EKSISTENSI
MADRASAH DINIYAH TERHADAP WACANA FULL DAY SCHOOL DI INDONESIA
Penerapan sistem full
day school (FDS) di sejumlah lembaga pendidikan akhir-akhir ini diilhami
oleh rasa keprihatinan atas sistem persekolahan konvensional yang dipandang memiliki
banyak kelemahan karena sistem persekolahan lebih intelectual oriented,
sementara nihil dalam segi afektif dan psikomotoriknya. Hal demikian terjadi
antara lain disebabkan karena sangat terbatasnya jumlah waktu yang diberikan
oleh sekolah dan interaksinya yang serba formal mekanistis. Hingga saat ini sistem
full day school telah menjadi kecenderungan kuat dalam proses edukasi di
negara kita. Banyak lembaga pendidikan yang menerapkan sistem ini dengan model
yang sangat variatif. Istilah yang digunakan juga beragam seperti, full day school,
boarding school, dan program ma’had. Dari perspektif historis,
sistem pembelajaran sehari penuh (full day
school) sesungguhnya bukan hal baru. Sistem ini telah lama diterapkan
dalam tradisi pesantren melalui sistem asrama atau pondok, meskipun dalam
bentuknya yang sangat sederhana. Dengan diilhami oleh kelebihan sistem pondok/asrama dalam
tradisi pesantren, sejumlah sekolah mulai melakukan inovasi persekolahan
melalui perintisan full day school yang dalam hal-hal tertentu sangat
mirip dengan pesantren dengan sejumlah modifikasi. Dengan demikian, konsep full
day school merupakan modernisasi, bahkan sistematisasi atau modifikasi dari
tradisi pesantren, yang dalam batas tertentu pesantren kurang menyadari
substansi pola kependidikan yang diaplikasikannya karena sudah menjadi sebuah
tradisi yang melekat secara inhern dalam proses transformasi keilmuanya. Karenanya
full day school dalam aplikasinya bisa saja tetap mempertahankan format
tradisi pesantren, namun tradisi yang telah tersadarkan akan substansinya.[1]
Akan tetapi sebuah wacana baru seperti FDS
yang oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Muhadjir Effendy akan di implementasikan di seluruh sekolah formal
se Indonesia akan medapatkan hambatan dan penolakan keras dari berbagai elemen
masyarakat jika dipaksakan dalam pelaksanaannya dan tidak melihat atau merespon
keunikan tiap daerah (local wisdom). Karena hal tersebut dapat
mengganggu sistem yang sudah berjalan dimasing-masing daerah, seperti mematikan
keberadaan Madrasah Diniyah yang sudah sejak lama berdiri. Oleh karena itu
dalam artikel ini akan kita bahas apa sebenarnya sistem Full Day School dan
bagaimana respon dari pemerintah dan masyarakat Indonesia mengenai wacana
penerapan FDS di sekolah-sekolah formal diseluruh Indonesia serta bagaimana
komunitas madrasah menanggapi wacana ini.
A.
HAKEKAT FULL
DAY SCHOOL
Full Day School terdiri
dari 3 kata yaitu full yang artinya penuh, day yang artinya hari
dan school yang artinya sekolah. Jadi full day school adalah
kegiatan sehari penuh di sekolah. Sekolah dengan sistem full day school adalah
bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan berdasarkan kurikulum Kemendiknas
dan ditambah dengan kurikulum kemenag. Model yang dikembangkan adalah
pengintegrasian antara pendidikan agama dan umum dengan memaksimalkan
perkembangan aspek kognitif, afektif serta psikomotorik. Proses belajar mengajarnya
diberlakukan dari pagi sampai sore yang dimulai dari pukul 06.40 pagi sampai
15.40 sore. Dalam full day school, kegiatan-kegiatan
belajar seperti tugas sekolah yang
biasanya dikerjakan di rumah dapat dikerjakan di sekolah dengan bimbingan guru
yang bertugas. Namun bukan berarti full day school mengekang siswa untuk
tidak bermain dan terus menerus belajar, tetapi dalam full day school juga
terdapat metode dan media belajar yang
meliputi kelas dan alam sehingga siswa tidak menjadi bosan. Dengan adanya
sistem full day school, lamanya waktu pembelajaran tidak menjadi beban karena
sebagian waktunya digunakan untuk waktu-waktu informal.[2]
Sebenarnya sekolah
model full day School sudah pernah dikemukakan Charles Gorton (1986)
dalam School Administration, dan telah dipraktekkan pada sekolah-sekolah
di Amerika dan Jepang. Dengan model full day school mereka berharap
dapat memberikan layanan pendidikan memiliki kualitas mutu pendidikan yang
layak dan sesuai dengan kondisi obyektif mereka sebagai orang tua. Artinya,
anak ketika berangkat dan pulang sekolah, pada saat salah satu orang tuanya,
ibu atau bapak sudah berada di rumah. Konsep sekolah model ini dibangun dengan kebersamaan dan kerjasama antara
sekolah, orang tua dan masyarakat. Tiga pilar penyangga pendidikan ini menjadi
modal untuk memproses, pembelajaran siswa (row input) menuju target
pendidikan yang telah disepakati bersama. Tujuan pendidikan full day school adalah menseimbangkan
antara hablun minAllah dan hamlun minannas yang terukur
dalam sikap relegius siswa (beraqidah
kokoh, berakhlaq mulia) dalam kehidupan sehari-hari tanpa dibatasi ruang dan
waktu, serta memiliki kemampuan akademis tinggi. Spesifikasi kurikulum full day school yaitu kurikulum dari
sisi mata pelajaran agama Islam berupa substansi dan esensi serta mata
pelajaran akademis.[3]
Secara umum,
sekolah full day didirikan untuk mengakomodir berbagai permasalahan yang
ada di masyarakat, yang menginginkan anak mereka mendapatkan pendidikan terbaik
baik dari aspek akademik dan non akademik serta memberikan perlindungan bagi
anak dari pergaulan bebas. Secara rinci sekolah full day didirikan
karena adanya tuntutan diantaranya:
1.
Minimnya waktu
orang tua di rumah karena tingginya tuntutan kerja. Orang tua akan memberikan
kesibukan pada anaknya sepulang sekolah dengan jaminan keamanan dan manfaat
yang banyak. Lain halnya jika orang tua kurang memperhatihan masalah anak,
maka yang terjadi adalah anak akan
mencari kegiatan negatif tanpa kendali bahkan bisa jadi anak akan terjebak
dalam lingkungan pergaulan sosial yang buruk.
2.
Perlunya pengawasan
terhadap segala kebutuhan dan keselamatan anak, terutama bagi anak di usia dini
selama orang tua bekerja.
3.
Perlunya
formalisasi jam-jam tambahan keagamaan karena dengan minimnya waktu orang tua
di rumah maka secara otomatis pengawasan terhadap hal tersebut juga minim.
4.
Perlunya
peningkatan kualitas pendidikan sebagai solusi berbagai permasalahan bangsa
saat ini.[4]
B.
WACANA FULL
DAY SCHOOL DI INDONESIA
Dalam harian detik.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Muhadjir Effendy menjelaskan program Full day school bisa
menerjemahkan lebih lanjut dari program nawacita Jokowi-JK, dimana pendidikan
dasar SD dan SMP mendapatkan pendidikan karakter lebih banyak dibanding knowledge
basenya. Guru diberikan banyak waktu untuk mendidik dan menanamkan karakter
nawacita kepada murid-muridnya. Selain itu, program Full day school dapat
mencegah penyimpangan para pelajar usai pulang sekolah. Full day school akan
dikombinasikan dengan kegiatan-kegiatan di luar kelas. Tujuannya agar para
siswa tidak terbebani secara psikologis dengan mengikuti program belajar yang
hanya di ruang kelas. Mendikbud menjelaskan, full day school telah
dipraktikkan di sekolah-sekolah swasta. Bila program ini diterapkan, maka para
siswa akan mendapatkan dua hari libur pada Sabtu dan Minggu. Muhadjir
mengatakan, program jam belajar sehari penuh ini akan dikombinasikan dengan
kegiatan-kegiatan di luar kelas. Tujuannya agar para siswa tidak terbebani
secara psikologis dengan mengikuti program belajar yang hanya di ruang kelas.
Karena secara psikologis daya tahan anak hanya mampu bertahan berapa jam. Tapi
dengan pembelajaran diluar kelas anak bisa bergembira belajar berbagai macam
hal. Menurut Muhadjir, program sekolah sehari penuh dimaksudkan untuk
menguatkan program nawacita di bidang pendidikan. Para guru nantinya mengisi
jam belajar dengan memberikan materi mengenai pendidikan karakter kebangsaan.
Meskipun wacana full day school menuai respons beragam mulai dari
Wapres, pengamat pendidikan, hingga pemerhati anak. Sebagian besar para tokoh
pendidikan menyarankan agar program full day school harus dikaji secara
matang dan diuji coba ke publik. Penerapan program ini juga membutuhkan tenaga
pengajar yang berkualitas dan kreatif. Sarana dan prasarana sekolah pun harus
mendukung. Dengan begitu, program ini akan menghasilkan anak didik yang
cemerlang.[5]
Kemudian dalam harian kompas.com, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
(Mendikbud) Muhadjir Effendy juga mengatakan, Presiden Joko Widodo telah
berpesan bahwa kondisi ideal pendidikan di Indonesia adalah ketika dua aspek pendidikan
bagi siswa terpenuhi, yaitu pendidikan karakter dan pengetahuan umum. Pada
jenjang sekolah dasar (SD), siswa mendapatkan pendidikan karakter sebanyak 80 %
dan pengetahuan umum sebanyak 20 %. Sementara, pada jenjang sekolah menengah
pertama (SMP), pendidikan karakter bagi siswa terpenuhi sebanyak 60 % dan
pengetahuan umum sebanyak 40 %. Oleh karena itu, memperkuat pendidikan karakter
peserta didik menjadi rujukan dalam menentukan sistem belajar mengajar di
sekolah. Kemudian, untuk memenuhi pendidikan karakter di sekolah, Kemendikbud
akan mengkaji penerapan sistem belajar mengajar dengan full day school.
Sistem full day school bukan berarti siswa belajar selama sehari penuh
di sekolah, namun siswa mengikuti kegiatan-kegiatan penanaman pendidikan
karakter, seperti mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan menerapkan pembelajaran formal sampai dengan setengah hari,
selanjutnya diisi dengan kegiatan ekstrakurikuler yang menyenangkan dan
membentuk karakter, kepribadian, serta mengembangkan potensi siswa. Mendikbud Muhadjir Effendy mengatakan, saat ini sistem
belajar tersebut masih dalam pengkajian lebih mendalam, termasuk perihal
kondisi sosial dan geografis mana saja yang memungkinkan sistem belajar
tersebut diterapkan. Muhadjir Effendy juga mengatakan, penerapan full day
school dapat membantu orangtua dalam membimbing anak tanpa mengurangi hak
anak. Setelah bekerja, para orangtua dapat menjemput buah hati mereka di
sekolah. Dengan sistem ini, orangtua tidak khawatir atas keamanan anak-anaknya
karena mereka tetap berada di bawah bimbingan guru selama orangtuanya berada di
tempat kerja. Dengan hari libur sabtu dan minggu dapat menjadi waktu bagi
keluarga, dengan begitu, komunikasi antara orangtua dan anak tetap terjaga dan
ikatan emosional juga tetap terjaga.[6]
Ketua PW Persatuan Guru Nahdlatul Ulama (Pergunu) DKI Jakarta
sekaligus Wakil Ketua STAINU Jakarta, Aris Adi Leksono menjelaskan,
sesungguhnya program full day school bukan hal yang baru. Bagi kalangan
pesantren dan basis Nahdliyin mendidik anak dengan totalitas waktu dan daya
dukung lainnya sudah ada sejak zaman dulu. Pesantren bukan sekedar full
day, tapi thuluz zaman atau belajar sepanjang hayat sehingga
karakter dan pengetahuan yang didapat menjadi matang dan tuntas (mastery
learning). Aris menuturkan jika program full day school tersebut
jadi dilakukan, pihaknya yakin akan menambah daftar trial and error
sistem pendidikan nasional. Alasannya, kondisi sekolah kita masih banyak yang
belum siap, sarana belum memadai, sistem pendidikan yang belum siap, sistem
pembelajaran, dan masih banyak kendala teknis lainnya. Menurut Aris, Mendikbud
harusnya lebih fokus pada pengembangan kurikulum dan pemerataan kompetensi
guru, sehingga pelayanan standar pendidikan nasional dapat dirasakan
seluruh pelosok negeri. Jika program FDS mau dilaksanakan perlu melihat
keberadaan pendidikan non formal keagamaan seperti madrasah diniyah, karena
tidak sedikit anak yang belajar agama di
Madrasah Diniyah usai pulang sekolah. Madrasah Diniyah memiliki peran strategis
untuk penanaman nilai agama bagi anak dan usia remaja. Kemudian permasalahan
berikutnya ialah interaksi sosial anak menjadi terbatas, terutama dalam upaya
pengembangan minat dan bakat anak di luar sekolah.[7]
C.
EKSISTENSI MADRASAH DINIYAH DI INDONESIA
Di Indonesia masih terjadi disparitas dan ketidakadilan yang
menonjol antara sekolah negeri dengan swasta, guru PNS dengan guru non-PNS,
sekolah di kota dan di desa, apalagi di wilayah 3T (terpencil, terluar dan
tertinggal). Belum lagi yang dialami oleh madrasah formal (Raudlatul Athfal,
Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah dan Madrasah Aliyah), Pondok
Pesantren, Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) dan Taman Pendidikan Al-Quran (TPA).
Sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat secara mandiri tanpa menggantungkan
negara, mendirikan lembaga pendidikan keagamaan Islam dengan mendidik anak
bangsa melek huruf Arab, baca tulis Al-Quran, memahami ibadah praktis dan
membekali mereka akhlakul karimah. Itulah jasa Pondok Pesantren dan Madrasah
Diniyah Takmiliyah (MDT) yang kemudian belakangan muncul Taman Pendidikan
Al-Quran (TPA). Lembaga-lembaga Pendidikan Keagamaan Islam ini secara nyata
berkontribusi bagi peningkatan pendidikan dan keagamaan, meski di tengah
berbagai kesulitan yang dialami pemerintah. Menurut data EMIS Ditjen Pendidikan
Islam Kementerian Agama RI (2015) jumlah lembaga Pendidikan Keagamaan Islam
cukup spektakuler. Ada sekitar 29 ribu pondok pesantren yang tersebar dari
Sabang sampai Merauke dengan jumlah santri 4 juta orang. Sementara MDT
berjumlah 76.566 dengan jumlah santri 6.000.062 orang. Adapun TPQ berjumlah
123.271 lembaga dan santrinya berjumlah 7.121.304 orang.[8] Di
layanan Pendidikan Keagamaan Islam itu, para peserta didik di asah akalnya,
ditajamkan hatinya dan dikuatkan mental spiritualnya. Lulusan peserta didik
pada layanan Pendidikan Keagamaan Islam itu secara mayoritas memiliki karakter
dan kepribadian yang mumpuni serta memiliki integritas keislaman dan kebangsaan
sekaligus.
Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) ialah suatu pendidikan keagamaan
Islam nonformal yang menyelenggarakan pendidikan Islam sebagai pelengkap bagi
siswa pendidikan umum. Untuk tingkat dasar (diniah takmiliya awaliyah)
dengan masa belajar 6 tahun. Untuk menengah atas (diniah takmiliyah wustha)
masa belajar tiga tahun, untuk menengah atas (diniyah ulya) masa belajar
selama tiga tahun dengan jumlah jam belajar minimal 18 jam pelajaran dalam
seminggu. Menurut Amin Haidar yang dijelaskan kembali oleh Umar perubahan
nomenklatur dari Madrasah Diniyah menjadi Diniyah Takmiliyah berdasarkan
pertimbangan bahwa kegiatan Madrasah Diniyah merupakan pendidikan tambahan
sebagai penyempurna bagi siswa Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP),
dan Sekolah Menengah Atas (SMA) yang hanya mendapat pendidikan agama Islam dua
jam pelajaran dalam satu minggu, oleh karena itu sesuai dengan artinya maka
kegiatan tersebut yang tepat adalah diniyah takmiliah. Madrasah Diniyah (MD)
atau pada saat ini disebut Madrasah Diniyah Takmiliah (MDT) sejak terbitnya
Peraturan Pemerintah No. 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan
merupakan lembaga pendidikan Islam yang dikenal sejak lama bersamaan dengan
masa penyiaran Islam di Nusantara. Pengajaran dan pendidikan Islam timbul
secara alamiah melalui proses akulturasi yang berjalan secara halus, perlahan
sesuai kebutuhan masyarakat sekitar. Pada masa penjajahan hampir semua desa
yang penduduknya beragama Islam, terdapat Madrasah Diniah (Diniyah Takmiliah),
dengan nama dan bentuk berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya,
seperti pengajian, surau, rangkang, sekolah agama dan lain lain. Mata
pelajaran agama juga berbeda beda yang yang pada umumnya meliputi aqidah,
ibadah, akhlak, membaca Al Qur’an dan bahasa Arab. Meskipun demikian keberadaan
MDT masih terkesan kurang mendapat perhatian khusus baik dari kalangan
masyarakat maupun pemerintah. Padahal jika melihat perkembangan spiritualitas
generasi saat ini sudah semakin memprihatinkan. Sehingga untuk menunjang proses
peningkatan kecerdasan spiritualitas tersebut tidak cukup kalau hanya mengacu
pada pendidikan formal seperti SD, SMP, MTs, dan sebagainya. Dimana di dalamnya
hanya terdapat sedikit waktu untuk berbagi nilai nilai spiritualitas tersebut.
Jadi sudah barang tentu menjadi keniscayaan pentingnya pengembangan sistem
Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT) sebagai alternatif yang dominan untuk
melengkapi pelajaran keagamaan dalam lembaga formal tersebut yang terkesan
memiliki waktu sedikit dalam proses peningkatan keimanan, katakwaan serta
akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa ini.[9]
Dalam pengembangan kurikulum MDT memang sangat variatif, tergantung
dari mana para ustadz menimba ilmu di pesantrennya masing-masing. Hingga saat
ini, pemerintah belum banyak memfasitasi keberadaan MDT, kalaupun ada masih
sangat minim biasanya berupa bantuan karikatif seperti bantuan gedung, ruang
kelas, sarana dan prasarana pembelajaran, pertemuan, workshop dan short
course untuk peningkatan kapasitas ustadz MDT dan peningkatan kapasitas
ustadz lainnya. Dalam dasawarsa terakhir ini secara kelembagaan posisi MDT
mulai diperkuat dengan lahirnya Forum Komunikai Diniyah Takmiliyah (FKDT) dan
dibeberapa Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menginisiasi lahirnya Perda-Perda
Diniyah untuk menunjukan kepedulian kepada lembaga ini. Pada saat yang sama
muncul kegiatan besar di kalangan MDT yaitu PORSADIN (Pekan Olahraga dan Seni
Madrasah Dinyah Tamiliyah) yang dimulai dari tingkat daerah hingga nasional,
meskipun masih minim dari segi pendanaan.
Dengan wacana menerapkan kebijakan full day school (FDS) di
seluruh Indonesia, justru secara halus dan pelan-pelan ditengarai akan
mematikan lembaga pendidikan keagamaan Islam tersebut. Dampak dari kebijakan
itu akan menjadikan hak lembaga pendidikan keagamaan Islam seperti MDT menjadi
terancam hilang. Padahal, selama ini MDT telah rela berbagi waktu dengan melakukan
pembelajaran di sore hari. Dengan wacana FDS wajar jika komunitas lembaga
Pendidikan Keagamaan Islam, utamanya MDT dan pondok pesantren, paling nyaring
untuk meminta Mendikbud meninjau ulang rencana diberlakukannya kebijakan FDS.
Bagi komunitas pesantren dan MDT, full day school merupakan persoalan
serius. Dengan diberlakukannya FDS malah dinilai oleh sejumlah kalangan langkah
mundur yang berdampak pada mandulnya peran serta masyarakat dalam
menyelenggarakan pendidikan nasional. Bahkan selama ini negara dianggap belum
optimal memberikan pengakuan dan memfasilitasi pesantren dan MDT walau sudah
sangat jelas mereka ada dan berkontribusi pada pembentukan karakter dan moral
bangsa. Masyarakat Islam, khususnya komunitas MDT, merasakan ancaman serius
atas kebijakan FDS.
Gagasan full day school (FDS) menjadi tepat bagi masyarakat
perkotaan yang komplek. Orang tuanya bekerja di luar rumah, kondisi jalan yang
macet dan kerap membahayakan. Secara substantif membekali karakter, moral dan
akhlak anak di tengah kemiskinan penyelenggaraan pondok pesantren, MDT dan TPA.
Namun menjadi kontra produktif jika di semua wilayah Indonesia utamanya
pedesaan diselenggarakan FDS. Perlu dipikirkan FDS bukan berlaku menyeluruh di
semua wilayah NKRI namun bersifat fakultatif. Di beberapa daerah yang bukan
kota santri dimana belum tumbuh subur pondok pesantren dan MDT, kebijakan FDS
perlu disinergikan dengan pendirian MDT di sekolah, baik SD maupun SMP. Untuk
itu, sudah saatnya dilakukan Memorandum of Understanding (MoU) antara
Kementerian Agama, Kementerian Dalam Negeri, dan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan yang kemudian didistribusi kepada Pemerintah Daerah khususnya Dinas
Pendidikan Kabupaten/Kota untuk membuka MDT di lingkungan sekolah. Bisa diwujudkan
dalam bentuk extrakurikuler. Misalkan di
sebuah SD dididirikan/bekerjasama dengan MDT agar anak-anak di SD tersebut
mempunyai pengetahuan keagamaan yang cukup. Lebih dari itu adalah mengembangkan
karakter, mental dan moral peserta didik. Output sinergi MDT di Sekolah
adalah para siswa tidak akan naik kelas jika belum lulus sejumlah mata
pelajaran di MDT. Seandainya FDS dipahami dengan menghadirkan MDT di sekolah
tentu masyarakat santri tidak akan gelisah dan berang dibuatnya. Namun bagi
daerah yang sudah tumbuh subur lembaga pendidikan keagamaan Islam tidak pas
untuk dikembangkan FDS.[10]
KESIMPULAN
Dari uraian diatas dapat kita ambil kesimpulan, bahwa model
pendidikan full day school (FDS) merupakan pengembangan dari model
pondok pesantren yang memiliki banyak kelebihan serta cocok diterapkan di
kehidupan modern seperti ini untuk menangkal efek negatif dari lingkungan luar
sekolah yang tidak produktif dan tidak baik serta dapat meningkatkan prestasi
akademik maupun spiritual siswa jika dikelola dengan professional dan
sungguh-sungguh. Meskipun demikian, model FDS yang dalam wacana pelaksanaannya
berarti sekolah sehari penuh juga memiliki beberapa kekurangan jika ditinjau
dari berbagai aspek, seperti aspek psikologis siswa, ekonomi dan sosial kemasyarakan.
Belum lagi wacana penerapan full day school (FDS) secara menyeluruh di semua
sekolah formal mulai dari tingkat SD, SMP, SMA sederajat se Indonesia akan
menimbulkan berbagai persoalan sosial, ekonomi baru. Karena masih banyak sekolah di daerah-daerah Indonesia yang non perkotaan
belum siap memberlakukan sistem FDS karena terkendala kuantitas dan kualitas
sarana prasarana dan SDM yang dimiliki masing-masing daerah.
Belum lagi kendala local wisdom, dimana mayoritas daerah
pedesaan di Indonesia yang mayoritas penduduknya memeluk agama Islam telah
memiliki sekolah non formal seperti Madrasah Diniyah / MDT yang telah ada sejak
lama, yang mana proses pembelajarannya dilaksanakan pada siang, sore atau malah
hari. Dengan di berlakukannya FDS tentu pelan-pelan akan mematikan keberadaan
MDT tersebut sehingga akan banyak orang yang kehilangan ladang mengamalkan ilmu
agama dan mata pencaharian mereka. Sehingga wacana penerapan full day school
(FDS) secara menyeluruh di sekolah formal mulai dari tingkat SD, SMP, SMA
sederajat se Indonesia perlu dikaji ulang dengan memikirkan keberadaan MDT
sebagai asset berharga dari masing-masing daerah.
Jika pelaksanaan full day school (FDS) memang sudah menjadi
agenda wajib dari pemerintah dan harus di implementasikan maka perlu memilih
sekolah atau daerah yang sudah siap dalam menjalankannya, meskipun di Indonesia
memang sudah banyak sekolah yang menerapkan sistem FDS dengan berbagai
perbedaan nama / nomenklaturnya tetapi sama dalam pemaknaannya. Atau dengan
melakukan kerjasama / mou dengan pemerintah daerah dan elemen masyarakat
yang terlibat dengan lembaga-lembaga non formal seperti MDT, TPQ dan sebagainya
agar bisa disinergikan dan bisa menjadi simbiosis mutualisme. Kerjasama itu
bisa berupa pelaksanaan pendidikan di sekolah formal dan MDT dikerjakan dalam
satu atap, dimana memasukkan kurikulum MDT dalam kurikulum sekolah sebagai mata
pelajaran wajib atau sebagai ekstrakurikuler wajib bagi siswa siswi muslim yang
dilaksanakan siang / sore hari setelah proses pembelajaran formal berakhir,
serta tenaga guru / ustadznya berasal dari MDT yang sudah ada. Atau tetap
dengan sistem dua atap, namun mewajibkan semua siswa siswi muslim setelah
pulang sekolah di sore / malam hari belajar ngaji di MDT yang sudah ada di
sekitar lingkungan sekolah atau disekitar tempat tinggal mereka dengan
memasukkan mata pelajaran MDT dalam raport siswa baik dalam mata pelajaran
utama wajib / mata pelajaran tambahan wajib yang mempengaruhi kenaikan atau
prestasi akademik siswa. Sehingga terjadi kerjasama intern antara pihak
pengelola sekolah formal dan pihak pengelola MDT dalam mendidik dan mengawasi
prilaku keseharian siswa-siswi mereka. Kemudian untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di MDT perlu juga diselenggarakan berbagai pelatihan oleh pemerintah
atau pihak terkait terhadap berbagai unsur-unsur SDM MDT dalam sistem manajemen
pengelolaan dan proses pembelajaran yang professional, efektif, dan efisien serta
terfokus pada perubahan karakter dan akhlak siswa.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Suyuthi, Model Pendidikan Full
Day School Dalam Perspektif Inovasi Pendidikan Indonesia, Akademika,
Volume 7, Nomor 1, Juni 2013.
Lisnawati Soapatty, Pengaruh Sistem
Sekolah Sehari Penuh (Full Day School) terhadap Prestasi Akademik Siswa ,
Kajian Moral dan Kewarganegaraan, Nomor. 2 Volume. 2 Tahun. 2014.
Marfiah Astuti, Implementasi Program
Full day School Sebagai Usaha Mendorong Perkembangan Sosial Peserta
Didik, Jurnal Kebijakan dan Pengembangan Pendidikan, Volume 1,
Nomor 2, Juli 2013.
Nor Hasan, Fullday School (Model Alternatif Pembelajaran Bahasa Asing)
, Tadrîs Volume 1. Nomor 1. 2006.
http://emispendis.kemenag.go.id/emis2015/.
http://www.nu.or.id/post/read/70497/kenapa-harus-full-day-school.
[1] Nor Hasan, Fullday
School (Model Alternatif
Pembelajaran Bahasa Asing) , Tadrîs Volume 1. Nomor 1. 2006, hlm.
111-113.
[2] Lisnawati
Soapatty, Pengaruh Sistem Sekolah Sehari Penuh (Full Day School)
terhadap Prestasi Akademik Siswa , Kajian Moral dan Kewarganegaraan,
Nomor. 2 Volume. 2 Tahun. 2014, hlm. 720.
[3] Ahmad Suyuthi,
Model Pendidikan Full Day School Dalam Perspektif Inovasi Pendidikan
Indonesia, Akademika, Volume 7, Nomor 1, Juni 2013, hlm. 112-116.
[4] Marfiah
Astuti, Implementasi Program Full day School Sebagai Usaha Mendorong
Perkembangan Sosial Peserta Didik, Jurnal Kebijakan dan Pengembangan
Pendidikan, Volume 1, Nomor 2, Juli
2013, hlm. 134.
[7] http://www.nu.or.id/post/read/70313/sejumlah-dampak-full-day-school-menurut-persatuan-guru-nu, diakses 23 September 2016.
[9] http://www.nu.or.id/post/read/48642/pentingnya-madrasah-diniyah-takmiliyah-mdt, diakses 23 September 2016.
[10]
http://www.nu.or.id/post/read/70497/kenapa-harus-full-day-school
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
silahkan tulis komentar anda