BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN Prof. Dr. H. ABDUL
MUKTI ALI
Artikel
Disusun oleh : Mohammad
Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana
STAIN Pekalongan
Untuk memenuhi tugas mata
kuliah Studi Islam Integratif
Dosen Pengampu : Dr. Hasan Bisri, M.Ag.
A. PENDAHULUAN
Seiring dengan
perkembangan paradigma (cara berpikir) dalam masyarakat muncul pula berbagai
metode pemikiran dalam memahami ajaran agama Islam baik itu yang tekstual
maupun kontekstual, sekulari, pluralis dan sebagainya. Dengan itu, maka tak jarang dalam kehidupan bermasyarakat
sering terjadi perbedaan pendapat mengenai ajaran agama Islam dan
pengaplikasiannya dalam masyarakat. Semua itu menjadi sebauah warna yang unik
dalam perkembangan keilmuan agama Islam dari masa ke masa sejak zaman Nabi
sampai zaman modern seperti saat ini.
Sebagai salah seorang
yang berpengaruh karena beliau pernah menjabat sebagai Menteri Agama tentunya
Mukti Ali juga banyak memberikan kontribusi pemikiran dan pendapat yang
memberikan pencerahan dalam ranah pemikiran agama Islam. Diantaranya juga ada
berbagai pendekatan yang dipakai yaitu naqli
(tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Maka untuk menyikapi
beberapa warna pemikiran ini perlu diadakan studi. Mukti Ali memberikan
beberapa penawaran pemikiran agar dalam memahami ajaran agama Islam, umat tidak
akan tersesat dan memahami ajaran agama Islam dengan benar.
B. RUMUSAN MASALAH
1.
Biografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
2.
Apa hasil pemikiran Prof. Dr. H. Abdul Mukti
Ali ?
3.
Apa sajakah metode yang diutarakan Prof. Dr.
H. Abdul Mukti Ali dalam pemikirannya ?
4.
Apa hikmah dibalik mengenal dan mempelajari
autobiografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali?
C. PEMBAHASAN
1.
Biografi Prof. Dr. H. Abdul
Mukti Ali
a. Riwayat
Hidup
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali lahir di Desa Balun Sudagaran Cepu tanggal 23 Agustus 1923, memiliki nama kecil Soedjono (Sujono), namun sumber lain menyebutkan
Boedjono (Bujono), Sedangkan nama Abdul Mukti Ali ia dapat dari pemberian K.H. Abdul Hamid Pasuruan ketika menjadi gurunya. Ia adalah anak kelima dari tujuh bersaudara.
Mukti Ali hidup di kalangan keluarga yang berkecukupan, ayahnya bernama Idris, atau
Haji Abu Ali adalah seorang pedagang tembakau yang cukup sukses. Sedangkan ibunya
bernama Mutiah, atau Hj. Khodijah adalah seorang saudagar kain.
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali adalah Menteri Agama RI
pertama yang bukan dari Parpol. Ia menjadi Menteri
Agama pada Kabinet Pembangunan I (11 September 1971-1973) dan II (1973-29 Maret 1978).
Ketika menjadi Menteri Agama, ia melakukan banyak pembaruan dan muncul istilah
“Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya”.[1]
Selain sebagai
menteri Agama beliau juga aktif mengajar di beberapa Perguruan Tinggi Islam,
seperti PTAIN di Yogyakarta, Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta, IAIN Jakarta, Universitas Islam Djakarta
(UID), dan IKIP Muhammadiyah. Pada tahun 1960, ia diangkat menjadi sekretaris
Fakultas Adab IAIN Jakarta sambil mengajar bahasa Inggris. Kemudian pada tahun
1961, oleh Prof. H. Muchtar Yahya, Dekan Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta,
diminta membuka Jurusan Perbandingan Agama selain Jurusan Pendidikan dan
Filsafat yang lebih dahulu ada di Fakultas Ushuluddin, dengan ketua jurusan
Mukti Ali sendiri.
Setelah Jurusan
Perbandingan Agama dibuka dan mulai berjalan beberapa tahun, pada 1964,
Mukti Ali diangkat menjadi wakil Rektor III bidang Publik. Kemudian ia
dipercaya sebagai pembantu Rektor I bidang akademik, tahun 1968. Di sela-sela
kesibukannya sebagai wakil Rektor I, Mukti Ali juga mengajar mata kuliah Timur
Tengah Modern di Fakultas Sastra dan Budaya UGM dan IKIP Negeri Yogyakarta. Disamping
itu, dia juga mengajar Ilmu Perbandingan Agama di Akademi AKABRI Magelang,
serta di Akademi Udara Adisucipto dan juga di SESKAU Bandung.
b.
Riwayat Pendidikan
Pada tahun 1931 di usia delapan tahun, Mukti Ali menempuh pendidikan formal di HIS (Hollandsch Inlandsche School),
sekolah milik Pemerintah Hindia Belanda setingkat Sekolah Dasar. Di samping
itu, ketika sore hari ia mengaji di Madrasah
Diniyah di Cepu. Setelah menyelesaikan
pendidikannya di HIS dan mendapat sertifikat pegawai pemerintah Belanda (Klein Ambtenar Examen), Mukti Ali
melanjutkan ke Ponpes di Cepu untuk belajar
al-Qur'an kepada Kiai Usman. Di bawah asuhan Kiai Usman yang terkenal tegas,
Mukti Ali belajar membaca al-Qur'an dengan fasih dan tartil menurut kaidah ilmu
tajwid.
Pada pertengahan tahun 1940, Mukti Ali belajar di Ponpes Termas, Pacitan, di bawah asuhan K.H. Dimyati dan puteranya K.H. Abdul
Hamid Dimyati. Ia intensif mempelajari berbagai kitab klasik seperti Nahwul Wadlih, Balaghatul Wadhihah,
Jurumiyah, Alfiyah, Taqrib, Iqna', 'Mustalah Hadis', 'Jam'ul Jawami', dan
lain-lain. Di pesantren tradisional ini, Mukti Ali banyak belajar dan
berdiskusi dengan para seniornya. Di antara para senior
Mukti Ali adalah K.H. Abdul Hamid (asal Lasem yang kemudian menetap di
Pasuruan) dan K.H. Ali Ma'sum (Rais Aam Syuriyah PBNU 1981-1984). Di Pesantren ini juga Mukti Ali bersama K.H. Ali Ma'sum sempat merintis
berdirinya madrasah yang kemudian K.H. Ali Ma'sum menjadi kepala sekolah dan
Mukti Ali menjadi wakilnya.[2]
Setelah selesai belajar agama di Pesantren Termas, Mukti Ali malanjutkan
pendidikan agamanya di Pesantren Hidayah, Saditan, Lasem, Rembang di bawah
asuhan K.H. Maksum, ayah dari K.H. Ali Ma'sum, sahabat dan gurunya di pesantren
Termas. Meskipun kedua pesantren yang pernah ia singgahi untuk belajar tersebut
berbasis Nahdlatul Ulama, namun Mukti Ali tumbuh dan berkembang menjadi ulama
intelektual dan ulama pembaharu yang berpengaruh.
Setelah menuntaskan
pendidikan agamanya di berbagai pesantren, Mukti Ali melanjutkan pendidikannya
di Sekolah Tinggi Islam (STI) Yogyakarta yang saat itu baru saja berdiri. Ia
memilih Fakultas Agama sebagai pilhannya. STI inilah yang sekarang dikenal
sebagai Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta. Pada tahun 1950, Mukti
Ali ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Selanjutnya, ia memutuskan untuk
pergi ke Karachi, Pakistan. Dengan kemampuan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris
yang baik, Mukti Ali diterima di program sarjana muda di Fakultas Sastra Arab,
Universitas Karachi, Ia mengambil program Sejarah Islam sebagai bidang
spesialisasinya. Lima tahun kemudian, Mukti Ali mampu menamatkan program
tingkat sarjana mudanya sekaligus melanjutkan program Ph.D di universitas yang
sama. Pada bulan Agustrus 1955, ia ke Montreal, Kanada, untuk melanjutkan
belajarnya di Universitas Mc Gill
dengan mengambil spesialisasi Ilmu Perbandingan Agama.[3]
c.
Karya-Karya Mukti Ali
Semasa hidupnya, Mukti Ali telah menulis beberapa buku antara lain :
1)
Pemberontakan Ahmad Uarabi dan
Perjuangan Konstitusi di Mesir dan Gerakan Imam Mahdi di Sudan Yogyakarta: Media, 1969.
2) Ilmu Perbandingan Agama: Sebuah Pembahasan
Tentang Metodos dan Sistema, Yogyakarta: yayasan Nida, 1965.
3)
Keesaan Tuhan dalam Al-Qur’an, Yogyakarta: yayasan
Nida, 1972.
4)
Asal-Usul Agama, Yogyakarta: yayasan Nida,
1970.
5) Etika Agama dalam Pembinaan Kepribadian Nasional dan Pemberantasan
Kemiskinan dari Segi Agama Islam, Yogyakarta; yayasan
Nisa, 1971.
6) Masalah Komunikasi Ilmu Pengetahuan dalam Rangka Pembangunan
Nasional , Yogyakarta, Yayasan
Nida, 1971.
7)
Dialog Antar Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida,
2970.
8)
Beberapa Masalah Pendidikan Agama di Indonesia, Yogyakarta: Yayasan Nida, 1971.
9)
Faktor-Faktor Penyiaran Islam di Indonesia, Yogyakarta: Nida, 1971.
10)
Relegion And Development in Indonesia, Yogyakarta:
Nida, 1971.
11)
Seni, Ilmu dan Agama, Yogyakarta: Yayasan Nida,
1972
12)
Laboratorium Hisab dan Ru’yah.
13)
Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali press, 1981.
14)
Ilmu Perbandingan Agama di Indonesia,
Bandung: Mizan, 1988.
15)
Muslim Bilali dan Muslim Muhajir di Amerika Serikat, Jakarta, 1990.
16)
Ijtihad dalam Pandangan Muhammad Abduh, Ahmad Dahlan dan Muhammad
Iqbal , Jakarta: Bulan Bintang, 1990.
17) Ta’limul Muta’allim Versi Imam Zarkasyi, Suatu
Pembahasan Perbandingan Tentang Metodologi
Pendidikan Agama di Abad Pertengahan dan di Pondok Modern Darussalam
Gontor Ponorogo.
18)
Ensiklopedi Islam di Indonesia, 3 jilid (sebagai
anggota dewan redaksi)
19)
Metode Memahami Agama Islam, Jakarta: Bulang
Bintang, 1991.
20)
Memahami Beberapa Aspek Ajaran Islam,
Bandung: Mizan, 1991.
21)
Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, Mizan, 1992.
22)
Islam dan Sekularisme di Turki Modern,
Jakarta: Djambatan, 1994.
23)
Alam Pikiran Islam Modern: di Timur Tengah,
Jakarta, 1995.
24)
Ibnu Khaldun dan Asal Usul Sosiologi, Yogyakarta:
Nida, 1997.
25) Agama dalam Pergumulan Masyarakat Kontemporer , Yogyakarta: Yayasan Nida, 1997.
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali meninggal dunia dalam usia 81 tahun pada
tanggal 5 Mei 2004, sekitar pukul 17.30 di Rumah Sakit Umum Dr. Sardjito, Yogyakarta.
Jenazahnya dimakamkan di pemakaman keluarga besar Institut Agama Islam Negeri
(IAIN) Sunan Kalijaga di Desa Kadisoko, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
2.
Pemikiran Prof. Dr.
H. Abdul Mukti Ali
a.
Mengintegrasi studi keilmuan Islam dengan keilmuan
lainnya.
Metode mempelajari
islam yang berlaku di Indonesia masih terbagi- bagi menjadi tauhid, fiqih,
akhlak, tasawuf, tarikh, tafsir, hadis, dan sebagainya. Tiap cabang ilmu itu
diajarkan sesuai dengan tingkatan orang yang diajar, lebih tinggi tingkatannya,
lebih luas uraiannya. Hasilnya adalah pengetahuan tentang Islam yang tidak
bulat, orang yang mendalami tasawuf seringkali menganggap remeh tentang fiqih,
dan orang yang ahli fiqih tidak jarang merendahkan tasawuf. Begitu juga orang
yang mendalami filsafat seringkali merendahkan antropologi, sosiologi, dan sebagainya,
dan tidak jarang orang yang mendalami antropologi dan sosiologi memicingkan
mata sebelah terhadap fiqih, hadis, dan sebagainya.
Begitu juga
pendekatan terhadap agama Islam masih sangat pincang. Ahli-ahli Ilmu
pengetahuan termasuk dalam hal ini para orientalis, mendekati Islam dengan
Metode Ilmiah saja. Akibatnya ialah bahwa penelitiannya itu menarik tapi
sebenarnya mereka tidak mengerti Islam secara utuh. Yang mereka ketahui hanya eksternalitis (segi-segi luar) dari
Islam saja. Sebaliknya, para ulama kita sudah terbiasa memahami ajaran islam
dengan doktriner dan dogmatis, yang sama sekali tidak dihubungkan dengan
kenyataan-kenyataan hidup dalam masyarakat. Akibatnya ialah penafsirannya
itu tidak dapat diterapkan dimasyarakat. Inilah sebabnya orang memiliki kesan
bahwa Islam sudah ketinggalan jaman dan tidak sesuai dengan alam pembangunan
ini.
Menurut Mukti Ali
hal ini tidak boleh terjadi. Islam harus dipahami secara bulat. Oleh karena
itu, bagi metode studi Islam yang sudah terlanjur hendaknya diajarkan
Al-Quran dan Sejarah Islam secara komprehensif. Dengan demikian kita
dapat memperoleh pengetahuan tentang islam secara bulat dan utuh. Mukti Ali
yakin bahwa dengan itu kita akan dapat meletakkan dasar yang paling kokoh untuk
ekspansi dan perkembangan pemikiran islam selain itu, dengan pengertian yang
utuh terhadap islam akan membawa kita untuk memahami masyarakat secara utuh
pula, dengan meluaskan jalan kearah pengokohan ummatan wahiddin, ummatut tauhid.
b.
Metode penelitian dan cara memandang sesuatu
dengan benar
Mukti Ali mengatakan bahwa yang menentukan dan membawa stagnasi dan masa
kebodohan atau kemajuan bukanlah karena ada atau tidak adanya orang-orang
jenius, melainkan karena metode penelitian dan cara melihat sesuatu. Untuk ini
kita dapat mengambil contoh yang terjadi pada abad 14, 15 dan 16 Masehi. Aristoteles (384-322 SM) sudah tentu jauh lebih jenius dari
Francis Bacon (1561-1626), dan plato (366-347 SM) adalah lebih jenius dari
Roger Bacon (1214-1294). Dalam hal tersebut dua orang Bacon itu menjadi faktor
dalam kemajuan sains, sekalipun kedua orang itu jauh lebih rendah jeniusnya
dibandingkan dengan Plato dan Aristoteles, sedangkan orang-orang jenius itu
tidak bisa membangkitkan Eropa abad pertengahan, bahkan menyebabkan stagnasi
dan kemandegan.
Ada pertanyaan mengapa orang-orang jenius menyebabkan kemandegan dan
stagnasi di dunia, sedangkan orang-orang yang biasa-biasa saja dapat membawa
kemajuan-kemajuan ilmiah dan kebangkitan rakyat? Mukti Ali menjawab sebabnya
adalah karena orang-orang yang biasa-biasa saja itu menemukan metode berpikir
yang benar dan utuh, sekalipun kecerdasannya biasa, mereka dapat menemukan
kebenaran. Sedangkan pemikir-pemikir jenius yang besar, apabila tidak
mengetahui metode yang benar dalam melihat sesuatu dan memikirkan masalah-masalahnya,
maka mereka tidak akan dapat memanfaatkan kejeniusannya. Uraian tersebut
sama sekali bukan dimaksudkan untuk merendahkan orang-orang jenius, melainkan
yang ingin dikatakan bahwa untuk mencapai suatu kemajuan, kejeniusan saja belum
cukup, melainkan harus dilengkapi dengan ketepatan memilih metode yang akan
digunakan untuk kerjanya dalam bidang pengetahuan. Metode yang tepat adalah
masalah pertama yang harus diusahakan dalam berbagai cabang ilmu
pengetahuan. Kewajiban pertama bagi setiap peneliti adalah memilih metode yang
paling tepat untuk riset dan penelitiannya. Selain itu penguasaan metode yang
tepat dapat menyebabkan seseorang mengembangkan ilmu yang dimilikinya.
Sebaliknya mereka yang tidak menguasai metode hanya akan menjadi konsumen ilmu,
dan bukan menjadi produsen.[4]
c.
Pemikiran Pendidikan Moral
Secara umum, Mukti
Ali menyoroti masalah etika, akhlaq atau moral lebih pada bagaimana ia dapat
diakses dan diterapkan oleh golongan pelajar yang terbagi dua yaitu, golongan
intelektual atau cendekiawan dan kaum praxis. Menurutnya kaum cendekiawan
dengan kemampuan intelektualnya harus memiliki nilai-nilai moral dalam setiap
ranah intelektual pengetahuannya. Ide-ide, konsep-konsepnya harus bisa lebih
mendorong mereka untuk perbaikan-perbaikan, penyempurnaan-penyempurnaan dari
sebuah keadaan yang sekarang dialami. Hal ini bukan berarti keadaan sekarang
tidak lebih baik, tetapi bagaimana kegelisahan para cendekiawan tersebut dapat
memberi sumbangan berarti terhadap keadaan moral masyarakat ke arah yang lebih
baik. Untuk itu, menurut Mukti Ali, salah satu syarat seorang cendekiawan
terutama cendekiawan muslim adalah bahwa ia harus memiliki kecakapan untuk
melahirkan pikiran-pikiran tentang moral dalam kata-kata, baik lisan maupun
tulisan.
Sedangkan kepada
golongan praxis, yang lebih dituntut adalah bagaimana ia dapat menerapkan
praktek moral dalam kehidupan sehari-hari, yang sangat berkaitan dengan hal-hal
yang kongkrit. Lebih jauh tugasnya adalah melakukan tindakan-tindakan untuk
mengatasi persoalan-persoalan empirik.
d.
Pemikiran keagamaan Mukti Ali dan Perbandingan
agama
Drs. A. Singgih
Basuki, MA., (56 tahun) mengatakan, Mukti Ali adalah seorang pemikir Islam
Indonesia (1923-2004) yang berkarakter kuat, berpikiran modern ,dan konsisten.
Sosoknya sangat fenomenal di kalangan akademisi Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam sampai saat ini. Prestasi Akademiknya, berhasil mengembangkan Ilmu
Perbandingan Agama dengan membuka Jurusan Perbandingan Agama pada Fakultas
Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga (sekarang UIN Sunan Kalijaga). Di Jurusan inilah
semua agama dipelajari dan diperbandingkan agar umat manusia dapat saling
menghargai perbedaan agama secara wajar. Usaha Mukti Ali mengembangkan
Perbandingan Agama sebagai salah satu kajian utama di IAIN, telah memberikan
dampak yang signifikan bagi berkembangnya wacana dialog antar agama di
Indonesia.
Bagaimana
sesungguhnya pemikiran keagamaan Mukti Ali, Singgih Basuki mengungkapnya
kembali melalui studi riset, yang kemudian diangkatnya menjadi karya disertasi
untuk meraih gelar Doktor Bidang Ilmu Agama Program Pascasarjana UIN Sunan
Kalijaga. Karya disertasi Dosen Fakultas Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran
Islam UIN Sunan Kalijaga ini, dipertahankan dihadapan tim penguji antara lain
Prof. Dr. H. Faisal Ismail, MA., Prof.Dr. H.M. Bahri Ghozali. MA.,dan Prof. Dr.
H. Machasin, MA.,Prof. Dr. Banawiratma ,Prof. Dr. H. Djam’annuri, MA.,(Promotor
merangkap penguji) serta Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA.,(Promotor merangkap
penguji), bertempat di Gedung Convension Hall kampus setempat, Jum’at,19
Oktober 2012.
Dalam karya riset
disertasi yang mengangkat judul “Pemikiran Keagamaan A. Mukti Ali”, Putra
kelahiran Ngawi ini antara lain memaparkan bahwa, ide dasar pemikiran Mukti Ali
diantaranya: agama (Khususnya Islam) mengandung nilai kebenaran, keselamatan
dan kesejahteraan lahir batin untuk seluruh umat manusia yang kekal dan
universal, sehingga relevan sepanjang Zaman. Ajaraan Islam ini di turunkan
kepada seluruh umat manusia dalam konteks ruang dan waktu apapun. Oleh
karenanya, sesungguhnya Allah SWT tidak pernah berhenti berfirman setelah Al-
Qur’an. Allah SWT terus-menerus menyatakan kehendak-Nya sepanjang zaman. Untuk
memahami kehendak Allah SWT sampai akhir zaman ini, agama harus senantiasa
diaktualisasikan agar dapat member inisiatif dan pandangan yang dinamis serta kreatif
pada pergaulan hidup seluruh umat manusia.
Sementara itu
mengacu pada tiga konsep orientasi agama Allport
dan Ross, yang memandang agama
sebagai tujuan akhir, agama sebagai alat dan agama sebagai pencarian, maka
orientasi pemikiran Mukti Ali, memposisikan agama sebagai proses pencarian
kreatif dalam kehidupan untuk menemukan tujuan hidup yang mulia, sesuai yang
dikehendaki Allah SWT, tertanam dalam qolbu
manusia, yang harus terus diasah dan diperjuangkan oleh semua umat manusia.
Maka Menurut Mukti Ali melalui agama, khususnya Islam, setiap manusia akan
bersikap kritis dan sensitif terhadap agama. Setiap manusia akan belajar dan
berfikir untuk menemukan hakekat terdalam dari pesan-pesan agama.
Bentuk pemikiran
keagamaan Mukti Ali terbangun atas tiga etos: Keilmuan, Kemanusiaan dan
Kebangsaan.
1. Etos keilmuannya bertumpu pada poros metodologi tiga
arus yang disebut scientific-cum-doctrinaire.
Etos keilmuan Mukti Aliscientific-cum-doctrinaire
memperkenalkan pemahaman agama secara multidimensi sehingga pemahaman terhadap
agama menjadi utuh, bersesuaian dengan tradisi yang hidup di masyarakat,
universal dan dalam batas-batas tertentu, pesan-pesan agama akan mengalami
perubahan karena menyesuaikan lingkungan yang terus berubah. Demikian juga
pendekatan agama juga akan mengalami persesuaian agar tercipta sikap yang
terbuka,saling menghormati dan toleransi yang tinggi baik antar sesama agama
yang sama maupun antar umat beda agama.
2. Etos kemanusiaan Mukti Ali memposisikan peran agama
dalam mendorong pembangunan bangsa dan Negara. Konsep Mukti Ali tentang
pembangunan manusia seutuhnya menjadi tumpuan yang mengawal proses pembangunan
di Indonesia sejak masa Orde Baru. Melalui konsep Mukti Ali inilah nilai-nilai
agama mampu menjadi motivator dalam berbagai program pembangunan di Indonesia.
3. Etos kerukunan dan dialog Mukti Ali bernafaskan konsepagree in disegeement yang
dikembangkan di Indonesia sampai sekarang. Pemikirannya tentang kerukunan hidup
antar umat beragama dan dialog juga sampai saat ini terus digelorakan di
seluruh wilayah Indonesia, lebih-lebih dengan semakin banyaknya konflik antar umat
beragama di negeri ini, demikian jelas Singgih Basuki.[5]
e.
Pemikiran pendidikan di Indonesia
Ketika menjadi
menteri Agama Mukti Ali melakukan banyak pembaruan, pada masa itu muncul
istilah, “Pembanguan manusia dan masyarakat Indonesia seutuhnya”. Konsep “
pembangunan manusia seutuhnya”, bertitik berat pada aspek manusia dengan
religiositasnya. Dalam pandangan Mukti Ali, menekankan pembangunan ekonomi saja
akan menyebabkan tumbuh suburnya kapitalisme dan imperialisme, sedangkan dengan
konsep “pembangunan masyarakat seutuhnya” diharapkan diskriminasi pembangunan
antar kelompok etnik dan daerah dapat dihindari.
Selain itu, gagasan
dan pemikiran Mukti Ali memasuki wilayah dialog dan penciptaan kerukunan
antarumat beragama serta pembersihan citra Kementrian Agama sebagai alat
perjuangan politik golongan Islam tertentu, serta membentuk Majlis Ulama
Indonesia (MUI) pada akhir tahun 1975. Mukti Ali juga memiliki gagasan yang terkait
dengan pembaruan di IAIN, dalam berbagai forum ia menggugat beberapa kelemahan
IAIN, yakni dalam penguasaan bahasa asing selain Arab (khususnya Inggris),
minat ilmu, dan metode penelitian ilmu Islam.[6]
Empat poin pemikiran
dan kebijakan Mukti Ali, khususnya yang berkaitan dengan pengembangan
pendidikan Islam sebagai berikut.
1. Kebijakan tentang pembenahan lembaga pendidikan
Islam.
Upaya ini dilakukan dengan mengambil inisiatif
bekerjasama dengan departemen lain, khususnya departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Setelah melalui proses panjang dan hati-hati, lahirlah surat
keputusan bersama (SKB) Menteri Agama, Menteri P&K dan Menteri Dalam
Negeri atau yang dikenal SKB tiga menteri, No.6 Tahun 1975, dan No. 037/U/a975.
Dalam SKB tiga menteri tersebut ditegaskan: (1) agar ijazah madrasah dalam
semua jenjang dapat mempunyai nilai yang sama dengan ijazah sekolah umum. (2)
agar lulusan madrasah dapat melanjutkan ke sekolah umum setingkat dan lebih di
atas. (3) agar siswa madrasah dapat berpindah ke sekolah umum yang setingkat,
maka kurikulum yang diselenggarakan madrasah harus terdiri dari 70% pelajaran
umum, dan 30% pelajaran agama.
2. Kebijakan tentang modernisasi lembaga pesantren.
Meskipun Mukti Ali menjaga kemandirian
pesantren dengan mempertahankan sistem atau bahkan kurikulum yang sudah
berjalan, keinginannya untuk membawa pesantren ke pusat perhatian Orde
Baru sangat besar. Melalui SKB Mentri Agama dengan Menteri Pertanian No. 34 A
Tahun 1972, mengadakan program bersama dengan Departemen Pertanian untuk
mengadakan pembinaan Ponpes dalam bidang pertanian dan perikanan. Kerja
sama itu juga dilakukan dengan departemen-departemen lain, yang intinya
ditujukan untuk memberi pembinaan-pembinaan manajerial bagi pengelolaan
lembaga pendidikan Islam.
3. Kebijakan tentang pembenahan IAIN.
Segera setelah Departemen Agama mencanangkan
perluasan pendidikan tinggi bagi umat Islam, sebagaimana tercantum dalam
Repelita I Tahun 1969-1973, umat Islam secara beramai-ramai entah atas nama yayasan
agama, organisasi, pesantren atau pribadi, mendirikan IAIN. Menurut
laporan Departemen Agama, disebutkan bahwa pada pertengahan tahun 1973,
jumlah lembaga pendidikan tinggi Islam se Indonesia ada sekitar 112 IAIN,
tersebar di seluruh pelosok tanah air. Ada yang di kota besar, dan ada juga
yang di kota kecamatan, bahkan di pedesaan. Mempertimbangkan perkembangan ini,
Mukti Ali kemudian meneliti kelayakan IAIN yang berjumlah besar itu. Hasilnya
berdasarkan Keputusan Direktur Pembinaan Perguruan Tinggi Agama (Bimperta) No.
32 Tahun 1975, dari 112 IAIN itu hanya 13, semuanya terdapat di kota provinsi,
dan yang memenuhi syarat-syarat menjadi lembaga pendidikan tinggi agama, diberi
izin untuk beroperasi, selebihnya ditutup. Sementara IAIN yang berada di kota
kabupaten, seperti Cirebon, Serang, Malang, dan mataram, yang dipandang
memenuhi syarat dijadikan IAIN cabang yang secara administratif berada di
bawah supervisi IAIN yang di kota provinsi.
4. Kebijakan peningkatan mutu IAIN.
Kebijakan ini dilakukan dengan cara
meningkatkan mutu tenaga pengajar di IAIN. Dalam kaitan ini, Departemen Agama
mulai mengirimkan dosen-dosen untuk belajar ke luar negeri, antara lain Timur
Tengah, Amerika Serikat, Belanda, dan Kanada. Menurut catatan Departemen Agama,
hingga 1972, jumlah dosen IAIN dan pejabat Departemen Agama yang dikirim
ke Barat ada sekitar 55 orang. [7]
3.
Metode Pemikiran
Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Jika kita
mempelajari cara orang mendekati dan memahami Islam, maka ada tiga cara yang digunakan.
Tiga cara pendekatan itu adalah naqli
(tradisional), aqli (rasional) dan kasyfi (mistis). Tiga pendekatan ini
sudah ada dalam pikiran Nabi Muhammad saw., dan terus dipergunakan oleh
ulama-ulama Islam setelah beliau wafat. Kadang-kadang ada pendekatan yang
sangat menonjol pada suatu ketika, kemudian surut dan diganti dengan pendekatan
lain, tetapi bagaimana pun juga, meskipun dalam tingkatan yang berbeda-beda,
tiga pendekatan itu terdapat dalam cara ulama-ulama Islam berusaha memahami
agama Islam.
Adapun metode
pendekatan yang digunakan Mukti Ali dalam memahami ajaran Agama Islam,
diantaranya yaitu:
a.
Metode Scientific
Cum Doktriner
Dalam mempelajari
dan mengetahui Islam kita kenal metode orang-orang Barat yang meneliti Islam,
yaitu metode naturalis, psikologis, dan sosiologis. Kita harus mempelajari
metode-metode ilmiah yang digunakan oleh orang-orang Barat itu, akan tetapi
bukan merupakan suatu keharusan untuk mengikuti metode-metode itu. Dewasa ini
metode-metode ilmiah dalam segala cabang ilmu pengetahuan telah mengalami
perubahan, dan pendekatan-pendekatan baru telah ditemukan. Jadi metode-metode
baru harus dipilih dalam penyelidikan tentang agama.
Islam adalah agama
yang bukan mono- dimensi, oleh karena itu satu metode saja tidak cukup untuk
mempelajari Islam. Islam bukan agama yang hanya didasarkan kepada intuisi
mistis dari manusia dan terbatas pada hubungan antara manusia dengan Tuhan. Ini
hanya merupakan salah satu dimensi dari agama Islam. Untuk mempelajari dimensi
ini, metode filosofis harus digunakan, karena hubungan manusia dengan Tuhan dibahas
dalam filsafat, dalam artian pemikiran metafisis yang umum dan bebas. Dimensi
lain dari agama Islam adalah masalah kehidupan manusia di bumi ini. Untuk
memahami dimensi ini harus dipergunakan metode-metode yang selama ini
dipergunakan dalam ilmu alam. Lalu Islam juga suatu agama yang membentuk
masyarakat dan peradaban . Untuk mempelajari dimensi ini maka metode sejarah
dan sosiologi harus dipergunakan. Selain itu karena Islam adalah suatu agama
maka metode-metode tersebut harus ditambah dengan doktriner.[8]
b.
Metodologi Sosio-Historis
Banyak tulisan
Mukti Ali yang menggunakan pendekatan sejarah, menurutnya sejarah itu penting
untuk mengetahui dan memahami masyarakat dengan perubahan-perubahannya.
Sedangkan aspek sosial dalam masyarakat sangat efektif menggunakan pendekatan
sosiologis, sehingga beliau menawarkan menggunakan pendekatan sosio-historis.
Pendekatan
sosio-historis dimaksudkan suatu metode pemahaman terhadap suatu kepercayaan,
ajaran atau kejadian dengan melihatnya sebagai suatu kenyataan yang mempunyai
kesatuan mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan
dimana kepercayaan, ajaran dan kejadian itu muncul. Dalam Islam sebenarnya
metode ini sudah ada dalam asbabun nuzul
dan asbabul wurud untuk memahami
Al-Qur’an dan Hadits. Penggunaan metode sosio-historis dalam memahami ajaran
Islam berarti menguraikan dan merumuskan ajaran Islam dan sumber dasarnya
Al-Qur’an Hadits, sifat dan kebudayaan arab sebelum dan sesudah Islam lahir.[9]
c.
Metode Tipologi
Metode ini oleh
banyak ahli sosiologi dianggap objektif berisi klasifikasi topik dan tema
sesuai dengan tipenya, lalu dibandingkan dengan topik dan tema yang mempunyai
tipe yang sama. Pendekatan ini digunakan oleh sarjana-sarjana Barat untuk
memahami ilmu-ilmu manusia.[10] Dalam hal Agama Islam,
juga agama-agama lain kita dapat mengidentifikasikan lima aspek atau ciri dari
agama itu, lalu dibandingkan dengan aspek dan ciri yang sama dari agama-agama
lain :
1) Aspek Ketuhanan
Agar dapat mengetahui lebih luas tentang
Islam, yang perlu kita ketahui pertama adalah Tuhan. Untuk mengenal dengan
betul ciri-ciri Tuhan, kita harus kembali kepada Al-Quran yang telah
menerangkan dengan jelas sifat-sifat Tuhan, dan hadis Nabi, serta keterangan
dari pemikir-pemikir besar Muslim dalam bidang itu. Lalu kita bandingkan
konsepsi tentang Allah itu dengan tuhan dalam agama-agama lain.
2) Aspek Kitab Suci
Tingkat kedua untuk mengetahui Islam adalah
mempelajari Kitab sucinya yaitu Al-Qur’an. Orang harus mengetahui Al-Qur’an itu
kitab apa dan masalah-masalah apa saja yang digarap oleh Al-Qur’an itu dan
bagaimana caranya. Setelah itu kita bandingkan Al-Qur’an dengan
kitab-kitab suci agama lain.
3) Aspek Kenabian
Tingkat ketiga dalam usaha untuk memahami
agama Islam adalah mempelajari pribadi Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan
membandingkannya dengan nabi-nabi dan pendiri-pendiri agama lain.
4) Aspek Suasana dan Situasi dimana Nabi bangkit
Tingkat keempat untuk memahami Agama Islam
adalah dengan meneliti waktu, suasana, dan situasi bangkitnya seorang nabi.
Setelah itu membandingkan dengan situasi dan kondisi turunnya Nabi pada agama
lain.
5) Aspek Orang- orang terkemuka
Tingkat kelima dalam memahami agama Islam adalah
dengan meneliti orang-orang terkemuka, atau individu-individu terpilih yang
dihasilkan oleh agama itu. Misalnya keempat sahabat Nabi Muhammad saw. Dengan
mempelajari kehidupan dan ide-ide empat orang tersebut kurang lebih dapat
mewakili corak dan tingkatan masyarakat yang pertama kali didakwahi oleh Nabi.
Orang dapat memahami akibat-akibat yang ditimbulkan oleh risalah Nabi Muhammad.
4.
Hikmah dan kritik mempelajari
Autobiografi Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali
Setelah kita
mempelajari biografi, sejarah hidup, karya, dan pemikiran Mukti Ali kita akan
menemukan beberapa kenyataan pemikiran dan sudut pandang baru yang dapat kita
renungkan, pelajari dan mencoba untuk merealisasikannya. Hikmah dan kritik pemikiran
itu antara lain :
a. Dengan bercermin pada riwayat pendidikan Mukti Ali,
setidaknya kita perlu mencontoh bahwa untuk meningkatkan pengetahuan dan
membuka wawasan /cakrawala hidup, kita tidak boleh fanatik dengan suatu bidang
keilmuan saja atau orang/tokoh dan lembaga pendidikan tertentu, hendaknya kita
mencari dan mengkombinasikan berbagai ilmu/pengetahuan itu dari manapun,
siapapun asalkan dengan niat, cara dan metode yang benar.
b. Pola pemikiran seseorang ditentukan oleh perjalanan
dan pengalaman hidupnya, semakin banyak seseorang bergaul dengan siapapun dan
berhijrah dari berbagai tempat semakin ia mampu menghargai dan menghormati
berbagai perbedaan dan mengambil pelajaran dari perbedaan itu untuk bahan
peningkatan keilmuannya.
c. Keberhasilan suatu pekerjaan tidak semata-mata
ditentukan oleh tingkat kepandaian / kecerdasan IQ seseorang, melainkan faktor
pengalaman dalam menerapkan berbagai strategi dan metodologi yang tepat
terhadap suatu situasi yang berbedalah yang sangat menentukan keberhasilan
suatu pekerjaan itu.
d. Untuk mendapatkan pengetahuan tentang Islam secara
keseluruhan maka kita harus berani berfikir dan sejenak melepaskan diri dari
belenggu doktrin-doktrin kemudian mengkombinasikan berbagai bidang keilmuan
baik yang bernuansa Islam, sains, sejarah, sosiologis bahkan membandingkan
dengan agama dan kepercayaan lainnya.
e. Kita belajar tidak hanya sekedar menjadi konsumen
ilmu namun diharapkan mampu menjadi produsen ilmu, dalam artian kita tidak
harus kaku dalam berfikir dan terlalu teoritis serta hanya menghafalkan atau
memakai suatu ilmu, namun yang diharapkan umat Islam mampu berfikir kritis, mandiri,
tepat guna untuk mengembangkan ilmu-ilmu yang ada sesuai dengan tuntutan zaman.
f. Kritik terhadap Mukti Ali berkaitan dengan kurikulum
di madrasah yang mana kurikulumnya menciptakan output yang setengah-setengah
dan beban belajar siswanya berat karena terlalu banyak mapel dan materi serta
tidak terfokus.
g. Sebagai menteri agama Mukti Ali tidak berani
menggabungkan pendidikan formal keagamaan dalam satu naungan kementerian yang
bergerak dalam bidang pendidikan, sehingga sampai sekarang terjadi dualisme
sistem pendidikan di Indonesia yang menyebabkan pendidikan di Indonesia sampai
sekarang masih carut marut konsepnya.
h. Konsep integrasi ilmu yang ditawarkan Mukti Ali
disisi lain membuka wawasan dan cakrawala pengetahuan namun disisi lain
mengaburkan kefokusan suatu ilmu sehingga sulit menciptakan ilmuan-ilmuan yang
pakai guna. Karena adakalanya integrasi keilmuan yang mampu membawa perubahan
dan menciptakan sesuatu yang berdaya guna lebih pada menjalin hubungan/interaksi
dan kerjasama antar ilmuan yang menguasai dan fokus pada bidangnya
masing-masing untuk saling melengkapi dalam menciptakan/memproduksi sesuatu.
D. KESIMPULAN
1. Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali lahir di Desa Balun Sudagaran Cepu tanggal 23 Agustus 1923, ayahnya bernama Idris (Haji Abu Ali) ibunya bernama Mutiah (Hj. Khodijah), Mukti Ali menjadi Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan I (11 September 1971-1973) dan II (1973-29 Maret 1978) dengan programnya “Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya”.
2. Pendidikan Mukti Ali Antara lain : HIS (Hollandsch Inlandsche School), Madrasah Diniyah di Cepu, Ponpes Termas, Pacitan, di
bawah asuhan K.H. Dimyati dan puteranya K.H. Abdul Hamid Dimyati, Ponpes Hidayah, Saditan, Lasem, Rembang di bawah asuhan K.H. Maksum, ayah dari
K.H. Ali Ma'sum, Sekolah Tinggi Islam (STI)/UII Yogyakarta,
Universitas Karachi Pakistan, Universitas Mc
Gill Kanada.
3. Buku karya Mukti Ali Antara lain : Asal-Usul Agama, Dialog Antar Agama, Metode Memahami Agama Islam, Seni, Ilmu dan Agama.
4. Hasil pemikiran Mukti Ali Antara Lain :
a. Mengintegrasikan studi keilmuan Islam dengan
keilmuan lainnya.
b. Metode penelitian dan cara memandang sesuatu dengan
benar.
c. Pendidikan moral.
d. Pemikiran tentang agama/keagamaan (perbandingan
agama).
e. Pemikiran pendidikan di Indonesia.
5. Metode pemikiran yang digunakan Mukti Ali dalam
memahami ajaran agama Islam antara lain metode Scientific Cum Doktriner, Sosio-Historis, Tipologi.
E. DAFTAR PUSTAKA
Van
Hoeve, Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2005.
Azyumardi Azra , Saiful
Umam, Menteri-Menteri Agama RI : Biografi
Sosial Politik,Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Jakarta, 1998.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mukti_Ali, diakses 09/11/2015.
Abuddin
Nata, Metodologi Studi Islam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2009.
http://uin-suka.ac.id/page/berita/detail/652/telaah-pemikiran-a-mukti-ali-singgih-basuki-raih-doktor, diakses 09/11/2015.
Moh Damami, Saefan Nur, dkk, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Makalah Pemikiran Pendidikan Abdul Mukti Ali, Misjaya, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A., Program
Pasca Sarjana Ibnu Khaldum Bogor, 2013.
Mukti Ali, Metode
Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991.
Mukti Ali, Beberapa
Permasalahan Agama Dewasa Ini, INIS, Jakarta, 1990.
[1]
Van Hoeve, Ensiklopedi Islam, PT. Ikhtiar Baru, Jakarta, 2005, hlm. 99
[2]
Azyumardi Azra , Saiful Umam, Menteri-Menteri Agama RI : Biografi Sosial
Politik,Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat, Jakarta, 1998, hlm. 272-274.
[3]
https://id.wikipedia.org/wiki/Mukti_Ali, diakses 09/11/2015
[4]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,
Rajawali Pers, Jakarta, 2009, hlm. 152-153
[6]
Moh Damami, Saefan Nur, dkk, Lima Tokoh IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, hlm.
262-264.
[7]
Makalah Pemikiran Pendidikan Abdul Mukti Ali, Misjaya, Prof. Dr. Abudin Nata, M.A., Program
Pasca Sarjana Ibnu Khaldum Bogor, 2013.
[8]
Mukti Ali, Metode Memahami Agama Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm. Vii.
[9]
Mukti Ali, Beberapa Permasalahan Agama Dewasa Ini, INIS, Jakarta, 1990, hlm.
323.
[10]
Mukti Ali, Op.Cit, hlm. 37.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda