PERAN AKAL DAN QOLBU DALAM MEMBENTUK AKHLAK MANUSIA
Artikel
Disusun oleh : Mohammad
Saifuddin (2052115002)
Mahasiswa Pasca Sarjana
STAIN Pekalongan
Untuk memenuhi tugas UTS mata kuliah Pendidikan Spiritual dan Akhlak
Dosen Pengampu : Dr. H. Chusnan B. Djaenuri, M.A.
A. PENDAHULUAN
Manusia seperti disebutkan dalam
Al-Quran, diberikan kesempurnaan untuk menjadi Khalifah dimuka bumi ini.
Kesempurnaan manusia itu telah di bekali oleh Allah dua hal yang saling
bekerjasama, yaitu akal dan hati. Allah Swt menciptakan manusia dengan akal dan
hati yang membuatnya berbeda dengan makhluk lainnya.
Akal dan hati ibarat dua sisi mata uang
yang saling melengkapi. Apa yang tidak dikuasai akal dapat dilakukan dengan
hati, karena hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat dijangkau oleh
akal. Dengan kata lain, ketajaman akal harus diimbangi dengan kecerdasan hati.
Dalam menentukan sesuatu, keduanya harus terus berdialog tanpa putus. Jika
salah satu tidak berfungsi, maka yang terjadi adalah ketersesatan hati dan keblingeran
akal.
Akal dan Hati merupakan dua alat
berfikir. Yang satu berfikir melalui logika rasio dan yang satu lagi berfikir
melalui logika rasa, yang satu memilah salah dan benar sementara yang satu lagi
memilah baik dan buruk, begitu kata Al-Ghazali. Dua-duanya merupakan alat dan
sumber epistem pengetahuan, begitu kata Murtadha Muthahari. Yang tentu saja di
samping alat Indra kita sebagai alat untuk menangkap realitas yang seterusnya
ditafsir ulang oleh akal dan hati.
Kedua piranti dalam diri kita ini sangat
dianjurkan untuk berjalan satu kata untuk tujuan keselarasan diri. Namun
demikian, persoalannya adalah, kadang keduanya tidak seimbang. Penyebabnya
banyak, bisa karena kurangnya pembekalan akal, atau juga kurangnya pembekalan
hati. Apabila suatu saat terjadi kerusakan karena kelalaian salah satu dari
keduanya maka akan terjadi ketidakseimbangan diri. Kekuatan utama kendali
biasanya akal dan hati. Keduanya berupaya untuk menempatkan posisi dominan
dalam diri kita. Sifat ragu muncul karena perbedaan pendapat antara akal dan
hati.[1]
B.
RUMUSAN MASALAH
1. Hakekat akal dan hati manusia?
2. Pengaruh akal dan hati terhadap
prilaku manusia?
3. Bagaimanakah mengkombinasikan
peran akal dan hati untuk membentuk akhlak manusia?
C.
PEMBAHASAN
- 1. Hakekat Akal dan Hati Manusia
a.
Akal
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
disebutkan, akal adalah daya pikir untuk memahami sesuatu atau kemampuan
melihat cara-cara memahami lingkungannya. Ibnu Bari
mengartikan akal dalam syairnya sebagai
sesuatu yang memberikan kesabaran dan wejangan (maw'izah) bagi orang
yang mempunyai kebutuhan (hâjah).
Sehingga dikatakan, al-'âqil
alladhî yahbisu nafsahu wa yarudduhû 'an hawâhâ (orang
berakal adalah yang mampu mengekang hawa nafsunya dan menolaknya). Akal pikiran
adalah hasil kerja otak dan memori. Otak adalah pemroses hasil atau keluaran
dari panca indera. Pemahaman dengan akal pikiran adalah pemahaman secara
logika atau pemahaman secara ilmiah. Seorang anak kecil yang belum baligh ,
mereka tidak dikatakan berakal walaupun mereka sudah dapat menggunakan
logika/rasio/otaknya sebagaimana sabda Rasulallah SAW “Tidak dikenakan
kewajiban atas tiga golongan orang, yaitu anak-anak sampai baligh, orang gila
sampai sadar, dan orang tidur sampai terbangun” (HR.Bukhori, Abu Daud, At
Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah, Daruquthni, dan Ahmad).
Menurut tinjauan Al Qur’an akal adalah
Hujjah atau dengan kata lain merupakan anugerah Allah SWT sebagai pembeda
manusia dengan makhluk lain.
Akal juga merupakan alat yang dapat menyampaikan kebenaran dan sekaligus
sebagai pembukti dan pembeda antara yang haq dan yang bathil, serta apa yang
ditemukannya dapat dipastikan kebenarannya, asal saja persyaratan-persyaratan
fungsi kerjanya dijaga dan tidak diabaikan. Dalam Al-Qur’an akal memiliki
kedudukan yang mulia. Hal itu terbukti kata “akal” dalam Al-Qur’an disebut
sebanyak 49 kali kecuali satu, semuanya datang dalam bentuk kata kerja seperti
dalam bentuk ta’qilun atau ya’qilun. Kata kerja ta’qilun
terulang sebanyak 24 kali dan ya’qilun sebanyak 22 kali, sedangkan kata
kerja a’qala, na’qilu dan ya’qilu masing-masing satu kali.[2] Meskipun Al-Qur’an tidak menyebutkan “akal”
dalam bentuknya sebagai ‘bagian tertentu dari diri manusia’ (جوهرا مستقلا فى النفس), yang menjadi sumber lahirnya segala perbuatan rasional, namun
Al-Qur’an menyebutkan “akal” dalam maknanya sebagai ‘aktivitas menggunakan
akal’ (عملية التعقل), yaitu seruan yang mengajak menggunakan akal sebagai jalan
menuju kebenaran (التعقل), berpikir (التفكر), memperhatikan (النظر), memahami dan
mempelajari (التفقه), mengambil hikmah
dan pelajaran dari setiap kejadian (الاعتبار), dan semacamnya.
Hal ini mengindikasikan bahwa Al-Qur’an menjunjung tinggi akal dan segala makna
yang terkandung di dalamnya.
Akal merupakan salah satu bagian dari
Nafs (Jiwa), dimana bagian-bagian lain dari jiwa adalah Ghadab (emosi)
dan Syahwat (nafsu), akal merupakan penyeimbang dalam diri manusia, akal
dinilai dapat meminimalisir kesalahan yang dilakukan manusia, akal sebagai
penopang atau sebagai panduan manusia dalam menjalankan aktivitasnya
sehari-hari, karena akal diberikan oleh Allah kepada manusia untuk berfikir
sehingga akal dapat dijadikan sebagai wadah untuk menyimpan ilmu dimana manusia
menggunakan ilmu tersebut sebagai tolak ukur dalam memandang, memahami serta
melakukan aktivitas sesuai dengan syari’at dan ketentuan yang diberikan oleh
Allah SWT. Dengan akal pula manusia mampu memahami petunjuk-petunjuk menuju
jalan keselamatan yang ada dalam al-Qur’an.
Manusia adalah makhluk yang
sempurna di antara semua makhluk ciptaan Allah lantaran manusia di beri akal
pikiran, inilah yang membuat manusia begitu sempurna. Bangsa jin diberi akal
pikiran namun tidak sesempurna manusia, tapi mereka di beri kelebihan di dalam
jasadnya, jasad mereka lepas dari ruang dan waktu sedangkan kita manusia
memiliki kelebihan akal pikiran yang sempurna bahkan akal pikirannya mampu
menembus ruang dan waktu, namun jasad manusia tidak mampu untuk menembus ruang
dan waktu. Tumbuhan dan hewan, mereka tidak diberi akal pikiran dan jasad yang
mampu menembus ruang dan waktu tersebut namun mereka di beri kelebihan roh, roh
itu suci dan selamanya suci. Tumbuhan dan hewan bergerak berdasarkan
insting mereka karena rohnya yang suci dan mereka mampu merasakan keagungan dan kebesaran Allah SWT. Oleh
sebab itu tumbuhan dan hewan tidak mempunyai dosa lantaran kesucian ruh
tersebut.
Pada Al-Qur’an Allah berfirman tentang
penggunaan akal ini yaitu terdapat di dalam surat Al An’am: 32
$tBur äo4quysø9$# !$u÷R$!$# wÎ) Ò=Ïès9 ×qôgs9ur ( â#¤$#s9ur äotÅzFy$# ×öyz tûïÏ%©#Ïj9 tbqà)Gt 3 xsùr& tbqè=É)÷ès? ÇÌËÈ
Artinya:
“dan Tiadalah kehidupan dunia ini, selain
dari main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih
baik bagi orang-orang yang bertaqwa. Maka tidakkah kamu memahaminya?”.[3]
Di antara Ruh, Akal dan Jasad yang
paling kuat adalah ruh kemudian akal pikiran baru yang terakhir jasad. Lalu
yang jadi pertanyaan, kalau memang Ruh yang lebih kuat kenapa manusia yang
memiliki kelebihan akal pikiran menjadi makhluk yang sempurna? karena dengan
akal pikiran kita mampu mengendalikan ruh dan jasad. Hal ini sudah terbukti
secara ilmiah dan logis. Dalam Psikologi di ajarkan bagaimana cara
mengoptimalkan akal pikiran manusia, sehingga manusia mampu menggunakan
Hipnosis, Telephati dan sebagainya, hal itu bisa terjadi karena akal pikiran
kita sudah bertemu dan berkomunikasi dengan ruh dan jasad kita. Kesadaran
beragamapun merupakan salah satu hasil dari pengoptimalan akal pikiran. Manusia
sering disebut dengan homoreligious (makhluk beragama).[4]
Dengan akal pikiran kita mampu
mengendalikan 2 kemampuan makhluk lain (jin, hewan dan tumbuhan), membedakan
mana yang baik dan mana yang benar dan dengan akal pikiran kita bisa mencapai
Allah jauh lebih cepat dari kecepatan cahaya bahkan lebih. Apapun bisa kita
lakukan dengan akal pikiran kita, kalau kita mau mempelajarinya lebih jauh
lagi. Hal ini lah yang membuat manusia menjadi makhluk yang sempurna di antara
makhluk lain ciptaan Allah.
b.
Qolbu
Lafal al-qalbu memiliki dua makna.
Pertama, daging yang terdapat didalam dada disebelah kiri dan didalam
rongganya terisi darah hitam. Ia adalah sumber roh dan tempat tinggalnya.
Kedua, bisikan Rabbaniah Ruhaniah yang mempunyai suatu hubungan dengan
daging ini. Bisikan inilah yang mengenal Allah dan memahami apa yang tidak
dapat dijangkau oleh khayalan dan angan-angan, dan itulah hakikat manusia dan
dialah yang diseur.[5]
Meski dianggap memiliki hubungan
misterius dengan jantung secara jasmani, kalbu bukanlah daging atau darah,
melainkan suatu benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi
segala sesuatu. Lapisan dalam dari kalbu disebut roh, sedangkan bagian
terdalam dinamakan sirr, kesemuanya itu secara umum disebut hati. Apabila
ketiga organ tersebut telah disucikan sesuci-sucinya dan telah
dikosongkan dari segala hal yang buruk lalu diisi dengan dzikir yang mendalam,
maka hati itu akan dapat mengetahui Tuhan. Qalbu dapat dianggap berpadanan
dengan Ruh, yang memiliki aspek Rabbani
sebagaimana aspek ciptaannya. Salah satu di atara simbol-simbol agung Ruh ialah
matahari, yang merupakan hati alam semesta kita.[6]
Mengenai qalbu ini, Allah berfirman
dalam surat Al-Anfal ayat 63:
y#©9r&ur ú÷üt/ öNÍkÍ5qè=è% 4 öqs9 |Mø)xÿRr& $tB Îû ÇÚöF{$# $YèÏHsd !$¨B |Møÿ©9r& ú÷üt/ óOÎgÎ/qè=è% £`Å6»s9ur ©!$# y#©9r& öNæhuZ÷t/ 4 ¼çm¯RÎ) îÍtã ÒOÅ3ym ÇÏÌÈ
Artinya:
“dan yang mempersatukan hati mereka
(orang-orang yang beriman). walaupun kamu membelanjakan semua (kekayaan) yang
berada di bumi, niscaya kamu tidak dapat mempersatukan hati mereka, akan tetapi
Allah telah mempersatukan hati mereka. Sesungguhnya Dia Maha gagah lagi Maha
Bijaksana”.[7]
óOn=sùr& (#rçÅ¡o Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷èt !$pkÍ5 ÷rr& ×b#s#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù w
yJ÷ès? ã»|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrßÁ9$# ÇÍÏÈ
Artinya
: “maka apakah mereka tidak berjalan di
muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami
atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar. Karena
sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di
dalam dada” (QS Al Hajj [22]:46 )[8]
- 2. Pengaruh Akal dan Hati terhadap Prilaku Manusia
Harun Nasution sangat menganjurkan umat
Islam untuk berfikir dan menunjukan bahwa akal sendiri mempunyai kedudukan yang
tinggi dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Manusia diangkat derajatnya oleh Allah
karena kemampuan manusia dalam menggunakan akalnya untuk memahami ayat-ayat
Allah. Tapi
pada saat yang sama, karena tak mampu menfungsikan akal dengan benar, manusia
dapat terjerembab ke derajat yang paling hina, lebih rendah derajatnya
dibanding hewan sebagaimana firnan-Nya:
ôs)s9ur $tRù&us zO¨YygyfÏ9 #ZÏW2 ÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% w cqßgs)øÿt $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& w tbrçÅÇö7ã $pkÍ5 öNçlm;ur ×b#s#uä w tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd cqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ
Artinya:
“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi
neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi
tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai
mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan
Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk
mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka
lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai” (QS. al-A’raaf:
179).[9]
Orang
yang berakal adalah orang-orang yang mengingat (yadzkuruna) Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan
berbaring dan mereka berpikir (yatafakkaruna)
tentang penciptaan langit dan bumi sebagai mana firman Allah dalam surat Al-Imran:
190-191
cÎ) Îû È,ù=yz ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur É#»n=ÏF÷z$#ur È@ø©9$# Í$pk¨]9$#ur ;M»tUy Í<'rT[{ É=»t6ø9F{$# ÇÊÒÉÈ tûïÏ%©!$# tbrãä.õt ©!$# $VJ»uÏ% #Yqãèè%ur 4n?tãur öNÎgÎ/qãZã_ tbrã¤6xÿtGtur Îû È,ù=yz ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur $uZ/u $tB |Mø)n=yz #x»yd WxÏÜ»t/ y7oY»ysö6ß $oYÉ)sù z>#xtã Í$¨Z9$# ÇÊÒÊÈ
Artinya :
190. Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,
191. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah
sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan
tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami,
tiadalah Engkau menciptakan Ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, Maka
peliharalah kami dari siksa neraka.[10]
Hakikat
akal adalah naluri yang dipergunakan untuk memahami pengetahuan –pengetahuan
yang bersifat teoritis . seolah oleh akal itu adalah cahaya yang dimasukkan
kedalam jiwa sehingga manusia siap memahami sesuatu dan ini berbeda–beda
menurut perbedaan–perbedaan naluri. Jika akal kita dijadikan sebuah naluri yang
luar biasa terhadap daya cipta dan karya kita. Menggunakan akal, yaitu pikiran
/ akal bukanlah sebuah wadah yang harus diisi melainkan api yang baru
dinyalakan. Hormon–hormon yang ada dalam akal sangat mudah bereaksi, sehingga ketika
kita berfikir untuk menjadi besar, maka benar-benar kita akan mendapatkan,
tentunya melalui proses akal.[11]
Selain
itu juga manusia juga memiliki getaran qalbu, sehingga getaran ini melahirkan
sebuah kepahaman. getaran qalbu yang ada di jantung merupakan resonansi getaran
yang berasal dari Sistem Limbik di otak tengah. Dengan kata lain, Qalbu
merupakan cerminan apa yang terjadi di Sistem Limbik. Masalahnya, getaran
apakah yang paling dominan sedang mengisi Sistem Limbik, maka itulah yang
diresonansikan ke jantung.
Memang
dalam kaitan antara akal dan qalbu sering dilakukan oleh para ilmuwan–ilmuwan
muslim, karena dalam proses diatas bahwa proses berfikir memang saling
berhubungan dengan qalbu.
Allah akan melimpahkan nur
cahaya keilahian-Nya kepada hati yang suci. Hati seperti itu diumpamakan oleh
kaum sufi dengan sebuah cermin. Apabila cermin tadi telah dibersihkan dari debu
dan noda-noda yang mengotorinya, niscaya ia akan mengkilat, bersih dan bening.
Pada saat itu cermin tersebut akan dapat memantulkan gambar apa saja yang
ada dihadapannya. Demikian
juga hati manusia. Apabila ia telah bersih, ia akan dapat memantulkan segala
sesuatu yang datang dari Tuhan. Pengetahuan seperti itu disebut makrifat musyahadah atau ilmu laduni.
Semakin tinggi makrifat seseorang semakin banyak pula ia mengetahui
rahasi-rahasia Tuhan dan ia pun semakin dekat dengan Tuhan. Meskipun demikian,
memperoleh makrifat atau ilmu laduni yang penuh dengan rahasia-rahasia keTuhanan
tidaklah mungkin karena manusia serba terbatas, sedangkan ilmu Allah SWT tanpa
batas, seperti dikatakan oleh Al-Junaid, seorang sufi modern, "Cangkir teh tidak akan dapat menampung
segala air yang ada di samudera."
- 3. Mengkombinasikan Peran Akal dan Hati untuk Membentuk Akhlak Manusia
Allah
memberikan kita akal agar digunakan sebagai hujjah dalam mencari
kebenaran sesuai dengan syari’at Allah, adanya akal banyak hal yang dapat
dilakukan agar manusia tidak terjerumus kedalam hal-hal yang menyesatkan,
diantaranya:
a. Kajian Islami oleh para pemuda di masjid
Pemuda merupakan aset
berharga dalam kehidupan bermasyarakat, pemuda sebagai ujung tombak dalam
menciptakan generasi yang beriman harus di bimbing dan diarahka ke jalan yang
baik dan benar, oleh karenanya dengan adanya kajian Islami ini dapat membuka
wawasan ke-Islaman dan menambah pemahaman mereka terhadap Islam, sehingga akal
yang dimiliki dapat terbimbing kearah yang benar.
b. Realisasi Ilmu + akal = Budaya
Ilmu yang dimiliki
harus direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari agar ilmu yang didapatkan
tidak mubadzir dan dapat bermanfaat bagi orang lain, diantara merealisasikan
ilmu, selain itu peranan ilmu dalam menjembatani antara idealisme dan realitas
akan tercapai sesuai dengan kaidah dan syari’at, sehingga ilmu tersebut tidak
hanya menjadi teoritikal semata tetapi dapat dijadikan budaya dalam
berkehidupan.
Di dalam diri kita akal sebagai pusat
logika sifatnya pasti dan kadang kaku tapi obyektif. Hati sebagai pusat nurani,
rasa, terkadang ada keraguan, labil dan subyektif. Akal mempunyai peran yang
sangat signifikan dalam memutuskan sesuatu. Dengan akal, manusia dapat
berfikir, baik itu memikirkan dirinya, orang-orang disekitarnya juga alam
semesta. Dengan akal, manusia berupaya mensejahterakan diri dan meningkatkan
kualitas kehidupannya. Pentingnya mendayagunakan akal sangat dianjurkan oleh
Islam. Tidak terhitung banyaknya ayat Alqur’an dan Hadis Rasulullah saw, yang mendorong manusia
untuk selalu berfikir dan merenung. Manusia tidak hanya disuruh memikirkan
dirinya, tetapi juga dipanggil untuk memikirkan alam jagad raya. Dalam konteks
Islam, memikirkan alam semesta akan mengantarkan manusia kepada kesadaran akan
ke-Mahakuasaan Sang Pencipta (Allah Swt).
Sedangkan merujuk pada SQ-nya Danah
Zohar jika Akal dan Hati telah sejalan digunakan untuk alat berfikirnya dalam
menjalankan kehidupan termasuk juga dalam menjalankan kehidupan agama kita maka
akan dicapai puncak spiritual dan itulah yang telah dilakukan oleh Ummul Ulama
Al-Ghazali yang telah menyatukan antara filsafat dan tasawuf yang satu berbasis
pada akal dan satu lagi berbasis pada hati. Oleh karena itulah ilmuwan sekelas
Einstein pernah mengatakan bahwa kedua alat episteme tersebut harus selalu
berjalan bareng dan beriringan. Ia mengatakan, Agama tanpa akal maka akan
lumpuh dan Ilmu tanpa agama akan buta. Dalam pandangan saya pernyataan dari
Einstein tersebut berkaitan dengan penggunaan kedua episteme tersebut.
Al-Qardlawi menyatakan bahwa akal dan
hati dianggap sebagai wahana terpenting yang dapat membantu manusia menciptakan
peradaban dibumi dan melaksanakan tugas kekhalifahan sebagaimana yang
dikehendaki oleh Allah SWT. Kata kunci dari perkataaan Qardhawi tersebut adalah
akal dan hati. Gabungannya bermuara kepada ilmu pengetahuan dan sains, baik
dari segi ontologi, epistimologi maupun aksiologinya. Ontologi berkaitan dengan
kajian tentang apa yang menjadi objek ilmu pengetahuan dan sains. Epistimologi
berkaitan dengan kajian tentang tata cara memperoleh ilmu pengetahuan dan sains
itu. Dan aksiologi berkaitan dengan perihal penerapan keduanya dalam bentuk
kehidupan manusia yang nyata.
Akal yang diciptakan Allah untuk
berfikir dan mencari rahasia alam semesta yang indah dan penuh dengan ilmu pengetahuan
yang harus dipelajari, digali dan dimanfaatkan untuk kepentingan umat manusia.
Tanpa berfikir dan mempergunakan akal dan hatin, manusia tidak akan berkembang sesuai dengan
fitrahnya. Akal yang merupakan anugerah terindah, tertinggi dan terhebat bagi
manusia, pembeda antara kita dengan hewan, sebuah alat yang difungsikan untuk
berfikir, mengamati, mengolah data, menyimpan data dan lain-lain tak terhingga
manfaatnya, benar-benar harus kita syukuri kepemilikan ini.
Ilmu cenderung diidentikan dengan
eksplorasi akal untuk menemukan hukum-hukum Tuhan di alam raya ini, Sementara
Agama pada sejarahnya yang konvensional berbicara pada masalah baik dan
buruknya suatu perilaku dan sikap berkaitan dengan kehidupannya. Oleh karena
itu Agama diidentikan dengan penggunaan hati yang dapat memilah antara yang
baik dan buruk. Namun
demikian merujuk pada sejarah peradaban manusia terkadang kita melihat pada
satu pendapat tokoh, terlepas pendapatnya tersebut berangkat dari sporadic
pendapatnya saja atau yang berpijak pada penelitian, cenderung seringkali
mengagungkan satu alat episteme dan menghilangkan peran satu alat episteme
lain. Ilmu Episteme yang kita kenal dengan epistemology atau ilmu yang mengulas
bagaimana suatu ilmu itu didapatkan melaui cara seperti apa dan bagaimana
merupakan pertentangan antara akal dan hati.
Dalam sejarah dunia modern, ribuan tahun
setelah Sokrates, Aristoteles dan Plato hidup, atau setelah filsuf China Lao
Tze dan Konfutze melahirkan peradaban seolah mengulang mbah moyangnya tersebut
bahwa Dunia merupakan hasil pertentangan antara akal dan hati. Ingatkah kita akan
pemujaan terhadap IQ? Bahwa IQ akan menentukan sukses seseorang, bukankah ini
merupakan pemujaan terhadap Akal? Namun hasil penelitian tersebut sirna sudah
setelah Daniel Goleman menerbitkan buku Kecerdasan Emosi yang berpijak pada
alat episteme hati. Justeru menurut Goleman tersebut bahwa Kecerdasan Emosilah
(bisa membedakan baik-buruk) yang dapat mendorong sukses seseorang, IQ
menurutnya hanya menyumbangkan 6 % kesuksesan saja. Seorang yang ber-IQ tinggi
jika tidak bisa bagaimana berprilaku dalam kehidupannya niscaya tidak akan
pernah sukses.
Kini di Jaman keringnya hati yang telah
dirasakan oleh sebagian kalangan Barat, karena terlalu memper-tuhankan Akal
sebagai alat episteme/ basis manusia modern, ia pun melirik dunia Timur yang
kaya dengan spiritual. Spiritual adalah penyatuan antara Akal dan Hati. Akal
dan Hati saling menuntun agar yang satu tidak sesat dan yang lain tidak lumpuh. Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya
di dalam tubuh anak Adam terdapat segumpal daging, Jika ia baik maka baiklah
tubuh itu seluruhnya, dan anggota anggota tubuh yang lain akan membuatnya baik,
Ia adalah Hati”.
Dari hadits di atas bisa di pahami,
bahwa dalam tubuh manusia yang paling pokok adalah hati. Ia adalah pemimpin
yang di patuhi dalam dunia tubuh. Anggota tubuh lainya hanyalah bagikan rakyat
yang saling dukung mendukung. Dengan demikian jika ingin meraih sukses sesuai
dengan agama yang kita anut, tentu Akal dan Hati tidak boleh dipisah-pisahkan
apalagi yang satunya dibuang jauh-jauh. Hanya menggunakan Akal, hati menjadi kering
selalu berfikir benar-salah, sementara hanya berfikir dengan hati hanya
mempertimbangkan baik dan buruk tanpa peduli benar dan salah. Yang Baik tentu
harus benar dan sebaliknya yang benar tentu harus baik.
Cara yang terbaik adalah kita upayakan
agar kedua piranti dalam diri kita tersebut diberikan porsi yang seimbang.
Yaitu, kapan kita menggunakan akal, kapan kita menggunakan hati. Dari hal ini
pun dapat dikemukakan bahwa bila akal tidak kuasa melakukan fungsinya, maka
gunakan hati.
Pada akhirnya, akal dan hati harus
dipadukan secara harmoni. Disamping pentingnya akal dalam menemukan suatu
kebenaran juga diperlukan ilham atau petunjuk Tuhan yang diberikan kepada
manusia yang datang dari keheningan
hati. Jika kedua ciptaan Allah tersebut dapat digabungkan, maka akan lahirlah
seseorang yang berfikir rasional, filosof sekaligus sufi yang pikirannya tinggi
mengentas galaksi namun rendah hati di bumi, seperti inilah sosok khalifah yang
diamanatkan menjaga bumi.
D.
PENUTUP
1. Kesimpulan
Definasi
akal ialah kekuatan untuk melahirkan keputusan (Kesimpulan) tentang sesuatu
realiti. Kesimpulannya, akal adalah berfikir ataupun berfikir adalah akal. Yang
terhasil apabila berlaku, Perpindahan realiti yang telah diinderai oleh 5
pancaindera ke dalam otak dan kemudian dihubungkan dengan maklumat awal yang
tersimpan di dalam otak itu. Dengan akal manusia dapat memikirkan tentang
segala hal dikehidupan ini. Sedangkan
qalbu bukanlah daging atau darah, melainkan suatu
benda halus yang mempunyai potensi untuk mengetahui esensi segala sesuatu.
Akal
dan hati harus dipadukan secara harmoni. Disamping pentingnya akal dalam
menemukan suatu kebenaran juga diperlukan ilham atau petunjuk Tuhan yang
diberikan kepada manusia yang datang dari keheningan
hati. Jika kedua ciptaan Allah tersebut dapat digabungkan, maka akan lahirlah
seseorang yang berfikir rasional, filosof sekaligus sufi yang pikirannya tinggi
mengentas galaksi namun rendah hati di bumi, seperti inilah sosok khalifah yang
diamanatkan menjaga bumi.
2. Kritik dan Saran
Dalam
berusaha melengkapi makalah ini, tentu ada sesuatu yang kurang dan kami sebagai
penulis baik dari pembahasan ataupun dari segi tulisan menyadari akan hal
demikian. Maka dari itu kami akan berusaha lebih baik dengan selalu
mengedapankan sumber-sumber yang lebih layak sebagai reverensi. Kami sangatlah
mengharapkan masukan baik berupa kritik ataupun saran sehingga dapat menjadi
sebuah instropeksi dari karya kami juga sebagai semangat dan landasan baru
untuk terus berinovasi dalam berkarya. “Tiada ada yang sempurna, bila ketidak
sempurnaan tak pernah ditemui dan disadari.” Walaupun demikian, kami sangat
berharap karya ini dapat menjadi salah satu acuan dalam pembelajaran terutama
sebagai reverensi untuk dalam mata kuliah Tasawuf.
E.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin,
Syamsul, Psikologi Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008.
Lings, Martin, “what Is Sufism?” Membedah
Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987.
Yusuf
Al-Qaradhawi, Al-‘Aqlu wal Ilmu fil
Qur’an, Kairo, Maktabah Wahbah, 1996.
Yayasan Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an
dan Terjemahnya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-syarif,
Madinah Al Munawarah, 1990.
Imam
Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Amani, Jakarta, 1995.
Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama, Al-Qur’an Mushaf Per Kata, Jabal, Bandung.
[2] Yusuf Al-Qaradhawi, Al-‘Aqlu
wal Ilmu fil Qur’an, Kairo, Maktabah Wahbah, 1996, hal. 12
[3] Yayasan
Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Mujamma’ Al Malik Fahd Li Thiba’at Al Mush-haf Asy-syarif,
Madinah Al Munawarah, 1990, hlm. 191.
[4] Arifin, Syamsul, Psikologi
Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2008, hlm. 83
[5] Imam Al-Ghazali, Mukhtashar Ihya’ Ulumuddin, Pustaka Amani,
Jakarta, 1995, hlm. 159.
[6] Lings, Martin, “what
Is Sufism?” Membedah Tasawuf, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1987, hlm. 43
[7] Yayasan
Pentafsir Al-Qur’an, Op.Cit, hlm. 271.
[8] Ibid, hlm. 519.
[9] Lajnah
Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Departemen Agama, Al-Qur’an Mushaf Per Kata, Jabal, Bandung, hlm. 174.
[10] Ibid. hlm. 75.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda