam penulisan maupun penjelasan. Untuk itu sudilah kiranya samudera
maaf dari pembaca buka untuk kami. Saran dan kritik yang membangun demi
kesempurnan makalah ini sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat berguna
dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin…………….
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam; Dari Masa Rasulallah hingga Reformasi di
Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2015
Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Media group, Jakarta, 2011.
Chaeruddin, “Pendidikan Islam Masa Rasulallah”, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1 No. 3, Desember 2013.
Fatikhah,
Sejarah Peradaban Islam, STAIN
Pekalongan Press, Pekalongan, 2011.
Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,
Logos, Jakarta, 1999.
Imam
Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, Teras,
Yogjakarta, 2011.
Ita Rostiana, “Dukungan Ali bin Abi
Thalib terhadap Dakwah Rasulallah”, Jurnal
DAKWAH, Vol. X No. 2, Juli-Desember 2009.
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab Sebelum Islam Hingga
Dinasti-Dinasti Islam, Teras, Yogyakarta, 2012.
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan Multikultur, STAIN Salatiga Press, Salatiga,
2007.
M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, Prenada
Media Group, Jakarta, 2014.
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, Hidaya Karya
Agung, Jakarta,1989.
Nina Aminah, “Pola Pendidikan Islam
Periode Khulafaur Rasyidin”, JURNAL
TARBIYA Volume: 1 No: 1 2015 (31-47).
Rosihon
Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001.
Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam,
Kencana, Jakarta, 2007.
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah
Pendidikan Era Rasulallah Sampai Indonesia, Kencana Prenada Media Group,
Jakarta, 2009.
Suriana, “Dimensi Historis Pendidikan
Islam: Masa Pertumbuhan, Perkembangan, Kejayaan dan Kemunduran”, Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1,
Juli-Desember 2013.
Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmu, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Citra
Risalah, Yogyakarta, 2012.
Yatimin
Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Amzah,
Jakarta, 2006.
[1]
Hanum Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, Logos,
Jakarta, 1999, hlm. 2.
[2]
Maslikhah, Quo Vadis Pendidikan
Multikultur, STAIN Salatiga Press, Salatiga, 2007, hlm.119-120.
[3]
M. Dien Madjid, Johan Wahyudhi, Ilmu Sejarah: Sebuah Pengantar, Prenada
Media Group, Jakarta, 2014, hlm. 1.
[4]
Suriana, “Dimensi Historis
Pendidikan Islam: Masa Pertumbuhan, Perkembangan, Kejayaan dan Kemunduran”, Jurnal Pionir, Volume 1, Nomor 1,
Juli-Desember 2013, hlm. 85-91
[6]
https://id.wikipedia.org/wiki/Khulafaur_Rasyidin, diakses
25 Februari 2016.
[7]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan
Islam, Hidaya Karya Agung, Jakarta,1989, hlm. 18.
[8]
Nina Aminah, “Pola Pendidikan Islam
Periode Khulafaur Rasyidin”, JURNAL
TARBIYA Volume: 1 No: 1 2015 (31-47), hlm. 35-36.
[9]
Imam Fu’adi, Sejarah Peradaban Islam, Teras, Yogjakarta, 2011, Hlm. 37-38.
[10]
Ibid, hlm. 41.
[11]
Tim Kajian Keislaman Nurul Ilmu, Buku Induk Terlengkap Agama Islam, Citra
Risalah, Yogyakarta, 2012, hlm. 419.
[12]
Samsul Nizar, Sejarah Pendidikan
Islam, Kencana, Jakarta,
2007, hlm. 49.
[13]
Fatikhah, Sejarah Peradaban Islam, STAIN Pekalongan Press, Pekalongan, 2011,
hlm. 138.
[14]
Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, Amzah, Jakarta,
2006, hlm. 96.
[15]
Khoiriyah, Reorientasi Wawasan Sejarah Islam: Dari Arab Sebelum Islam Hingga
Dinasti-Dinasti Islam, Teras, Yogyakarta, 2012, hlm. 62-64.
[16]
Ita Rostiana, “Dukungan Ali bin Abi
Thalib terhadap Dakwah Rasulallah”, Jurnal
DAKWAH, Vol. X No. 2, Juli-Desember 2009, hlm. 135-136.
[17]
Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu
Kalam, Pustaka Setia, Bandung, 2001, hlm. 49-50.
[18]
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam: Pada Periode Klasik dan Pertengahan, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010, hlm. 218.
[19]
Chaeruddin, “Pendidikan Islam Masa Rasulallah”, Jurnal Diskursus Islam, Vol. 1 No. 3, Desember 2013, hlm. 427.
[20]
Suriana, Op.Cit, hlm.
93.
[21]
Abudin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Media group, Jakarta, 2011, hlm. 118-121
[22]
Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam,
Bumi Aksara, Jakarta, 1997
[23]
Muhammad Yunus,
Sejarah Pendidikan Islam, PT.
Hidakarya Agung, Jakarta, 1989, hlm. 41-43.
[24]
Abdul Kodir, Sejarah Pendidikan Islam; Dari Masa Rasulallah hingga Reformasi di
Indonesia, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2015, hlm. 43-44
[25]
Ibid, Hlm. 78.
[26]
Abudin Nata, Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikannya, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2012, hlm. 197.
[27]
Samsul
Nizar, Sejarah Pendidikan Islam: Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era
Rasulallah Sampai Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 51.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda