KETAKJUBAN AKAN FENOMENA DUNIA MEMBAWA KEPADA KEIMANAN, KESUSAHAN MENGINGATKAN PADA ALLAH, KEBAHAGIAAN MENJADIKAN SYUKUR NIKMAT ALLAH
Kamis, 29 September 2011
Selasa, 13 September 2011
SUNNAH DALAM ISLAM
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Sunnah dalam Islam, yang oleh jumhur ulama’ ditempatkan sebagai sumber atau dasar Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Teryata masih ada sekelompok orang yang masih mempertanyakan exsistensi dan keabsahannya bahkan mereka menolaknya untuk dijadikan sebagai referensi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengatakan bahwa persoalan-persoalan tersebut sudah bisa terjawab oleh Al-Qur’an karena Al-Qur’an sudah mencakup semua hal, sudah lengkap.
Disini juga akan dikemukakan ulasan-ulasan para ulama’ (atau yang sering dikenal dengan pembela al-sunnah, naasir al-sunnah) tentang dasar-dasar yang digunakan oleh para penolak al-sunnah (inkar al-sunnah). Pada bagian akhir juga akan dikemukakan tentang eksistensi Al-Sunnah dalam Islam dan peran yang dimainkan oleh sunnah terhadap Al-Qur’an ini barang kali sekaligus memberikan penegasan (assertion) bahwa Al-Sunnah memang betul-betul dibutuhkan dalam Islam.
B. Pokok Masalah
Berawal dari latar belakang diatas, maka penulis mengajukan pokok masalah sebagai berikut:
1. Apa inkar Al-sunnah itu?
2. Kedudukan Al-Sunnah dalam Islam
3. Fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Qur’an
C. Tujuan Penelitian
Diantara tujuan penulis dalam menyusun karya tulis antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa sebenarnya inkar al-sunnah itu? apa dasar-dasar yang mereka gunakan, sehingga mereka mempunyai pandangan seperti itu?
2. Untuk mengetahui ulasan-ulasan para ulama’ atau yang sering dikenal pembela sunnah
D. Ruang Lingkup
Dalam menyusun karya tulis ini penulis mengadakan penulisan, penelitian pada lingkungan masyarakat yang mencakup ruang lingkup yang luas dengan tujuan agar mempunyai bahan yang cukup banyak untuk dipersembahkan.
E. Metode Pengolahan Data
Untuk membuahkan hasil yang hampir sesuai dengan yang kami capai, maka kami menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut:
1. Metode Observasi
Yaitu metode yang digunakan dengan cara melihat lebih dahulu atau melalui penelitian secara langsung.
2. Metode Analisis Isi Media Massa
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara pengolahan media massa sebagai sumber pengumpulan data seperti TV, Radio, Surat Kabar, Majalah, Tabloid dan lain-lain.
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inkar Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, baik yang berhubungan dengan sifat maupun karakternya.
Sedangkan inkar al-sunnah adalah seseorang, baik individu maupun kelompok yang menolak Al-Sunnah sebagai sumber atau dasar pijakan dalam pengamalan agama Islam.
Menurut Mustofa Azami, inkar al-sunnah sudah mulai muncul sejak masa awal, dan berkembang pada abad kedua hijriyah dan baru muncul lagi pada abad tiga belas hijriyah, sebagai akibat dari adanya kolonialisme yang melanda umat islam.
Memang ada yang menyatakan bahwa inkar al-sunnah itu dilakukan oleh sekelompok madzhab teologi islam, seperti khawarij, mu’tazilah, syi’ah.
Oleh karena itu kita lihat saja pandangan masing-masing:
1) Khawarij
Mustofa Al-Shiba’i yang mengutip pendapat Abd Al-Qodir Al-Baghdadi dalam Al-Farq Baina Al-firaq, menyata bahwa semua golongan khawarij menolak Hadist sebagai hukum islam, khususnya Hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang terlibat dalam perang jamal, yaitu dua orang utusan perdamaian, orang yang menerima tahkim, orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua orang utusan tahkim. Tetapi menurut Al-Siba’i, pandangan tersebut perlu ditinjau kembali. Hal ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa kitab-kitab yang ditulis oleh sekelompok khawarij, kecuali golongan ibadiyah, sudah musnah bersamaan dengan punahnya kelompok tersebut. Berdasarkan kitab-kitab golongan itu, ternyata mereka menerima Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ustman, Ali, Aisyah, Abu Huroiroh, dan Anas Bin Malik. Sedangkan Hadist–Hadist ahad yang berlawanan maksudnya Qiyas, mayoritas kelompok ini lebih mengutamakan Hadist dari pada Qiyas. Karenanya, pendapat yang menyatakan bahwa semua sekelompok khawarij menolak Al-Sunnah, tidaklah tepat.
2) Mu’tazilah
Khudlori Beik menyatakan bahwa mu’tazilah termasuk salah satu aliran teologi yang menolak Al-Sunnah. Hal ini didasarkan pada suatu diskusi yang dilakukan oleh Al-Syafi’i dengan kelompok inkar al-sunnah, yang menurut catatan sejarah aliran yang ada pada waktu itu di Basrah Iraq adalah mu’tazilah.
Kesimpulan itu perlu dipertanyakan, sebab diskusi yang dilakukan oleh Al-Syafi’i dengan kelompok inkar al-sunnah itu tidak menyebutkan secara jelas dengan aliran mana diskusi itu dilakukan. Disamping itu,masih dapat kerancuan pendapat apakah mu’tazilah menolak habis secara keseluruhan atau hanya menerima sebagian saja. Kalaupun ada sumber lain yang menyatakan bahwa ada sekelompok mu’tazilah, Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar (yang dikenal dengan Al-Nazzam) mengingkari kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari mu’jizat Nabi Muhammad, mengingkari Hadist yang bersifat Zanny Al-wurud sebagai sumber hukum Islam. Ini dianggap sebagai penolakan Al-Sunnah inikah masih pendapat pribadi, bukan pendapat mu’tazilah, sebab kenyataanya juga ada ulama’ lain dari mu’tazilah yang menerima Hadist sebagai sumber hukum Islam, seperti Abu Hasan Al-Bashri dalam kitabnya Al-Mu’tamad. Apalagi tokoh-tokoh mu’tazilah seperti Abu Huzail Al-Allaf, Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Jubai mengklaim bahwa Al-Nazzam telah keluar dari Islam. Dengan demikian, mu’tazilah bukanlah mazhab teologi yang menolak Al-Sunnah, tetapi menerimanya sebagai mayoritas ulama’.
3) Syi’ah
Golongan syi’ah terbagi kedalam berbagai kelompok, golongan yang masih exsis sampai sekarang adalah golongan Istna ‘Asy’ariyah yang menerima Hadist Nabi sebagai sumber hukum Islam, hanya saja memang mereka pada umumnya hanya menerima Hadist dari ahli bart saja. Apakah ini termasuk dalam kategori inkar al-sunnah, nyatanya mereka masih menerima Hadist. Persoalanya hanya pada exsluvitas penerimaan Hadist yang tidak memenuhi kaidah-kaidah umum dalam ilmu hadist.
Taufiq Shidqi dalam majalah Al-Manar no.7 dan 12 tahun 1X dengan artikel berjudul “Islam Huwa Al-Qur’an Wahdah”, yang menyatakan bahwa Islam tidak membutuhkan Al-Sunnah. Namun ini mendapat kritik dari Rasyid Ridha bahwa untuk Hadist Mutawatir bisa digunakan sebab bagaimana bisa diketahui tentang jumlah rokaat sholat, rukun puasa, ketentuan zakat tanpa sunnah. Hampir senada dengan tokoh-tokoh lain, seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, Garrah Ali Mirza Ghulam Ahmad, Ahmad Khan, Abdullah Al-Jakr, Ahmad Al-Dhin Gulam Ahmad Parwez juga masih menerima hadist mutawatir sebagai sumber Islam. Ini berarti penolakan itu tidak mutlak sifatnya. Dengan demikian, klaim mereka kedalam Inkar Al-sunnah perlu ditinjau kembali.
B. Kedudukan Al-sunnah Dalam Islam
Dalam ushul fiqih,dalil dikelompokkan kedalam dua hal, yaitu:
1) Dalil yang dalalahnya Qath’i
2) Dalil yang dalalahnya Zhanni
Berdasarkan penyelidihkan yang pasti, hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil syar’iyah bertumpu pada empat dasar pokok, yakni Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma’,dan Al-Qiyas. Oleh jumhur, keempat dalil tersebut disepakati (muttafaq alaih) sebagai dalil baik eksistensi maupun urutanya.
Dengan demikian, jika terjadi suatu permasalahan, upaya yang dilakukan adalah mengkonsultasikannya kepada Al-Qur’an. Jika didalam Al-Qur’an tidak terdapat hukumnya, maka langkah berikutnya adalah melihat sunnah. Jika didalam Al-Sunnah tidak terdapat ketentuan hukumnya, maka langkah yang ditempuh adalah melirik pada Ijma’ para mujtahid. Dan apabila permasalahan tersebut tidak ditemukan pada hasil ijma’ mujtahid, maka harus melakukan ijtihad sendiri untuk menemukan hukum dengan jalan qiyas pada hukum yang terdapat nash-nya. Hal tersebut di dasarkan pada Al-Qur’an Al- Nisa’ ayat 59:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Kemudian jika kamu mempertengkarkan sesuatu kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasulnya,sekiranya kamu benar-benar berimn kepada Allah dan Rasulnya. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs.An-Nisa’ :59)
Disamping empat dalil tersebut, masih terdapat dalil hukum lain, tetapi masih terdapat perselisihan dikalangan ulama’ tentang exsistensinya yakni istihsan, maslahah-maslahah, istishhab, u’rf, madzhab sahabi, syar’un man qoblana. Dengan demikian terdapat sepuluh macam dalil hukum islam, empat dalil yang muttafaq alaih berupa Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Mukhtalaf berupa Istihsan,
Maslahah-maslahah, Istishab, ’urf, Madzhab shahaby, Syar’un man Qoblana. Tetapi dari kesepuluh dalil tersebut, sesungguhnya yang usul adalah Al-Qur’an dan Al-sunnah. Menurut petunjuk Al-Qur’an hadist nabi adalah sumber ajaran islam disamping Al-Qur’an (lihat Al-Qur’an s. Al-Hasyr:7,Ali Imran:32,An-Nisa’:80,Al-Ahzab:21 ).
Itu berarti,untuk mengetahui islam yang benar, disamping petunjuk Al-Qur’an, juga diperlukan petunjuk hadist nabi.
C. Fungsi Al-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Abdul Halim Mahmud, mantan syaikh Al-Azhar,dalam bukunya”Al-Sunnah Fi MakaanatihaWa Taarikhiha”, menjelaskan bahwa Al-Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjukkan kepada pendapat Syafi’i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitanya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu bayan ta’qid dan bayan tafsir. Yang pertama, fungsi Al-Sunnah sekedar menguatkan atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, sedang yang kedua bersifat memperjelas, memerinci, membatasi pengertian-pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Persoalan yang di perselisihkan adalah fungsi yang ketiga, yaitu apakah hadist dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qur’an? kelompok yang meng-iya-kan mendasarkan pendapatnya kepada ismah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan khususnya dalam bidang syari’ah).
Apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi untuk ditaati. Sementara kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, sehingga Rasul-pun harus merujuk kepada Allah, ketika hendak menetapkan hukum.
Secara rinci fungsi Al-sunnah terhadap Al-Qur’an dapat dijelaskan berikut ini:
1) Sebagai Penguat
Dalam hal ini Al-Sunnah menguatkan suatu hukum yang sudah ada didalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan dua dalil yaitu dalil-dalil yang disebut di dalam Al-Qur’an dan dalil yang datang dari Rasul.
Misalnya, di dalam Al-Qur’an terdapat perintah melakukan sholat, membayar zakat, puasa Ramadhan, haji. Juga larangan menyekutukan Allah, persaksian palsu, menyakiti kedua orang tua, perintah dan larangan lainnya yang ditunjukkan didalam Al-Qur’an dan dikuatkan oleh sunnah.
Contoh kongkritnya, lihat berikut ini tentang wajibnya berpuasa.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang sebelum kamu bertaqwa” (Al-Baqoroh:183)
2) Sebagai Penjelas(Bayan Tafsir)
Dalam hal ini, posisi Al-Sunnah bisa berupa memberikan rincian (tafshil) hal-hal masih mujmal dari Al-Qur’an, memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih mutlaq ri Al-Qur’an, memberikan penghususan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Karenanya tafsil, taqyid dan takhshish yang dapat dari Al-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud ayat-ayat yang masih ada di dalam Al-Qur’an.
a. Memberikan rincian hal-hal yang masih mujmal dari Al-Qur’an.
Misalnya perintah sholat di dalam Al-Qur’an yang masih global. Karena bagaimana cara tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an.
• •
Artinya:
………maka dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu bagi orang-orang mukmin adalah kewajiban yang sudah ditentukan (Al-Nisa’:103).
b. Memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih mutlaq dari Al-Qur’an
Misalnya Al-Qur’anmembolehkan kepada orang yang akan meninggal untuk berwasiat atas harta peninggalanya beberapa saja dengan tidak ada batasanya.
Artinya:
………….sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya……..(Qs.An-Nisa’: 12)
c. Memberikan kekhususan (takhshish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Seperti ayat Al-Qur’an (S.Al-Maidah:3)
Artinya:
“Diharamkan bagi kamu makan bangkai,darah dan daging babi (Q.S Al-Maidah : 3)
d. Sebagai penetap dan pembentuk hukum baru (Bayan Taqrir)
Dalam hal ini, Al-Sunnah menetapkan hukum yang tidak disebutkan didalam nash Al-Qur’an. Sebagai contoh: tentang pelarangan menyatukan wanita dengan bibi yang dijadikan istri secara bersama, haramnya binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai kuku tajam, pengharaman mengenakan kain sutra dan cincin emas bagi kaum lelaki.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah itu ada kalanya atas ilham dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijtihad sendiri, tetapi karena dasar yang digunakan berijtihad itu adalah jiwa dan dasar undang-undang yang umum adalah Al-Qur’an, maka mustahil ia bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (muhtar yahya dan fatchurrahman.1986:50).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Al-Sunnah dalam Islam, yang oleh jumhur ulama’ ditempatkan sebagai sumber atau dasar Islam yang kedua setelah Al-Qur’an. Teryata masih ada sekelompok orang yang masih mempertanyakan exsistensi dan keabsahannya bahkan mereka menolaknya untuk dijadikan sebagai referensi dalam menghadapi persoalan-persoalan yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka mengatakan bahwa persoalan-persoalan tersebut sudah bisa terjawab oleh Al-Qur’an karena Al-Qur’an sudah mencakup semua hal, sudah lengkap.
Disini juga akan dikemukakan ulasan-ulasan para ulama’ (atau yang sering dikenal dengan pembela al-sunnah, naasir al-sunnah) tentang dasar-dasar yang digunakan oleh para penolak al-sunnah (inkar al-sunnah). Pada bagian akhir juga akan dikemukakan tentang eksistensi Al-Sunnah dalam Islam dan peran yang dimainkan oleh sunnah terhadap Al-Qur’an ini barang kali sekaligus memberikan penegasan (assertion) bahwa Al-Sunnah memang betul-betul dibutuhkan dalam Islam.
B. Pokok Masalah
Berawal dari latar belakang diatas, maka penulis mengajukan pokok masalah sebagai berikut:
1. Apa inkar Al-sunnah itu?
2. Kedudukan Al-Sunnah dalam Islam
3. Fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Qur’an
C. Tujuan Penelitian
Diantara tujuan penulis dalam menyusun karya tulis antara lain sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui apa sebenarnya inkar al-sunnah itu? apa dasar-dasar yang mereka gunakan, sehingga mereka mempunyai pandangan seperti itu?
2. Untuk mengetahui ulasan-ulasan para ulama’ atau yang sering dikenal pembela sunnah
D. Ruang Lingkup
Dalam menyusun karya tulis ini penulis mengadakan penulisan, penelitian pada lingkungan masyarakat yang mencakup ruang lingkup yang luas dengan tujuan agar mempunyai bahan yang cukup banyak untuk dipersembahkan.
E. Metode Pengolahan Data
Untuk membuahkan hasil yang hampir sesuai dengan yang kami capai, maka kami menggunakan beberapa metode antara lain sebagai berikut:
1. Metode Observasi
Yaitu metode yang digunakan dengan cara melihat lebih dahulu atau melalui penelitian secara langsung.
2. Metode Analisis Isi Media Massa
Yaitu metode yang dilakukan dengan cara pengolahan media massa sebagai sumber pengumpulan data seperti TV, Radio, Surat Kabar, Majalah, Tabloid dan lain-lain.
BAB 11
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inkar Al-Sunnah
Al-Sunnah adalah segala sesuatu yang berasal dari Nabi baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, baik yang berhubungan dengan sifat maupun karakternya.
Sedangkan inkar al-sunnah adalah seseorang, baik individu maupun kelompok yang menolak Al-Sunnah sebagai sumber atau dasar pijakan dalam pengamalan agama Islam.
Menurut Mustofa Azami, inkar al-sunnah sudah mulai muncul sejak masa awal, dan berkembang pada abad kedua hijriyah dan baru muncul lagi pada abad tiga belas hijriyah, sebagai akibat dari adanya kolonialisme yang melanda umat islam.
Memang ada yang menyatakan bahwa inkar al-sunnah itu dilakukan oleh sekelompok madzhab teologi islam, seperti khawarij, mu’tazilah, syi’ah.
Oleh karena itu kita lihat saja pandangan masing-masing:
1) Khawarij
Mustofa Al-Shiba’i yang mengutip pendapat Abd Al-Qodir Al-Baghdadi dalam Al-Farq Baina Al-firaq, menyata bahwa semua golongan khawarij menolak Hadist sebagai hukum islam, khususnya Hadist yang diriwayatkan oleh sahabat yang terlibat dalam perang jamal, yaitu dua orang utusan perdamaian, orang yang menerima tahkim, orang-orang yang membenarkan salah seorang atau dua orang utusan tahkim. Tetapi menurut Al-Siba’i, pandangan tersebut perlu ditinjau kembali. Hal ini didasarkan pada fakta sejarah bahwa kitab-kitab yang ditulis oleh sekelompok khawarij, kecuali golongan ibadiyah, sudah musnah bersamaan dengan punahnya kelompok tersebut. Berdasarkan kitab-kitab golongan itu, ternyata mereka menerima Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Ustman, Ali, Aisyah, Abu Huroiroh, dan Anas Bin Malik. Sedangkan Hadist–Hadist ahad yang berlawanan maksudnya Qiyas, mayoritas kelompok ini lebih mengutamakan Hadist dari pada Qiyas. Karenanya, pendapat yang menyatakan bahwa semua sekelompok khawarij menolak Al-Sunnah, tidaklah tepat.
2) Mu’tazilah
Khudlori Beik menyatakan bahwa mu’tazilah termasuk salah satu aliran teologi yang menolak Al-Sunnah. Hal ini didasarkan pada suatu diskusi yang dilakukan oleh Al-Syafi’i dengan kelompok inkar al-sunnah, yang menurut catatan sejarah aliran yang ada pada waktu itu di Basrah Iraq adalah mu’tazilah.
Kesimpulan itu perlu dipertanyakan, sebab diskusi yang dilakukan oleh Al-Syafi’i dengan kelompok inkar al-sunnah itu tidak menyebutkan secara jelas dengan aliran mana diskusi itu dilakukan. Disamping itu,masih dapat kerancuan pendapat apakah mu’tazilah menolak habis secara keseluruhan atau hanya menerima sebagian saja. Kalaupun ada sumber lain yang menyatakan bahwa ada sekelompok mu’tazilah, Abu Ishaq Ibrahim bin Sayyar (yang dikenal dengan Al-Nazzam) mengingkari kemu’jizatan Al-Qur’an dari segi susunan bahasanya, mengingkari mu’jizat Nabi Muhammad, mengingkari Hadist yang bersifat Zanny Al-wurud sebagai sumber hukum Islam. Ini dianggap sebagai penolakan Al-Sunnah inikah masih pendapat pribadi, bukan pendapat mu’tazilah, sebab kenyataanya juga ada ulama’ lain dari mu’tazilah yang menerima Hadist sebagai sumber hukum Islam, seperti Abu Hasan Al-Bashri dalam kitabnya Al-Mu’tamad. Apalagi tokoh-tokoh mu’tazilah seperti Abu Huzail Al-Allaf, Muhammad bin Abd Al-Wahhab Al-Jubai mengklaim bahwa Al-Nazzam telah keluar dari Islam. Dengan demikian, mu’tazilah bukanlah mazhab teologi yang menolak Al-Sunnah, tetapi menerimanya sebagai mayoritas ulama’.
3) Syi’ah
Golongan syi’ah terbagi kedalam berbagai kelompok, golongan yang masih exsis sampai sekarang adalah golongan Istna ‘Asy’ariyah yang menerima Hadist Nabi sebagai sumber hukum Islam, hanya saja memang mereka pada umumnya hanya menerima Hadist dari ahli bart saja. Apakah ini termasuk dalam kategori inkar al-sunnah, nyatanya mereka masih menerima Hadist. Persoalanya hanya pada exsluvitas penerimaan Hadist yang tidak memenuhi kaidah-kaidah umum dalam ilmu hadist.
Taufiq Shidqi dalam majalah Al-Manar no.7 dan 12 tahun 1X dengan artikel berjudul “Islam Huwa Al-Qur’an Wahdah”, yang menyatakan bahwa Islam tidak membutuhkan Al-Sunnah. Namun ini mendapat kritik dari Rasyid Ridha bahwa untuk Hadist Mutawatir bisa digunakan sebab bagaimana bisa diketahui tentang jumlah rokaat sholat, rukun puasa, ketentuan zakat tanpa sunnah. Hampir senada dengan tokoh-tokoh lain, seperti Ahmad Amin, Abu Rayyah, Garrah Ali Mirza Ghulam Ahmad, Ahmad Khan, Abdullah Al-Jakr, Ahmad Al-Dhin Gulam Ahmad Parwez juga masih menerima hadist mutawatir sebagai sumber Islam. Ini berarti penolakan itu tidak mutlak sifatnya. Dengan demikian, klaim mereka kedalam Inkar Al-sunnah perlu ditinjau kembali.
B. Kedudukan Al-sunnah Dalam Islam
Dalam ushul fiqih,dalil dikelompokkan kedalam dua hal, yaitu:
1) Dalil yang dalalahnya Qath’i
2) Dalil yang dalalahnya Zhanni
Berdasarkan penyelidihkan yang pasti, hukum-hukum amaliyah yang diambil dari dalil-dalil syar’iyah bertumpu pada empat dasar pokok, yakni Al-Qur’an, Al-Sunnah, Al-Ijma’,dan Al-Qiyas. Oleh jumhur, keempat dalil tersebut disepakati (muttafaq alaih) sebagai dalil baik eksistensi maupun urutanya.
Dengan demikian, jika terjadi suatu permasalahan, upaya yang dilakukan adalah mengkonsultasikannya kepada Al-Qur’an. Jika didalam Al-Qur’an tidak terdapat hukumnya, maka langkah berikutnya adalah melihat sunnah. Jika didalam Al-Sunnah tidak terdapat ketentuan hukumnya, maka langkah yang ditempuh adalah melirik pada Ijma’ para mujtahid. Dan apabila permasalahan tersebut tidak ditemukan pada hasil ijma’ mujtahid, maka harus melakukan ijtihad sendiri untuk menemukan hukum dengan jalan qiyas pada hukum yang terdapat nash-nya. Hal tersebut di dasarkan pada Al-Qur’an Al- Nisa’ ayat 59:
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul dan orang-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu. Kemudian jika kamu mempertengkarkan sesuatu kembalikanlah hal itu kepada Allah dan Rasulnya,sekiranya kamu benar-benar berimn kepada Allah dan Rasulnya. Yang demikian itu adalah lebih utama dan lebih baik akibatnya. (Qs.An-Nisa’ :59)
Disamping empat dalil tersebut, masih terdapat dalil hukum lain, tetapi masih terdapat perselisihan dikalangan ulama’ tentang exsistensinya yakni istihsan, maslahah-maslahah, istishhab, u’rf, madzhab sahabi, syar’un man qoblana. Dengan demikian terdapat sepuluh macam dalil hukum islam, empat dalil yang muttafaq alaih berupa Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’, Qiyas dan Mukhtalaf berupa Istihsan,
Maslahah-maslahah, Istishab, ’urf, Madzhab shahaby, Syar’un man Qoblana. Tetapi dari kesepuluh dalil tersebut, sesungguhnya yang usul adalah Al-Qur’an dan Al-sunnah. Menurut petunjuk Al-Qur’an hadist nabi adalah sumber ajaran islam disamping Al-Qur’an (lihat Al-Qur’an s. Al-Hasyr:7,Ali Imran:32,An-Nisa’:80,Al-Ahzab:21 ).
Itu berarti,untuk mengetahui islam yang benar, disamping petunjuk Al-Qur’an, juga diperlukan petunjuk hadist nabi.
C. Fungsi Al-Sunnah Terhadap Al-Qur’an
Abdul Halim Mahmud, mantan syaikh Al-Azhar,dalam bukunya”Al-Sunnah Fi MakaanatihaWa Taarikhiha”, menjelaskan bahwa Al-Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara’. Dengan menunjukkan kepada pendapat Syafi’i dalam Al-Risalah, Abdul Halim menegaskan bahwa dalam kaitanya dengan Al-Qur’an, ada dua fungsi Al-sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu bayan ta’qid dan bayan tafsir. Yang pertama, fungsi Al-Sunnah sekedar menguatkan atau menggaris bawahi kembali apa yang terdapat dalam Al-Qur’an, sedang yang kedua bersifat memperjelas, memerinci, membatasi pengertian-pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Qur’an.
Persoalan yang di perselisihkan adalah fungsi yang ketiga, yaitu apakah hadist dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Qur’an? kelompok yang meng-iya-kan mendasarkan pendapatnya kepada ismah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan khususnya dalam bidang syari’ah).
Apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi untuk ditaati. Sementara kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, sehingga Rasul-pun harus merujuk kepada Allah, ketika hendak menetapkan hukum.
Secara rinci fungsi Al-sunnah terhadap Al-Qur’an dapat dijelaskan berikut ini:
1) Sebagai Penguat
Dalam hal ini Al-Sunnah menguatkan suatu hukum yang sudah ada didalam Al-Qur’an. Dengan demikian hukum tersebut mempunyai dua sumber dan dua dalil yaitu dalil-dalil yang disebut di dalam Al-Qur’an dan dalil yang datang dari Rasul.
Misalnya, di dalam Al-Qur’an terdapat perintah melakukan sholat, membayar zakat, puasa Ramadhan, haji. Juga larangan menyekutukan Allah, persaksian palsu, menyakiti kedua orang tua, perintah dan larangan lainnya yang ditunjukkan didalam Al-Qur’an dan dikuatkan oleh sunnah.
Contoh kongkritnya, lihat berikut ini tentang wajibnya berpuasa.
Artinya:
“Hai orang-orang yang beriman,diwajibkan atas kamu berpuasa sebagai mana diwajibkan atas orang sebelum kamu bertaqwa” (Al-Baqoroh:183)
2) Sebagai Penjelas(Bayan Tafsir)
Dalam hal ini, posisi Al-Sunnah bisa berupa memberikan rincian (tafshil) hal-hal masih mujmal dari Al-Qur’an, memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih mutlaq ri Al-Qur’an, memberikan penghususan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Karenanya tafsil, taqyid dan takhshish yang dapat dari Al-Sunnah itu memberi penjelasan kepada makna yang dimaksud ayat-ayat yang masih ada di dalam Al-Qur’an.
a. Memberikan rincian hal-hal yang masih mujmal dari Al-Qur’an.
Misalnya perintah sholat di dalam Al-Qur’an yang masih global. Karena bagaimana cara tidak dijelaskan oleh Al-Qur’an.
• •
Artinya:
………maka dirikanlah sholat, sesungguhnya sholat itu bagi orang-orang mukmin adalah kewajiban yang sudah ditentukan (Al-Nisa’:103).
b. Memberikan batasan terhadap hal-hal yang masih mutlaq dari Al-Qur’an
Misalnya Al-Qur’anmembolehkan kepada orang yang akan meninggal untuk berwasiat atas harta peninggalanya beberapa saja dengan tidak ada batasanya.
Artinya:
………….sesudah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau sesudah dibayar hutangnya……..(Qs.An-Nisa’: 12)
c. Memberikan kekhususan (takhshish) terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang masih umum. Seperti ayat Al-Qur’an (S.Al-Maidah:3)
Artinya:
“Diharamkan bagi kamu makan bangkai,darah dan daging babi (Q.S Al-Maidah : 3)
d. Sebagai penetap dan pembentuk hukum baru (Bayan Taqrir)
Dalam hal ini, Al-Sunnah menetapkan hukum yang tidak disebutkan didalam nash Al-Qur’an. Sebagai contoh: tentang pelarangan menyatukan wanita dengan bibi yang dijadikan istri secara bersama, haramnya binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai kuku tajam, pengharaman mengenakan kain sutra dan cincin emas bagi kaum lelaki.
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah itu ada kalanya atas ilham dari Allah dan adakalanya hasil ijtihad beliau sendiri. Biarpun dari hasil ijtihad sendiri, tetapi karena dasar yang digunakan berijtihad itu adalah jiwa dan dasar undang-undang yang umum adalah Al-Qur’an, maka mustahil ia bertentangan dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an (muhtar yahya dan fatchurrahman.1986:50).
Langganan:
Postingan (Atom)