PEMIKIRAN KONSTRUKTIVISME DALAM PENDIDIKAN
Disusun oleh : Mohammad
Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana
STAIN Pekalongan
Abstrak
Constructivism
is a term that should be used with caution. It is widely used in many
disciplines. This entry is about constructivism in education. But even in the
more limited area of education, it is obvious that the term constructivism is
used with very different meanings. It is used to describe learning and teaching
as well as curricula and assessment. It is also used in a more philosophical or
epistemological meaning. This entry will try to describe some of these
different meanings. It will take an historical perspective, since this may shed
light on the development of the use of the term constructivism, and some of the
origins for the current, somewhat confusing situation. Particular emphasis will
be given to education, mainly because the influence has been largest in these
fields.
Kata kunci : Constructivism,
education
PENDAHULUAN
Pendidikan adalah suatu yang essensial
bagi manusia. Dengan pendidikan, manusia bisa belajar memahami alam semesta
demi mempertahankan kehidupannya. Karena pentingnya pendidikan, Islam
menempatkan pendidikan pada kedudukan yang penting dan tinggi dalam doktrin
Islam. Hal tersebut di buktikan dalam al-Qur’an dan Hadits yang banyak
menjelaskan tentang arti pendidikan bagi kehidupan umat Islam sebagai hamba
Allah.[1] Pendidikan Islam yang ada sekarang ini masih tertinggal dari model pendidikan lainnya
sehingga indeks SDM yang dihasilkan oleh lembaga pendidikan Islam sulit
bersaing dalam persaingan global.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan,
terlebih dahulu kita pahami bagaimana manusia belajar dan bagaimana cara
mengajarnya. Kedua kegiatan tersebut dalam rangka memahami cara manusia
mengkonstruksi pengetahuannya tentang objek peristiwa yang dijumpai selama
kehidupannya. Secara naluri, manusia akan mencari dan menggunakan hal atau
peralatan yang dapat membantu memahami pengalamannya. Demikian juga, manusia
akan mengkonstruksi dan membentuk pengetahuan mereka sendiri, karena pengetahuan
seseorang merupakan konstruksi dari dirinya. Yang mana istilah konstruksi
merupakan hasil pemikiran dari filsafat konstruktivisme. Sehingga pada makalah
ini akan kita bahas mengenai peran kontruktivisme dalam pendidikan.
A. FILSAFAT KONSTRUKTIVISME
1. Sejarah Konstruktivisme
Gagasan pokok aliran ini diawali oleh Giovan Battista / Giambatista Vico
(23 Juni 1668 – 23 Januari 1744), seorang epistemologi Italia.[2]
Ia dipandang sebagai cikal bakal lahirnya Konstruktivisme, Ia mengatakan bahwa
Tuhan yang dapat mengetahui segala sesuatu karena dia pencipta segala sesuatu.
Manusia hanya dapat mengetahui sesuatu yang dikonstruksikan Tuhan. Menurut
Vico, pengetahuan dapat menunjuk pada struktur konsep yang di bentuk,
pengetahuan tidak bisa lepas dari subyek yang mengetahui. Kemudian aliran ini
dikembangkan oleh Jean Piaget melalui teori perkembangan kognitif, Piaget
mengemukakan pengetahuan merupakan interaksi kontinu antara individu satu
dengan lingkungannya dan perkembangan kognitif dipengaruhi oleh tiga proses
dasar asimilasi, akomodasi dan ekuilibrasi.[3]
2. Pengertian Konstruktivisme
Istilah constructivism
(konstruksivisme) berasal dari kata kerja Inggris "to construct", kata ini merupakan serapan dari bahasa Latin
"con struere" yang berarti
menyusun atau membuat struktur. Konsep inti konstruktivisme adalah proses
penstrukturan atau pengorganisasian. Secara istilah, konstruktivisme merupakan
suatu aliran filsafat ilmu, psikologi dan teori belajar mengajar yang
menekankan bahwa pengetahuan kita adalah konstruksi (bentukan) kita sendiri.
Dalam jurnal berbahasa Inggris, para ahli mendifinisikan konstruksivisme
sebagai berikut:
·
(The mind can) "put together those ideas
it has, and make new complex ones." (Lock, 1947, p. 65).
· "It is assumed that learners have to
construct their own knowledge-- individually and collectively. Each learner has a tool kit of concepts and
skills with which he or she must construct knowledge to solve problems
presented by the environment. The role
of the community other learners and teacher is to provide the setting, pose the
challenges, and offer the support that will encourage mathematical
construction." (Davis, Maher, Noddings, 1990, p. 3).
· "Constructivism is not a theory about
teaching it is a theory about knowledge and learning the theory defines
knowledge as temporary, developmental, socially and culturally mediated, and
thus, nonobjective." (Brooks & Brooks, 1993, p. vii).
· "The doctrine it self holds that
'language users must individually construct the meaning of words, phrases, sentences
and texts.'" (Suchting, 1998, p. 61-62; von Glasersfeld, 1989, p. 132).
· "Constructivists allege that it is we
who constitute or construct, on the basis of our theorizing or experience, the
allegedly unobservable items postulated in our theories." (Nola, 1998, p. 32).
· "The central principles of this approach
are that learners can only make sense of new situations in terms of their
existing understanding. Learning
involves an active process in which learners construct meaning by linking new
ideas with their existing knowledge." (Naylor & Keogh, 1999, p.93).
· "Constructivists of different persuasion
(hold a) commitment to the idea that the development of understanding requires
active engagement on the part of the learner." (Jenkins, 2000,
p.601).[4]
3. Pengetahuan menurut Konstruktivisme
Menurut
pendekatan konstruktivistik, pengetahuan bukanlah kumpulan fakta dari suatu
kenyataan yang sedang dipelajari, melainkan sebagai konstruksi kognitif
seseorang terhadap objek, pengalaman, maupun lingkungannya. Pengetahuan
bukanlah sesuatu yang sudah ada dan tersedia, sementara orang lain tinggal
menerimanya. Pengetahuan adalah sebagai suatu pembentukan yang terus menerus
oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman
baru. Pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran
seseorang yang telah mempunyai pengetahuan kepada pikiran orang lain yang belum
memiliki pengetahuan tersebut. Bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep,
ide, dan pengetahuannya tentang sesuatu kepada siswa, pentransfer itu akan
diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh siswa sendiri melalui pengalaman dan
pengetahuan mereka sendiri.
4. Ciri-ciri Konstruktivisme
Aliran Konstruktivisme memiliki beberapa pendapat sebagai ciri dasar aliran
ini diantaranya :
a. Pengetahuan mutlak diperoleh dari konstruksi
kognitif dalam diri seseorang, melalui pengalaman yang diterima lewat
pancaindra.
b. Menolak adanya transfer pengetahuan yang
dilakukan dari seseorang kepada orang lain, dengan alasan pengetahuan bukan
barang yang bisa dipindahkan.
c.
Pembelajaran ditunjukkan untuk menggali
pengalaman bukan menstransfer ilmu.[5]
B. TEORI PENDIDIKAN KONSTRUKTIVISME
Dalam bidang pendidikan, Konstruktivisme membahas tentang proses
pembelajaran yang mana pengetahuan siswa dibangun oleh dirinya sendiri atas
dasar pengalaman, pemahaman, persepsi, dan perasaan siswa. Pengetahuan bukan
dibangun atau diberikan oleh orang lain, sehingga guru hanya berperan sebagai fasilitator
dan pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengontruksi bukan menerima
pengetahuan. Dengan demikian siswa mampu membangun sendiri pengetahuan mereka
lewat keterlibatan aktif proses belajar mengajar. Teori pendidikan
Konstruktivisme menjadi salah satu komponen utama CTL (Contektual Teaching and Learning) sebagai salah satu teori
pendidikan modern.[6]
Teori pendidikan konstruksionisme memuat dua proses pembelajaran, yakni
kegiatan belajar dan mengajar (learning
and teaching process). Bagian berikut akan memaparkan pandangan
konstruktivisme tentang proses belajar dan mengajar.
1. Belajar menurut Konstruktivisme
Dalam kerangka konstruktivis, belajar
dimaknai sebagai suatu upaya pengkonstruksian pengetahuan oleh individu sebagai
pemberian makna atas data sensori yang berkaitan dengan pengetahuan yang telah
ada sebelumnya. Proses belajar lebih diarahkan pada terbentuknya makna pada
diri pelajar atas apa yang dipelajarinya berdasarkan pengetahuan dan pemahaman
mereka sebelumnya. Dalam proses ini lebih ditekankan pada terbentuknya hubungan
makna antara pengetahuan yang telah ada dan pengetahuan baru dengan fasilitasi
kreativitas guru selaku mediator pembelajaran. Model konstruktivis memandang belajar itu
sebagai sebuah proses modifikasi ide dan pengetahuan yang telah dimiliki oleh
siswa menuju terbentuknya pengetahuan baru. Dalam proses ini siswa secara aktif
terlibat dalam upaya penemuan makna dari apa yang dipelajarinya, sehingga
secara langsung berdampak pada tumbuh dan berkembangnya keterampilan berpikir siswa
selama pembelajaran berlangsung.[7]
Dalam proses belajar ada beberapa komponen
utama yang mempengaruhi keberhasilan suatu kegiatan belajar berdasarkan
pandangan konstruktivis yaitu:
a. Peran guru
Pendidik / guru adalah elemen yang amat penting dalam pendidikan, sebab
pendidik berfungsi sebagai sentral dari seluruh aktivitas pendidikan khususnya
proses belajar mengajar. Hampir semua faktor pendidikan yang disebut dalam
teori pendidikan operasionalnya tergantung ditangan pendidik seperti, metode,
bahan pelajaran dan alat pendidikan. Ditangan pendidik kurikulum akan hidup dan
bermakna, metode penyajian menjadi hidup dan menarik, alat pendidikan akan
lebih bermanfaat.[8]
Seorang guru tidak boleh beranggapan bahwa cara berpikir siswa itu
salah. Guru perlu belajar dan mengerti cara berpikir mereka sehingga dapat
membantu mereka memodifikasinya.
Guru konstruktivis tidak akan membenarkan
ajarannya dengan mengklaim bahwa “ini satu-satunya yang benar”, guru tidak
dapat berkata lebih daripada “ini adalah jalan terbaik untuk situasi ini, ini
adalah jalan yang terefektif untuk soal ini sekarang”.
Dalam pandangan konstruktivis guru berperan sebagai berikut :
1)
Guru sebagai mediator dan fasilitator, dalam
beberapa tugas :
·
Menyediakan pengalaman belajar yang
memungkinkan siswa bertanggung jawab dalam membuat rancangan, proses, dan
penelitian.
·
Menyediakan sarana yang merangsang siswa
berpikir secara produktif.
·
memotivasi siswa dan menyediakan pengalaman
konflik.
·
Guru membantu mengevaluasi hipotesis dan
kesimpulan siswa.
2)
Penguasaan bahan, pengetahuan yang luas dan
mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda
dari siswa dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan
atau tidak.[9]
b. Peran siswa
Dalam pandangan konstruktivis siswa dianggap sebagai anak yang aktif,
bukan pasif yang hanya menanti guru untuk memenuhi otaknya dengan berbagai
informasi. Siswa adalah anak yang dinamis yang secara alami ingin belajar.[10]
Kita pahami bersama proses belajar mengajar konvensional umumnya berlangsung
satu arah yang merupakan proses transfer atau pengalihan pengetahuan,
informasi, norma, nilai, dan lain-lainnya dari seorang guru kepada peserta
didik. Proses seperti itu dibangun atas dasar anggapan bahwa siswa ibarat
bejana kosong atau kertas putih. Gurulah yang harus mengisi bejana tersebut
atau menulis apapun di atas kertas putih tersebut. Pandangan ini bertolak
belakang dengan pendapat konstruktivis yang menganggap siswa sebagai individu
yang telah memiliki pengetahuan dan guru hanya sebagai mediator.
Menurut konstruktivisme, kegiatan belajar adalah kegiatan yang aktif, di
mana pelajar membangun sendiri pengetahuannya dengan ketentuan sebagai berikut
:
1) Pelajar sendirilah yang bertanggung jawab
atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengetahuan lama dalam situasi belajar
yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya
dengan cara mencari makna, membandingkan dengan apa yang telah ia ketahui.
2) Pelajar harus punya pengalaman dengan membuat
hipotesis, mengetes hipotesis, memanipulasi objek, memecahkan persoalan,
mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi,
mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan untuk membentuk konstruksi
yang baru.
3)
Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka
sendiri dan guru membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu.[11]
2. Mengajar menurut Konstruktivisme
Menurut pandangan konstruktivis Mengajar adalah proses membantu
seseorang untuk membentuk pengetahuannya sendiri. Mengajar bukanlah mentransfer
pengetahuan dari orang yang sudah tahu (guru) kepada yang belum tahu (murid),
melainkan membantu seseorang agar dapat mengkonstruksi sendiri pengetahuannya
lewat kegiatannya terhadap fenomen dan objek yang ingin di ketahui. Dalam hal
ini penyediaan prasarana dan situasi yang memungkinkan dialog secara kritis
perlu dikembangkan.
Dalam pandangan konstruktivis ada beberapa kegiatan yang perlu
dikerjakan dan juga beberapa pemikiran yang perlu disadari oleh guru ketika
mengajar antara lain :
a. Guru perlu banyak berinteraksi dengan siswa
untuk lebih mengerti apa yang sudah mereka ketahui dan pikirkan.
b. Tujuan dan apa yang akan dibuat di kelas
sebaiknya dibicarakan bersama sehingga siswa terlibat.
c. Guru perlu mengerti pengalaman belajar mana
yang lebih sesuai dengan kebutuhan siswa. Ini dapat dilakukan dengan
berpartisipasi sebagai siswa di tengah siswa lainnya.
d.
Diperlukan keterlibatan dengan siswa yang
sedang berjuang dan belajar.
e.
Guru perlu memiliki pemikiran yang fleksibel
untuk dapat mengerti dan menghargai pemikiran siswa, karena kadang siswa
berpikir berdasarkan pengandaian yang tidak diterima guru.
Kemudian konstruktivisme memiliki beberapa Aspek pengajaran yaitu:
a. Adaptasi (adaptation),
adaptasi terhadap lingkungan dilakukan melalui dua proses, yaitu asimilasi dan
akomodasi.
b.
Konsep pada lingkungan (the concept of environment)
c.
Pembentukan makna (the construction of meaning).[12]
C.
TUJUAN DAN TAHAPAN PEMBELAJARAN KONSTRUKTIVISME
Tujuan pembelajaran
melalui pendekatan konstruktivisme
adalah menghasilkan manusia-manusia yang memiliki kepekaan (ketajaman baik
dalam arti kemampuan berfikirnya), kemandirian (kemampuan menilai proses dan
hasil belajar sendiri), tanggung jawab terhadap resiko dalam mengambil
keputusan, mengembangkan segenap aspek potensi melalui proses belajar yang
terus menerus untuk menemukan diri sendiri, yaitu suatu proses Learn To Be serta mampu melakukan
kolaborasi dalam memecahkan masalah yang luas dan kompleks bagi kelestarian dan
kejayaan bangsa.[13]
Adapun tahapan pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme adalah
sebagai berikut :
1.
Advance Organizer, yaitu statement perkenalan yang
menghubungkan antara skema yang sudah dimiliki oleh murid dengan informasi yang
baru berupa materi pelajaran. Tujuan dari proses pertama ini adalah memberi
arahan bagi siswa untuk mengetahui apa yang terpenting dari materi yang akan
dipelajari, memberikan penguatan terhadap pengetahuan yang telah diperoleh.
2. Menyampaikan tugas belajar, yaitu dengan menyampaikan persamaan
dan perbedaan dengan contoh yang sederhana. Untuk belajar sesuatu yang baru
murid perlu mengetahui persamaan dan perbedaan materi yang akan dipelajari
dengan pengetahuan yang sudah dimilikinya. Untuk proses ini bisa menggunakan
metode belajar diskusi, ceramah, film dan tugas belajar.
3. Penguatan
organisasi, yaitu usaha
guru untuk mengawal pelajaran dimulai dengan membantu murid untuk mengamati
bagaimana setiap detail informasi berkaitan dengan informasi yang lebih besar /
umum dengan memberikan kesempatan kepada murid untuk mengemukakan pemahamannya
tentang informasi apa yang baru mereka pelajari dan menambahkan informasi baru
kedalam informasi yang sudah dimiliki oleh siswa pada awal pelajaran.[14]
D.
KARAKTERISTIK DAN PRINSIP KONSTRUKTIVISME DALAM PEMBELAJARAN
Beberapa karakteristik
pembelajaran yang dimiliki
menurut pandangan konstruktivisme
antara lain :
1.
Membebaskan
murid dari belenggu kurikulum yang berisi fakta lepas yang sudah ditetapkan, dan memberikan
kesempatan kepada murid untuk mengembangkan ide-idenya secara lebih luas.
2.
Menempatkan
murid sebagai kekuatan timbulnya interes,
untuk membuat hubungan di antara ide atau gagasannya, memformulasikan kembali ide tersebut, serta membuat kesimpulan.
3. Guru
bersama murid mengkaji pesan penting bahwa dunia adalah kompleks, didalamnya
terdapat bermacam-macam pandangan tentang kebenaran yang datangnya dari
berbagai interpretasi.[15]
Sedangkan prinsip
pembelajaran yang diterapkan menurut konstruktivisme sebagai berikut:
1. Berpusat
pada siswa, setiap siswa pada dasarnya berbeda dan telah ada dalam dirinya
minat (interest), kemampuan (ability),
kesenangan (preference), pengalaman (experience), dan cara belajar (learning style).
2. Pembalikan
makna belajar, yang dulunya makna belajar sebagai transfer of knowledge yaitu siswa hanya menerima pengetahuan,
sekarang dibalik siswa yang lebih aktif mengorganisir pengetahuan itu.
3. Belajar
dengan melakukan, yaitu aktivitas siswa dilakukan dengan kegiatan nyata yang
melibatkan dirinya dengan cara mencari, menemukan dan mempraktekannya sendiri
sehingga siswa akan selalu teringat dan tertanam dalam hati. Kegiatan ini bisa
dilaksanakan dengan menggunakan metode belajar Ingkuiry dan Discovery
Learning.
4. Mengembangkan
kemampuan sosial, kognitif dan emosional, dalam pembelajaran siswa harus
dikondisikan dalam suasana interaksi dengan orang lain seperti antar siswa,
antar siswa dengan guru, dan siswa dengan masyarakat.
5. Mengembangkan
kreativitas, keingintahuan, imajinasi dan fitrah, kegiatan pembelajaran
diarahkan kepada pengembangan potensi dan bakat siswa sesuai dengan tingkatan
usia.
6.
Mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah, dalam pembelajaran perlu diciptakan situasi
yang menantang siswa untuk mencari dan menemukan masalah, serta melakukan
pemecahan dan mengambil kesimpulan. Kegiatan ini bisa dijalankan menggunakan
metode belajar Problem Solving.
7. Mengembangkan
kemampuan menggunakan Iptek, guru mengenalkan dan mempraktekkan kepada siswa
fungsi dan pemakaian Iptek dalam pembelajaran sehingga siswa tidak gagap dengan
perkembangan Iptek yang sangat cepat.
8. Belajar
sepanjang hayat, pembelajaran diarahkan agar siswa berfikir positif mengenai siapa dirinya
dengan segala kelebihan dan kekurangannya serta mensyukuri atas segala yang dia
dapatkan.[16]
Dalam
sebuah jurnal internasional dijelaskan beberapa spesifikasi asumsi atau prinsip konstruktivis dan relevansinya
terhadap desain pendidikan sebagai berikut:
1. An
emphasis on the identifi cation of the context in which the skills will be learned
and subsequently applied (anchoring learning in meaningful contexts).
2. An
emphasis on learner control and the capability of the learner to manipulate
information (actively using what is learned).
3.
The
need for information to be presented in a variety of diff erent ways (revisiting
content at diff erent times, in rearranged contexts, for diff erent purposes, and
from diff erent conceptual perspectives).
4. Supporting
the use of problem solving skills that allow learners to go “beyond the
information given” (developing pattern-recognition skills, presenting
alternative ways of representing problems).
5.
Assessment
focused on transfer of knowledge and skills (presenting new problems and
situations that diff er from the conditions of the initial instruction).[17]
E.
KELEBIHAN DAN KEKURANGAN KONSTRUKTIVISME DALAM
PENDIDIKAN
Dalam
setiap teori atau konsep pemikiran manusia tentang segala sesuatu pasti
memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, begitu juga dalam pemikiran
konstruktivisme pendidikan. Adapun kelebihan dan kekurangan pemikiran
konstruktivisme akan dijelaskan sebagai berikut:
1.
Kelebihan
·
Murid
berfikir untuk menyelesaikan masalah, mengungkapkan ide dan membuat keputusan.
· Murid
menjadi paham karena murid terlibat secara langsung dalam membina pengetahuan
baru, dan boleh mengapliksikannya dalam semua situasi sehingga mereka akan ingat
lebih lama semua konsep.
· Kemahiran
sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan rekan dan guru dalam membina
pengetahuan baru.
·
Adanya
motivasi bahwa belajar adalah tanggung jawab siswa sendiri.
· Mengembangkan
kemampuan siswa untuk mengajukan pertanyaan dan mencari sendiri pertanyaannya.
·
Membantu
siswa mengembangkan pemahaman konsep secara lengkap.
·
Mengembangkan
kemampuan siswa untuk menjadi pemikir yang mandiri.
·
Lebih
menekankan pada proses belajar bagaimana belajar itu. [18]
2.
Kelemahan
dan kendala
Dalam bahasan
kekurangan atau kelemahan, bisa kita analisa sebagai berikut:
·
Peran
guru sebagai pendidik kurang begitu mendukung.
·
Siswa
berbeda persepsi satu dengan yang lainnya.
·
Pembelajaran
konstruktivistik tidak cocok untuk siswa pasif.
·
Dalam
pembelajarannya tidak memusatkan pada kurikulum yang ada.
Adapun kendala yang
dihadapi dalam penerapan pemikiran konstruktivisme dalam pendidikan antara
lain:
·
Sulit mengubah keyakinan dan kebiasaan guru
· Guru kurang tertarik dan mengalami kesulitan mengelola kegiatan pembelajaran
berbasis konstruktivisme.
· Adanya anggapan guru bahwa penggunaan metode atau pendekatan baru dalam
pembelajaran akan memakan waktu dan tenaga yang cukup besar.
·
Sistem evaluasi yang masih menekankan pada nilai akhir.
·
Siswa terbiasa menunggu informasi dari guru.
F.
TOKOH KONSTRUKTIVISME
PENDIDIKAN
Aliran filsafat
konstruktivisme yang berasal dan berkembang pesat di dunia barat memiliki
beberapa tokoh penting yaitu : John Dewey (1859–1952), Maria Montessori
(1870–1952), Władysław Strzemiński (1893–1952), Jean Piaget (1896–1980), Lev
Vygotsky (1896–1934), Heinz von Foerster (1911–2002), George Kelly (1905–1967),
Jerome Bruner (1915), Herbert Simon (1916–2001), Paul Watzlawick (1921–2007), Ernst
von Glasersfeld (1917–2010), Edgar Morin (1921), Humberto Maturana (1928).[19]
Dari beberapa tokoh tersebut, ada yang namanya sangat familiar dengan konsep
konstruktivisme di bidang pendidikan yaitu :
1.
Jean Piaget
Jean Piaget (9 Agustus
1896 – 16 September 1980) menjelaskan pentingnya beberapa faktor internal
seseorang dalam proses belajar. Faktor-kator tersebut adalah tingkat kemampuan
berpikir, pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya, konsep diri, dan
keyakinan. Faktor internal tersebut menunjukkan kehidupan psikologis seseorang,
serta bagaimana dia mengembangkan struktur dan strategi kognitif serta
emosinya.
Kemudian Piaget menjelaskan bahwa perkembangan
kognitif manusia sesuai dengan aturan tertentu. Kemampuan berpikir pada satu
tahapan yang lebih tinggi merupakan perkembangan dari tahapan sebelumnya. Pada
tahapan yang lebih tinggi seseorang lebih mampu berpikir terorganisasi dan
abstrak. Piaget menyebutnya sebagai kemampuan untuk mengembangkan skema
berpikir. Menurut Piaget, berpikir melibatkan dua jenis proses yang saling
berhubungan yaitu : mengorganisasikan (organizing)
dan mengadaptasi/mengubah.
Ketika
mengorganisasikan pengetahuan, yang dilakukan seseorang adalah membedakan
informasi yang penting dari yang tidak penting, atau konsep utama dengan
jabarannya, sertas melihat saling keterkaitan antara satu konsep dengan konsep
lainnya. Di samping itu, seseorang akan melakukan proses adaptasi ketika
belajar, yaitu melalui asimilasi (mengaitkan pengetahuan baru dengan struktur
kognitif yang telah dimiliki) atau melalui proses akomodasi terhadap
pengetahuan baru, dengan sedikit banyak mengubah struktur kognitif yang telah
dimiliki.[20]
2.
Lev Vygotsky
Vygotsky (17 November 1896
– 11 Juni 1934) adalah seorang psikolog dari Rusia yang juga penganjur
konstruktivisme selain Piaget. Vygotsky berpendapat bahwa pengetahuan dibangun
secara sosial, dalam arti bahwa peserta yang terlibat dalam suatu interaksi
sosial akan memberikan kontribusi dan membangun bersama makna suatu
pengetahuan. Dengan demikian, proses yang terjadi akan beragam sesuai dengan
konteks kulturalnya.
Proses dan konteks cultural yang beragam juga menghasilkan belajar yang beragam pula.
Misalnya, seorang anak yang mendengarkan cerita dari orang tuanya sebelum tidur
akan berbeda dengan anak yang lebih mengandalkan tayangan televisi dalam memahami
nilai-nilai tertentu. Besar kemungkinan pemahaman anak terhadap suatu nilai
sebagai hasil belajar tidak akan sama melalui kedua proses yang berbeda
tersebut.
G.
PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM TERHADAP
KONSTRUKTIVISME
1.
Dari aspek Ontologi
Ontologi merupakan salah satu ajaran filsafat tentang sesuatu yang
berada, atau ontologi dapat dinyatakan sebagai ilmu yang mencari esensi dari
eksistensi terdalam dan terakhir.[21] Secara ringkas ontologi membahas realitas hakikat
yang “ada” dan membahas
kebenaran suatu fakta. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan baik yang berbentuk jasmani/konkret, maupun rohani/abstrak. Dalam
mempelajari ontologi muncul beberapa pertanyaan antara lain; “Apakah yang ada
itu? (What is being?)”, “Bagaimanakah
yang ada itu? (How is being?)”, dan
“Dimanakah yang ada itu? (What is being?)”.
Dari aspek ontologis, pendidikan Islam menekankan bahwa setiap
manusia pada dasarnya memiliki fitrah ke Tuhanan yang sama, akan tetapi
memiliki potensi, bakat dan pengalaman hidup berbeda yang dibawa sejak dalam
kandungan hingga meninggal dunia. Aspek fitrah ke Tuhanan manusia perlu
mendapat bimbingan dan pendidikan untuk menyempurnakan kejadiannya. Sedangkan
aspek bakat, potensi dan pengalaman hidup manusia perlu mendapatkan pembelajaran,
pengarahan dan pemberdayaan dalam meningkatkan kesejahteraan hidup manusia.
Dalam hal inilah filsafat pendidikan Islam menguatkan teori kontruktivisme yang
mengakui adanya fitrah, kemampuan, bakat, pengalaman hidup dan pengetahuan
seseorang yang dimiliki dan diusahakan sebelumnya. Sebagaimana firman Allah
tentang fitrah manusia yang terdapat dalam surat Ar-Ruum ayat 30 sebagai berikut:
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan
lurus kepada agama Allah (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah)
agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”
2.
Dari aspek epistemologi
Epistemologi adalah suatu cabang filsafat yang membahas tentang
tata cara, teknik, atau prosedur untuk mendapatkan ilmu pengetahuan.[22] Epistemologi
berusaha menjawab bagaimana proses yang memungkinkan di timbanya pengetahuan
yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus di perhatikan
agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Apa yang disebut kebenaran itu
sendiri? Apakah kriterianya? Cara/tehnik/sarana apa yang membantu kita dalam
mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu?
Dari aspek
epistemologi, pendidikan Islam memberikan pendekatan pendidikan yang tidak
memaksa dengan memberikan kebebasan peserta didik untuk berkreasi sesuai
kemampuan dan pengalaman hidupnya dengan menggunakan metode pembelajaran yang
menyenangkan untuk mengembangkan pengetahuan/ pengalaman hidup yang telah
dimiliki peserta didik. Adapun guru berperan sebagai fasilitator dan penjelas.
Dalam hal ini filsafat pendidikan Islam menguatkan pendapat konstruktivisme
yang tidak memaksakan pengetahuan kepada orang lain dan mendayagunakan
pengalaman hidup siswa dengan memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk
mengembangkan potensinya, serta pendidik sebagai fasilitator. Sebagaimana
firman Allah dalam surat Az-Zumar ayat 39 sebagai berikut:
ö@è% ÉQöqs)»t (#qè=yJôã$# 4n?tã öNà6ÏGtR%s3tB ÎoTÎ) ×@ÏJ»tã ( t$öq|¡sù cqßJn=÷ès? ÇÌÒÈ
“Katakanlah: "Hai
kaumku, bekerjalah sesuai dengan keadaanmu, sesungguhnya Aku akan bekerja
(pula), Maka kelak kamu akan mengetahui”
Serta dalam
surat Al-Baqarah ayat 256 yang melarang memaksa seseorang untuk masuk dan
belajar agama Islam sebagai berikut;
Iw on#tø.Î) Îû ÈûïÏe$!$# ( s% tû¨üt6¨? ßô©9$# z`ÏB ÄcÓxöø9$# 4 `yJsù öàÿõ3t ÏNqäó»©Ü9$$Î/ -ÆÏB÷sãur «!$$Î/ Ïs)sù y7|¡ôJtGó$# Íouróãèø9$$Î/ 4s+øOâqø9$# w tP$|ÁÏÿR$# $olm; 3 ª!$#ur ììÏÿx îLìÎ=tæ ÇËÎÏÈ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat
yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”
3.
Dari aspek aksiologi
Aksiologi
diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan
yang diperoleh.[23] Aksiologi menjawab, untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara
penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang
ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik
prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma
moral?.
Dari
segi aksiologi pendidikan Islam diarahkan kepada pemberian pemahaman
nilai-nilai dan pengalaman hidup yang bernuansa rahmatan lil alamin dan nantinya berguna bagi kebahagiaan hidup di
dunia dan keselamatan di akhirat. Disini pemahaman filsafat pendidikan Islam
memiliki kesamaan dengan konstruktivisme yang mempunyai pemahaman pola
pendidikan menyenangkan dan menghargai proses pendidikan yang beranekaragam. Dalam
hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat Al-Anbiya ayat 107 sebagai
berikut;
!$tBur »oYù=yör& wÎ) ZptHôqy úüÏJn=»yèù=Ïj9 ÇÊÉÐÈ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam”.
H.
RELEVANSI KONSTRUKTIVISME DENGAN PENDIDIKAN ISLAM
Pada dasarnya praktik
pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme sudah dikenal di dunia Islam sejak
zaman Rasulallah SAW yaitu lebih dari 1.400 tahun yang lalu, sebagaimana dalam
al-Qur’an surat al-An’am ayat 76-79 yang menceritakan tentang proses pencarian
nabi Ibrahim akan Tuhannya.
$£Jn=sù £`y_ Ïmøn=tã ã@ø©9$# #uäu $Y6x.öqx. ( tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù @sùr& tA$s% Iw =Ïmé& úüÎ=ÏùFy$# ÇÐÏÈ $£Jn=sù #uäu tyJs)ø9$# $ZîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u ( !$£Jn=sù @sùr& tA$s% ûÈõs9 öN©9 ÎTÏöku În1u úsðqà2V{ z`ÏB ÏQöqs)ø9$# tû,Îk!!$Ò9$# ÇÐÐÈ $£Jn=sù #uäu }§ôJ¤±9$# ZpxîÎ$t/ tA$s% #x»yd În1u !#x»yd çt9ò2r& ( !$£Jn=sù ôMn=sùr& tA$s% ÉQöqs)»t ÎoTÎ) ÖäüÌt/ $£JÏiB tbqä.Îô³è@ ÇÐÑÈ ÎoTÎ) àMôg§_ur }Îgô_ur Ï%©#Ï9 tsÜsù ÅVºuq»yJ¡¡9$# ßöF{$#ur $ZÿÏZym ( !$tBur O$tRr& ÆÏB úüÏ.Îô³ßJø9$# ÇÐÒÈ
Artinya ;
76. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah
bintang (lalu) dia berkata: "inilah Tuhanku", tetapi tatkala bintang
itu tenggelam dia berkata: "Saya tidak suka kepada yang tenggelam."
77. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia
berkata: "inilah Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, dia
berkata: "sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah
Aku termasuk orang yang sesat."
78. Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit,
dia berkata: "inilah Tuhanku, ini yang lebih besar". Maka tatkala
matahari itu terbenam, dia berkata: "Hai kaumku, sesungguhnya Aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan.
79. Sesungguhnya Aku menghadapkan diriku kepada
Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang
benar, dan Aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.
Begitu juga firman
Allah swt dalam surat Ar-Ra’ad ayat 11 yang memerintahkan manusia untuk
senantiasa berbuat dalam hidupnya, ayatnya sebagai berikut:
3 cÎ) ©!$# w çÉitóã $tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçÉitóã $tB öNÍkŦàÿRr'Î/ 3 !#sÎ)ur y#ur& ª!$# 5Qöqs)Î/ #[äþqß xsù ¨ttB ¼çms9 4 $tBur Oßgs9 `ÏiB ¾ÏmÏRrß `ÏB @A#ur ÇÊÊÈ
Artinya :“Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan
sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.
dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada
yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”.
Juga dalam sabda
Rasulallah SAW yang artinya: “Dari
Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah
tidak melihat kepada rupa kalian dan harta kalian akan tetapi Dia melihat
kepada hati-hati kalian dan perbuatan-perbutan kalian.” (HR. Muslim)
Dari beberapa ayat
Al-Qur’an dan Hadits diatas menjelaskan bagaimana proses manusia mencari dan
mendapatkan ilmu pengetahuan serta belajar dari pengalaman dan perbuatan hidupnya
sebagai proses pembelajaran yang sangat menentukan. Dalam proses belajar inilah
ajaran Islam sesuai dengan pemikiran konstruktivisme yang mengedepankan
pengalaman hidup dan perbuatan dari peserta didik sebagai pondasi awal dalam
mengembangkan pembelajaran kedepannya. Untuk itulah Pendidikan Agama Islam
(PAI) memanfaatkan beberapa seruan konstruksionis, misalnya :
1. Perlunya peserta didik berpartisipasi aktif
dalam proses pembelajaran.
2. Perlunya peserta didik mengembangkan
kemampuan belajar mandiri.
3. Perlunya peserta didik memiliki
kemampuan untuk mengembangkan pengetahuannya sendiri.
4. Perlunya peran guru sebagai fasilitator,
mediator, dan manajer pembelajaran.
Mengingat teori
konstruktivisme terlahir dari pemikir barat
non-Muslim, maka sebelum diterapkan dalam praktik pembelajaran PAI, perlu dikaji
relevansinya dengan teori pembelajaran
dalam pendidikan Islam. Yang dimaksudkan relevansi disini adalah sejauhmana
kesesuaian antara teori konstruktivisme dengan teori pendidikan Islam tentang
proses pembelajaran yang mencakup dua kegiatan yaitu proses belajar dan
mengajar (teaching and learning process).
Dalam pandangan
konstruktivisme, konsep belajar lebih difokuskan pada pengembangan konsep dan
pemahaman yang mendalam dari pada sekedar pembentukan perilaku atau
keterampilan. Menurutnya belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksi
pengertian dan pemahaman. Belajar bukan suatu perwujudan hubungan
stimulus-respon. Belajar memerlukan pengaturan diri dan pembentukan struktur
konseptual melalui refleksi dan abstraksi.
Sedangkan dalam
pandangan pendidikan Islam, belajar atau ta'lim
mencakup kegiatan yang luas, tidak sekedar terkait pengembangan pengetahuan
saja, melainkan juga pengembangan keterampilan, pembentukan sikap dan perilaku
yang baik. Belajar tidak hanya mencakup aspek pengetahuan yang sempit, namun
juga meliputi berbagai pengetahuan, keterampilan, nilai dan sikap yang
tercermin jelas dalam perilaku manusia di setiap aspek kehidupan dan setiap
tindakan. Di sini terlihat bahwa pendidikan Islam tidak hanya bertumpu pada
satu jenis aliran psikologi belajar tertentu, behavioristik, kognitif, atau
humanistik saja, namun mencakup semuanya. Konstruktivisme lebih fokus kepada
aliran psikologi kognitif. Sedangkan pendidikan Islam lebih bersifat
komprehensif dan universal.
Pandangan
konstruktivisme tentang belajar tersebut ada kesesuaiannya dengan pandangan
pendidikan Islam terkait dengan pengembangan aspek pengetahuan (aspek
kognitif). Meskipun dalam batas-batas tertentu antara keduanya juga berbeda. Konsep
pengetahuan dalam Islam dibagi menjadi dua macam, yaitu :
1.
Al-'ilm yang menunjuk
kepada pengetahuan yang hanya dapat diterima oleh manusia dengan daya usaha
kerja, amal ibadah serta kesucian hidupnya, yakni dengan keihlasan dan khidmat
ibadah kepada Allah Swt dan bergantung kepada kehendak dan karunia Allah Swt.
2.
'ilm bentuk jamaknya 'ulum adalah pengetahuan yang diperoleh
sebagai hasil pencapaian sendiri daya usaha akliah
melalui pengalaman hidup indera jasmani dan nazar
akali dan pemerhatian, penyelidikan, dan pengkajian. Pengetahuan ini berdasar
pada pengumpulan kesimpulan yang diperoleh dari kenyataan hidup duniawi.
Pencapaian pengetahuan jenis kedua ini ditempuh melalui proses penginderaan
terhadap objek luar serta pengolahan lewat akal pikiran. Di sini indera dan
akal manusia merupakan alat yang memegang peranan yang cukup vital dalam
pencapaian pengetahuan. Indera merupakan pintu gerbang dalam pencapaian
pengetahuan dan akal yang akan memprosesnya lebih lanjut sehingga menjadi
pola-pola pengetahuan.
Konsep belajar untuk
pencapaian pengetahuan yang kedua tersebut yang ada kesesuaiannya dengan konsep
belajar menurut pandangan konstruktivisme, sedangkan konsep belajar untuk
mencapai pengetahuan yang pertama konstruktivisme tidak memilikinya. Dengan
demikian dapat dikatakan bahwa konsep belajar untuk pengembangan aspek
pengetahuan (kognitif) saja ternyata sebenaranya konsep pendidikan Islam
jangkauannya melebihi konsep konstruktivisme.
Kesesuaiannya antara
konstruktivisme dan pendidikan Islam, terletak pada konsep dasar mengajar.
Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan hanya sekedar transfer pengetahuan
dari pengajar kepada si belajar (siswa). Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya
membantu si belajar agar dapat belajar secara maksimal. Peran pengajar tidak
lagi sebagai transmitter pengetahuan
tetapi sebagai fasilitator dan motivator bagi perkembangan potensi si belajar.
Sedang perbedaan antara
keduanya adalah bahwa mengajar dalam pandangan pendidikan Islam tidak hanya
memfasilitasi pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga memfasilitasi
perkembangan semua potensi yang ada pada diri si belajar, yang mencakup potensi
kognitif, afektif dan psikomotor. Hal ini kemudian juga berimplikasi kepada
peran guru dimana di samping sebagai fasilitator dan motivator, dalam
pendidikan Islam guru juga harus memerankan diri sebagai model (role model) perilaku yang baik bagi si
bclajar. Oleh karena itu, menurut pandangan pendidikan Islam, guru atau
pendidik dituntut untuk memiliki kepribadian sesuai dengan nilai-nilai Islam
sehingga benar-benar dapat dijadikan model (uswah
hasanah) bagi para peserta didiknya.[24]
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan makalah ini, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa, konstruktivisme merupakan aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi
kita sendiri. Pembelajaan menurut konstruktivisme yaitu kegiatan belajar adalah
kegiatan yang aktif, dimana siswa membangun sendiri pengetahuannya, siswa
mencari arti sendiri dari yang mereka pelajari, ini merupakan proses
menyesuaikan konsep-konsep dan ide-ide baru dengan kerangka berfikir yang telah
ada dalam pikiran mereka. Pendekatan pembelajaran yang berasaskan
Konstruktivisme memberi peluang kepada guru untuk memilih kaidah pembelajaran
yang sesuai dan murid dapat menentukan sendiri masa yang diperlukan untuk
memperoleh suatu konsep atau pengetahuan.
Mengingat teori
konstruktivisme terlahir dari pemikir Barat non-Muslim, maka sebelum diterapkan
dalam pembelajaran PAI, perlu dikaji relevansinya dengan teori pembelajaran
dalam pendidikan Islam. Kesesuaian antara konstruktivisme dan pendidikan Islam,
terletak pada konsep dasar mengajar. Keduanya sependapat bahwa mengajar bukan
hanya sekedar transfer pengetahuan dari pengajar kepada si belajar (siswa).
Mengajar lebih diarahkan sebagai upaya membantu si belajar agar dapat belajar
secara maksimal. Peran pengajar tidak lagi sebagai transmitter pengetahuan tetapi sebagai fasilitator dan motivator
bagi perkembangan potensi si belajar. Sedang perbedaan antara keduanya adalah
bahwa mengajar dalam pandangan pendidikan Islam tidak hanya memfasilitasi
pengembangan aspek kognitif saja, tetapi juga memfasilitasi perkembangan semua
potensi yang ada pada diri si belajar, yang mencakup potensi kognitif, afektif
dan psikomotor.
DAFTAR PUSTAKA
Abd Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis
Integrasi-Interkoneksi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011.
Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2014, Hlm. 174.
Bajongga Silaban, “Implikasi
Konstruktivis Terhadap Pembelajaran Kooperatif”, Jurnal UDA.
Erliana Hasan, Filsafat Ilmu dan
Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Ghalia
Indonesia, Bogor,
2014.
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012.
Hanum Asrohah, Sejarah Pendidikan Islam,
Logos, Jakarta, 1999.
Ida Bagus
Putrayasa, Landasan Pembelajaran, Undiksha
Press, Singaraja, 2013.
Ismail Thoib, Wacana Baru Pendidikan Meretas Filsafat
Pendidikan Islam, Genta Press, Jogjakarta, 2008.
Jujun S. Suriasumantri. “Filsafat Ilmu:
Sebuah Pengantar Populer” , PT. Penebar Swadaya, Jakarta, 2010.
M. Gail Jones, Laura Brader-Araje, “The
Impact of Constructivism on Education: Language,
Discourse, and Meaning”, American
Communication Journal, Volume 5, Issue 3, Spring 2002.
Maslikhah, Quo Vadis
Pendidikan Multikultur, STAIN Salatiga Press, Salatiga, 2007.
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, epistemology, Aksiologi dan
logika Ilmu Pengetahuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011.
Peggy A. Ertmer and Timothy J. Newby ,
“Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical Features From an
Instructional Design Perspective”, Performance
Improvement Quarterly Journal,
Volume 26, Number 2 / 2013.
Sukiman, “Teori Pembelajaran dalam
Pandangan Konstruktivisme dan Pendidikan
Islam”, Jurnal Kependidikan Islam,
Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2008.
Waston, “Epistimologi Konstruktivisme
dan Pengaruhnya Terhadap Proses Belajar Mengajar di Perguruan Tinggi”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 2, Nopember 2014.
Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Ar-Ruzz
Media, Jogjakarta, 2013.
[1]
Hanum Asrohah, Sejarah
Pendidikan Islam, Logos,
Jakarta, 1999, hlm. 2.
[3]
Wiji Suwarno, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, Ar-Ruzz Media, Jogjakarta, 2013, hlm.
58.
[4]
M. Gail Jones, Laura Brader Araje, “The
Impact of Constructivism on Education:
Language, Discourse, and Meaning”,
American Communication Journal, Volume
5, Issue 3, Spring 2002.
[5]
Wiji Suwarno, Op.Cit, hlm. 58-59.
[6]Abdul Majid, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, PT. Remaja
Rosdakarya, Bandung, 2014, hlm. 174.
[7]
Ida Bagus Putrayasa, Landasan Pembelajaran, Undiksha Press,
Singaraja, 2013, hlm. 82.
[8]
Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan
Nasional di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2012, hlm.
178.
[9]
Bajongga Silaban, “Implikasi
Konstruktivis Terhadap Pembelajaran Kooperatif”, Jurnal UDA, hlm. 8-10
[10]
Abd
Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan
Islam; Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integrasi-Interkoneksi, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 113.
[11]
Waston, “Epistimologi
Konstruktivisme dan Pengaruhnya Terhadap Proses Belajar Mengajar di Perguruan
Tinggi”, Jurnal SUHUF, Vol. 26, No. 2, Nopember 2014, hlm. 125-126.
[12]
Ida Bagus Putrayasa , Op. Cit., hlm. 86.
[13]
Abdul Majid, Op.Cit., hlm. 194.
[14]
Ibid, hlm. 195-196.
[15]
Ibid, Hlm. 195.
[16]
Ibid, hlm. 197-200.
[17]
Peggy A. Ertmer and Timothy J. Newby , “Behaviorism, Cognitivism, Constructivism: Comparing Critical Features
From an Instructional Design Perspective”, Performance
Improvement Quarterly Journal, Volume
26, Number 2 / 2013, hlm. 58.
[18]
http://www.kompasiana.com/akmala-04/teori-belajar-konstruktivisme_5508e72e8133118c1cb1e1f4, diakses
21 Maret 2016.
[20]
Ida Bagus Putrayasa , Op. Cit., hlm. 90-91
[21]Erliana
Hasan, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian Ilmu Pemerintahan, Ghalia Indonesia, Bogor, 2014, hlm. 101.
[22]Mohammad
Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, epistemology, Aksiologi dan logika Ilmu
Pengetahuan, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta, 2011,
hlm. 74.
[23]Jujun
S. Suriasumantri. “Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer” , PT. Penebar Swadaya, Jakarta,
2010, hlm. 50.
[24]
Sukiman, “Teori Pembelajaran dalam
Pandangan Konstruktivisme dan Pendidikan
Islam”, Jurnal Kependidikan Islam,
Vol. 3, No. 1, Januari-Juni 2008, hlm. 66-68.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda